Aku mengabaikan pesan itu, ah.. Arga pasti hanya bercanda, pikir ku. Tapi tidak butuh waktu lama, suara motor Arga terdengar di depan pagar, pintu diketuk cukup keras.
"Fara! Kak Fara! Buka pintunya, cepat!” Suara Arga jelas terdengar panik. Dengan sisa tenaga, aku berdiri goyah, berjalan ke pintu, dan membukanya. Di sana, Arga berdiri dengan wajah penuh cemas, rambutnya acak-acakan karena helm yang asal dicopot. “Ya Allah, Kak, kenapa pucat banget?!” serunya, buru-buru masuk tanpa izin. Aku berusaha tersenyum tipis. “Aku cuma… demam. Nggak apa-apa. Kamu pulang aja, jangan repot-repot.” Dia langsung menggeleng keras. “Mana bisa aku pulang, lihat Kakak kayak begini!” “Udah kakak Tidur aja. Aku beli obat sama makanan dulu buat kakak.” Aku hanya bisa terbaring, napas terengah. Tak lama kemudian, Arga kembali dengan segelas air putih, obat penurun panas dan sebungkus bubur ayam kesukaanku. “Ayo, minum dulu,” katanya lembut. Suaranya berbeda, sama sekali bukan nada jahil yang biasa kudengar. Dengan susah payah aku duduk, menelan obat itu. Setelahnya, Arga mengambil kain bersih, merendamnya dengan air dingin, lalu meletakkannya di dahiku. Aku menatapnya, setengah sadar, setengah tak percaya. “Kenapa kamu repot-repot kayak gini, Ga?” Ia terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Yah karena peduli, Kak. Aku nggak mau lihat Kak Fara sakit, sendirian pula!” Mataku terasa panas, entah karena demam atau karena ucapannya. Selama ini, aku terbiasa menghadapi semuanya sendirian. Bahkan saat sakit. Tapi sekarang, ada seseorang yang benar-benar panik hanya karena aku terbaring lemah. Aku cukup terharu pada nya. Arga duduk di kursi yang dekat dengan ku, tatapannya tak lepas dariku. “Tidur aja, Kak. Aku di sini. Kalau Kakak mimpi buruk atau butuh apa-apa, tinggal panggil aku.” Aku ingin protes, ingin menyuruhnya pulang. Tapi kelopak mataku terlalu berat. Perlahan, aku terlelap dengan perasaan yang anehnya tidak lagi kesepian. Keesokan paginya, saat aku membuka mata, sinar matahari sudah masuk lewat celah jendela. Tubuhku masih lemah, tapi demam ku sudah agak turun. Dan hal pertama yang kulihat.. Arga, tertidur di kursi dengan kepala bersandar di pinggiran ranjang. Ia menjaga ku semalaman. Aku menatap wajahnya lama. Wajah itu teduh, rahangnya tegas, bulu matanya panjang dan hidungnya tinggi. Sekarang dia terlihat seperti malaikat di mata ku. Lembut dan polos. Tanpa aku sadari jemariku bergerak mengelus rambut hitamnya. Arga tersadar, "sudah bangun kak?" Dia langsung memegang keningku, "Alhamdulillah.. Sudah turun demam kakak, aku sudah tenang sekarang." Arga melihat jam di pergelangan tangannya, "Astaga, aku ada kuliah kak hari ini. Aku pergi dulu ya, nanti ada apa-apa langsung telepon aku!" Dia langsung bangkit dan mengambil helmnya. "Arga.. ", panggil ku. " Ya? " Dia berhenti menoleh sebentar. " Makasih banyak ya tadi malam.. "Aku tersenyum padanya. Wajah Arga memerah, " Yang penting kakak sehat lagi kan?!" Dia membalas senyum yang begitu sumringah padaku, lalu beranjak pergi. Hari itu matahari sore menggantung redup, seolah menunda langkahnya menuju senja. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan jambu di halaman. Aku sedang duduk di beranda, mencoba menghirup udara segar, ketika suara yang asing sekaligus akrab menyelusup dari arah pagar. “ Assalamu'alaikum.. ” Aku menoleh kaku, tak menjawab salam itu. Lelaki itu berdiri dengan wajah keras dan kulit yang menua sebelum waktunya. Suara yang dulu akrab, tapi kini hanya menyalakan luka lama. “Ayah..” “Kamu ini apa tidak diajarin kalau ada salam itu dijawab?” Tidak ku hiraukan pertanyaannya. Aku lebih penasaran apalagi masalah di luar sana sampai membuatnya pulang ke rumah. “Ayah kenapa pulang?” “Memangnya Ayah nggak boleh? Mau jumpa anak sama ibu sendiri saja dilarang?” Ia melangkah masuk tanpa dipersilakan. Aku memilih mendengus masuk daripada menjawab basa - basinya. Ayah begitu senang berjudi, harta nenek dan ibu habis di meja judi. Aku tak bisa menyalahkan ibu meninggalkan laki - laki tidak bertanggung jawab sepertinya. “Mana nenekmu?” “Nenek di rumah bibi. Bibi mau melahirkan..” “Jadi kamu sendirian? Kenapa ga telpon Ayah?” Lagi - lagi aku malas menjawab, karena kepulangannya lebih merepotkan daripada aku harus sendirian di rumah. Hari ini begitu mendung, tapi hujan tidak juga turun. Rasanya aku mau keluar saja dari rumah daripada harus melihat ayah yang duduk mengutak-atik remote TV, entah apa yang ia tonton. Aku memilih duduk di teras, melihat orang berlalu lalang sambil menunggu nenek pulang. “Fara...” Aku mendongak. Tubuhku seketika membeku. Di sana, berdiri seorang pria dengan kemeja yang rapi. "Rian?" Jantung ku rasanya mau copot, melihat mantan yang menampakkan ku berdiri di hadapanku. Belum sempat aku berkata apa-apa, dari dalam rumah Ayah keluar. Tatapannya menyimpan sesuatu yang tak pernah kusiapkan, lapar akan harta, lapar akan kesempatan. “Rian! Kau rupanya. Masuklah, jangan berdiri di luar!” serunya sambil menepuk bahu lelaki itu. Aku terperangah. “Yah… kenapa disuruh masuk?!” Ayah hanya melirikku, lalu kembali menepuk bahu Rian. "Ayo masuk saja...Dia cuma malu karena kau datang, biasalah..wanita!” Aku bisa merasakan arah pembicaraan ini, hawa hatiku mulai panas. Rian menunduk sopan, lalu dengan suara dalam ia membuka maksud kedatangannya. “Pak… saya datang dengan niat baik. Saya ingin melamar Fara. Saya ingin menebus kesalahan saya di masa lalu.” Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Aku terbelalak, tubuhku kaku. “Apa?!”Malam semakin larut, dan pikiranku penuh bayangan buruk. Saat Arga mengucapkan kata “hotel,” tubuhku rasanya menegang. Aku tahu Arga tidak pernah melakukan hal yang aneh-aneh sejak SMA, hanya saja.. aku sedikit ragu dengan keputusannya kali ini.Aku menelan ludah. "Ga, bukankah itu akan menimbulkan masalah baru? Bagaimana kalau Rian tetap menemukan kita?” Arga menggeleng pelan. “Lebih berbahaya kalau kita terus di jalan. Setidaknya di hotel kita bisa kunci pintu, kita bisa istirahat, kita bisa berpikir lebih jernih. Aku janji akan jaga kakak.”Matanya begitu serius, membuatku terdiam. Aku tahu dia tak main-main. Meski takut, aku juga tak punya pilihan lain.“Baiklah… aku ikut kata kamu.”Kami menemukan hotel kecil di pinggir jalan raya, tak jauh dari warung eceran tadi. Bangunannya sederhana, cat dindingnya memudar, tapi suasananya cukup sepi. Arga yang mengurus resepsionis, sementara aku menunggu di luar, menyembunyikan wajah di balik masker, topi, dan jaket.“Sudah, ayo,” katanya s
Sepanjang malam aku duduk di teras rumah, memikirkan kata-kata Arga. Apakah aku benar menyukai Arga atau hanya merasa nyaman karena ia selalu ada untukku? Lamunanku buyar seketika, ketika aku mendengar langkah nenek mendekat. "Ada apa nak?" Tanya nenek dengan lembut, sambil menarik kursi plastik mendekatiku. Aku alihkan pikiran ku dari bayangan Arga, mencoba fokus dengan rencana awal. "Nek, Fara akan pergi besok pagi," ucapku, dengan suara bergetar. Nenek menghela napas panjang. "Nenek tahu, Nak. Kamu memang harus melakukan ini. Nenek akan selalu mendoakanmu." "Nek, Fara janji akan sering menghubungi Nenek. Fara juga akan pulang sesekali menjenguk Nenek," ucapku, memeluk Nenek erat-erat. "Nenek percaya padamu, Nak. Kamu adalah wanita yang kuat dan tegar. Kamu bisa meraih kebahagiaanmu, tapi nak...jangan benci Ayahmu ya. Dia begitu hanya karena judi. Dia sebenarnya orang yang baik. " balas Nenek, mengelus rambutku. Aku tidak menjawab atau menyela. Aku masih mencerna perkataan N
Suara tamparan menggema di dalam ruangan. Tangan ayah mendarat keras di pipiku, menyisakan panas dan perih di saat yang bersamaan. Aku terperanjat, menatap ayahku dengan mata yang berkaca-kaca.“Kamu sudah berani melawan Ayah? ” wajahnya merah penuh amarah.Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Air mataku jatuh dalam diam, hatiku terasa lebih pedih dibandingkan pipiku. Mendengar kuatnya tamparan ayah,nenek langsung datang menghampiri. Ia tampak marah sekaligus terkejut melihatku menangis. “Ada apa ini? Kenapa kamu tampar anakmu?” Nenek langsung membawaku yang masih terisak pergi dari hadapan ayah. Ayah mencoba mengejar nenek, ingin memberikan penjelasan. Tapi nenek segera menutup pintu kamarnya. Dia tidak lagi ingin mendengarkan penjelasan apapun dari ayah. “Jangan dengarkan kata-kata Ayahmu. Ia sedang kalut karena masalah judi,” ucap Nenek sambil mengelus rambutku. Aku memeluk Nenek erat-erat, menangis terisak di pelukannya. Aku tumpahkan segala keluh kesahku padanya. Aku tak be
Malam itu terasa begitu panjang. Sunyi, tapi di dadaku riuh oleh ribuan suara yang saling beradu. Lampu kamar redup, hanya menyorot wajah Nenek yang terlelap di ranjangnya. Wajah yang penuh keriput itu tetap teduh, seolah menyimpan kekuatan yang tak pernah padam meski tubuhnya semakin renta.Aku menatapnya lama, hatiku diliputi rasa bersalah. Betapa tega aku ingin pergi meninggalkan rumah ini, sementara hanya Nenek yang selama ini selalu ada untukku. Tapi aku juga sadar, aku tidak bisa terus terjebak dalam penjara yang dibangun Ayah.Aku harus memilih, entah tetap tinggal di sini demi menemani Nenek, atau berani melangkah demi menyelamatkan masa depanku.Dengan langkah pelan, aku mendekat. Ku sentuh tangannya yang hangat, "Nek, Darah mau ngomong.. " Nenek duduk perlahan, bersandar pada dipan tempat tidurnya. "Iya, kenapa Rah? ""Farah rencana kerja tempat ayah Ayu, terus.. " aku berucap dengan hati-hati. "Kalau uangnya sudah terkumpul banyak.. Farah mau pergi dari sini. Nenek mau ik
Aku menatap ayah yang berdiri di depanku dengan penuh rasa kecewa. Air mataku tak henti -hentinya menetes. "Kenapa ayah begitu tega, yah? " Aku masih menatapnya tak percaya. "Aku hanya menerima uang lamarannya, apanya yang menjual? Lagian Rah, apa kurangnya Rian ini sih. Bisa-bisanya kamu menolak orang setulus dia! Aku sebagai ayahmu berhak menentukan pasangan terbaik buat kamu! "Nenek yang sedari tadi hanya mendengar kini ikut menimpali.“Kembalikan saja uangnya.” Nenek tidak lagi menyembunyikan amarahnya. “Itu nggak mungkin bu, uangnya...sudah habis.” Ayah berkata sambil membuang pandangannya. Aku dan nenek masih tertegun, ah.. lagi - lagi dia pasti main judi. Pikiranku langsung melayang entah kemana. Pantas saja dia terus memaksaku menerima lamaran ini. “Kita akan ganti, berapa uang nak Rian untuk melamar Farah?” Ayah menyela, “ Bu..rumah ini di jual saja tidak cukup membayarnya.”Nenek terduduk lemas, tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukan anaknya sendiri. Dia tidak
Aku menatap layar ponsel itu dengan jemari yang bergetar. Pesan singkat dari ayah terasa seperti jeratan yang menutup ruang gerak ku.Mata ku panas. Kata-kata itu bukan sekadar undangan lamaran, tapi ancaman yang samar. Nafas ku memburu, seakan udara kafe yang tadi hangat berubah sesak menghimpit dada.Arga menyadari perubahan wajah ku. “Kak… siapa?” tanyanya lirih, meski aku tahu ia sudah melihat nama itu muncul di layar.Aku buru-buru menyembunyikan ponsel di bawah meja, tapi tatapannya tajam, penuh selidik.“Soal Rian, ya?” suaranya nyaris seperti bisikan, tapi ada amarah yang jelas bergetar di baliknya.Aku menunduk, tak sanggup menjawab. Tubuh ku gemetar, bukan hanya karena takut pada Rian, tapi juga pada kenyataan bahwa besok hidup ku bisa saja diputuskan orang lain tanpa aku mampu melawan.Arga menggenggam tanganku lebih erat. "Apa yang bisa aku bantu buat kakak? Kalau memang kakak tidak mau, aku bersedia melakukan apapun!"Aku melepaskan tangan Arga, "Ga, terimakasih. Tapi bia