Beranda / Romansa / Hatiku direbut Berondong / Luka Lama yang Mengetuk Pintu

Share

Luka Lama yang Mengetuk Pintu

Penulis: Radieen
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-02 08:37:41

Aku mengabaikan pesan itu, ah.. Arga pasti hanya bercanda, pikir ku. Tapi tidak butuh waktu lama, suara motor Arga terdengar di depan pagar, pintu diketuk cukup keras.

"Fara! Kak Fara! Buka pintunya, cepat!” Suara Arga jelas terdengar panik.

Dengan sisa tenaga, aku berdiri goyah, berjalan ke pintu, dan membukanya. Di sana, Arga berdiri dengan wajah penuh cemas, rambutnya acak-acakan karena helm yang asal dicopot.

“Ya Allah, Kak, kenapa pucat banget?!” serunya, buru-buru masuk tanpa izin.

Aku berusaha tersenyum tipis. “Aku cuma… demam. Nggak apa-apa. Kamu pulang aja, jangan repot-repot.”

Dia langsung menggeleng keras. “Mana bisa aku pulang, lihat Kakak kayak begini!”

“Udah kakak Tidur aja. Aku beli obat sama makanan dulu buat kakak.”

Aku hanya bisa terbaring, napas terengah. Tak lama kemudian, Arga kembali dengan segelas air putih, obat penurun panas dan sebungkus bubur ayam kesukaanku.

“Ayo, minum dulu,” katanya lembut. Suaranya berbeda, sama sekali bukan nada jahil yang biasa kudengar.

Dengan susah payah aku duduk, menelan obat itu. Setelahnya, Arga mengambil kain bersih, merendamnya dengan air dingin, lalu meletakkannya di dahiku.

Aku menatapnya, setengah sadar, setengah tak percaya. “Kenapa kamu repot-repot kayak gini, Ga?”

Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Yah karena peduli, Kak. Aku nggak mau lihat Kak Fara sakit, sendirian pula!”

Mataku terasa panas, entah karena demam atau karena ucapannya. Selama ini, aku terbiasa menghadapi semuanya sendirian. Bahkan saat sakit. Tapi sekarang, ada seseorang yang benar-benar panik hanya karena aku terbaring lemah. Aku cukup terharu pada nya.

Arga duduk di kursi yang dekat dengan ku, tatapannya tak lepas dariku. “Tidur aja, Kak. Aku di sini. Kalau Kakak mimpi buruk atau butuh apa-apa, tinggal panggil aku.”

Aku ingin protes, ingin menyuruhnya pulang. Tapi kelopak mataku terlalu berat. Perlahan, aku terlelap dengan perasaan yang anehnya tidak lagi kesepian.

Keesokan paginya, saat aku membuka mata, sinar matahari sudah masuk lewat celah jendela. Tubuhku masih lemah, tapi demam ku sudah agak turun. Dan hal pertama yang kulihat.. Arga, tertidur di kursi dengan kepala bersandar di pinggiran ranjang.

Ia menjaga ku semalaman. Aku menatap wajahnya lama. Wajah itu teduh, rahangnya tegas, bulu matanya panjang dan hidungnya tinggi. Sekarang dia terlihat seperti malaikat di mata ku. Lembut dan polos.

Tanpa aku sadari jemariku bergerak mengelus rambut hitamnya.

Arga tersadar, "sudah bangun kak?" Dia langsung memegang keningku, "Alhamdulillah.. Sudah turun demam kakak, aku sudah tenang sekarang."

Arga melihat jam di pergelangan tangannya, "Astaga, aku ada kuliah kak hari ini. Aku pergi dulu ya, nanti ada apa-apa langsung telepon aku!" Dia langsung bangkit dan mengambil helmnya.

"Arga.. ", panggil ku.

" Ya? " Dia berhenti menoleh sebentar.

" Makasih banyak ya tadi malam.. "Aku tersenyum padanya.

Wajah Arga memerah, " Yang penting kakak sehat lagi kan?!" Dia membalas senyum yang begitu sumringah padaku, lalu beranjak pergi.

Hari itu matahari sore menggantung redup, seolah menunda langkahnya menuju senja. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan jambu di halaman.

Aku sedang duduk di beranda, mencoba menghirup udara segar, ketika suara yang asing sekaligus akrab menyelusup dari arah pagar.

“ Assalamu'alaikum.. ”

Aku menoleh kaku, tak menjawab salam itu. Lelaki itu berdiri dengan wajah keras dan kulit yang menua sebelum waktunya. Suara yang dulu akrab, tapi kini hanya menyalakan luka lama.

“Ayah..”

“Kamu ini apa tidak diajarin kalau ada salam itu dijawab?”

Tidak ku hiraukan pertanyaannya. Aku lebih penasaran apalagi masalah di luar sana sampai membuatnya pulang ke rumah.

“Ayah kenapa pulang?”

“Memangnya Ayah nggak boleh? Mau jumpa anak sama ibu sendiri saja dilarang?” Ia melangkah masuk tanpa dipersilakan.

Aku memilih mendengus masuk daripada menjawab basa - basinya. Ayah begitu senang berjudi, harta nenek dan ibu habis di meja judi. Aku tak bisa menyalahkan ibu meninggalkan laki - laki tidak bertanggung jawab sepertinya.

“Mana nenekmu?”

“Nenek di rumah bibi. Bibi mau melahirkan..”

“Jadi kamu sendirian? Kenapa ga telpon Ayah?”

Lagi - lagi aku malas menjawab, karena kepulangannya lebih merepotkan daripada aku harus sendirian di rumah.

Hari ini begitu mendung, tapi hujan tidak juga turun. Rasanya aku mau keluar saja dari rumah daripada harus melihat ayah yang duduk mengutak-atik remote TV, entah apa yang ia tonton. Aku memilih duduk di teras, melihat orang berlalu lalang sambil menunggu nenek pulang.

“Fara...”

Aku mendongak. Tubuhku seketika membeku. Di sana, berdiri seorang pria dengan kemeja yang rapi.

"Rian?" Jantung ku rasanya mau copot, melihat mantan yang menampakkan ku berdiri di hadapanku.

Belum sempat aku berkata apa-apa, dari dalam rumah Ayah keluar. Tatapannya menyimpan sesuatu yang tak pernah kusiapkan, lapar akan harta, lapar akan kesempatan.

“Rian! Kau rupanya. Masuklah, jangan berdiri di luar!” serunya sambil menepuk bahu lelaki itu.

Aku terperangah. “Yah… kenapa disuruh masuk?!”

Ayah hanya melirikku, lalu kembali menepuk bahu Rian.

"Ayo masuk saja...Dia cuma malu karena kau datang, biasalah..wanita!”

Aku bisa merasakan arah pembicaraan ini, hawa hatiku mulai panas. Rian menunduk sopan, lalu dengan suara dalam ia membuka maksud kedatangannya.

“Pak… saya datang dengan niat baik. Saya ingin melamar Fara. Saya ingin menebus kesalahan saya di masa lalu.”

Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Aku terbelalak, tubuhku kaku. “Apa?!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hatiku direbut Berondong   Permohonan dari Kehancuran

    Rian menghormati perjanjian itu, dia akan menelepon tepat jam delapan malam. Tapi dia tidak akan menelepon jam delapan pagi, kecuali aku yang menginisiasi.Aku menatap layar ponsel, yang kini gelap. Aku tahu Rian sedang menunggu. Dia tahu aku sudah melihat alarm itu. Jika aku tidak menelepon, dia akan melewatkan dosisnya. Aku tahu dia akan melakukannya. Itu adalah cara dia menghukum dirinya sendiri.Tanganku terangkat ke ponsel. Hanya perlu satu sentuhan untuk memanggilnya. Satu sentuhan untuk menyelamatkan nyawanya.Tapi kemudian aku mendengar suara Ibuku dari dapur, suaranya dipenuhi rencana untuk masa depanku, rencana tanpa Rian.Aku menarik tanganku kembali. Aku menutup mataku, menelan air ludah yang terasa getir.Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan. Tidak ada video call hari itu. Aku membiarkan Rian melewatkan dosisnya. Aku membiarkan Rian menjalani hukumannya sendirian.Aku baru saja memutuskan tali kendali yang mengikat kami berdua, dan rasanya seperti aku sedang memotong urat

  • Hatiku direbut Berondong   Haruskah aku melepasmu?

    Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar Nenek yang dicat putih, menghindari tatapan mata Ibuku yang kini dipenuhi ketakutan."Farah! Jawab Ibu! Kenapa dia harus video call untuk minum obat? Obat apa itu?" Ibu mengguncang lenganku.Aku menarik napas panjang, mengumpulkannya dari sisa-sisa energi yang kupunya. Bagaimana aku harus mengatakan ini? Bagaimana aku bisa merangkai kata-kata untuk menjelaskan kehancuran yang tak terbayangkan ini?"Ibu... Rian sakit," bisikku. Aku tidak bisa menatapnya."Sakit apa? Kenapa harus rahasia? Kamu tahu, Rian punya asma, tapi ini..." Ibu berhenti, ekspresinya berubah dari marah menjadi panik. "Ini bukan penyakit yang aneh-aneh, kan, Nak? Kenapa dia begitu kurus?"Aku harus mengatakan ini. Sekarang. Aku berutang kebenaran pada Ibuku, setidaknya untuk menjelaskan mengapa aku berada dalam neraka yang dingin ini."Rian... Rian positif HIV, Bu," kataku, suara baritonku nyaris tidak terdengar.Dunia hening.Ibuku tidak bergerak. Wajahnya membeku dalam

  • Hatiku direbut Berondong   Kembalinya Ibu

    Rian tidak membantah. Dia hanya menatapku, seolah meminta izin. "Farah, tasmu...""Taruh saja di situ. Nanti Nenek bawa," potong Nenek.Rian meletakkan tasku di lantai teras. Dia menatapku sekali lagi, matanya penuh dengan kata-kata yang tidak berani ia sampaikan. "Aku... aku akan meneleponmu jam delapan.""Aku tahu," jawabku datar.Dia mengangguk, lalu berbalik dan masuk ke mobil. Aku tidak menunggunya pergi. Dengan bantuan Nenek, aku melangkah masuk ke dalam rumah yang beraroma minyak kayu putih dan teh melati, aroma tempat yang aman."Masuk ke kamar, Nak. Istirahat. Nenek buatkan jamu kunyit asam," kata Nenek, memapahku.Kamarku tidak berubah. Seprai katun yang sejuk, “Ayah mana nek?” tanyaku pelan.“Ayah merantau, nanti tiga bulan lagi dia kembali.”Ketidakhadiran ayah saat ini membuatku sedikit sedih. Aku merindukannya di saat seperti ini. Aku berjalan pelan ke arah kamarku, lemari kayu jati dan jendela yang menghadap ke taman belakang tampan tidak berubah. Ini adalah duniaku s

  • Hatiku direbut Berondong   Dalam Pengawasan

    Rian menutup matanya rapat-rapat. Bahunya bergetar. Dia tidak menangis, tapi tarikan napasnya yang berat sudah cukup menunjukkan segalanya. Dia mengangguk, sekali, dengan gerakan patah."Baik," bisiknya. "Apa pun. Apa pun yang kau katakan, Farah. Aku akan lakukan."Aku membuang muka, kembali menatap ke luar jendela, ke arah keramaian kota yang tidak peduli pada drama kecil kami.Tiga hari berikutnya berjalan dalam rutinitas yang kaku dan menyiksa. Pukul delapan pagi dan delapan malam, alarm di ponsel Rian akan berbunyi, memecah keheningan tebal di ruang rawatku.Setiap kali, dia akan berhenti melakukan apa pun yang sedang dikerjakannya. Entah itu merapikan tasku, membaca laporan dari Arga, atau sekadar menatap kosong ke luar jendela. Dia akan mengambil botol obatnya, menunjukkannya padaku, mengambil dua butir pil, dan meminumnya di bawah tatapan dinginku.Setelah itu, dia akan mengambil buku catatan kecil yang kuberikan dan menulis, "08.02. Dosis Pagi. Selesai."Dia tidak pernah menge

  • Hatiku direbut Berondong   Hidup untuk Hukuman

    Rian terdiam. Ia sibuk menata meja lipat di depanku. "Tentu saja. Tadi pagi, saat Arga datang."Aku tidak yakin. Sejak ia mengakui statusnya, Arga memastikan Rian juga menjalani protokol ART (Terapi Antiretroviral) secara ketat, dengan bantuan tim dokter khusus. Obat itu harus diminum tepat waktu, dua kali sehari, dan disiplin adalah kunci.Keesokan harinya, kecurigaanku terjawab.Saat Rian sedang tertidur pulas di sofa setelah pulang dari kunjungan singkat ke NICU, ponselnya berdering dengan nada dering khusus. Itu adalah panggilan dari Dr. Satya, dokter spesialis HIV-nya, yang Arga atur untuknya.Rian tidak terbangun. Aku meraih ponsel itu. Panggilan itu terputus, dan sebuah notifikasi pesan masuk muncul, “Reminder: Jangan lupa dosis malam Anda. Ini hari kedua berturut-turut Anda melewatkan laporan minum obat. Ini vital, Rian."Jantungku mencelos.Aku menatap Rian. Wajahnya pucat, dahi dan pelipisnya berkeringat dingin, meskipun suhu ruangan sejuk. Dia mendengkur pelan, tidur yang

  • Hatiku direbut Berondong   Dedikasi Suami

    Mendengar suaranya yang tulus dan penuh ketakutan itu, aku menyadari bahwa dia benar-benar mencintai putrinya.Rian tidak lagi bersembunyi di balik ponsel atau alkohol. Ia sibuk. Ia mengurus semua yang berkaitan dengan rumah sakit. Ia bahkan mulai membaca buku tentang merawat bayi prematur.Satu-satunya sentuhan yang kuizinkan adalah ketika ia terlelap di kursi sofa panjang dekat jendelaku. Wajahnya kurus, lingkaran hitam di bawah matanya semakin dalam karena kurang tidur. Terkadang, ia terlihat begitu muda dan rentan, mengingatkanku pada masa-masa awal kami bertemu.Aku tahu keputusanku untuk bercerai sudah final. Tetapi aku juga tahu bahwa untuk beberapa hari ini, aku butuh keberadaan Rian yang baru, Rian yang berjuang untuk Azura, yang menjaga kami.Suatu pagi, ketika perawat selesai membersihkan lukaku dan rasa sakit berdenyut hebat, aku menggigit bibirku untuk menahan erangan. Rian, yang sedang berbicara pelan di telepon, segera memutus panggilannya."Farah? Sakit sekali?" bisikn

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status