Kembalinya Arga

Rian menatapku lama, wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Aku tahu ia mendengar setiap kata yang kuucapkan barusan, tapi ia hanya menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat. Ia berdiri di samping ranjangku, menunduk sedikit, menatap wajahku yang pucat di bawah cahaya putih ruangan.

Dia tersenyum samar, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Kau suka sekali bicara hal-hal yang aneh kalau sedang lelah, Farah.”

Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi sebelum sempat mengucapkan apa pun, dia sudah menunduk lebih dekat. Hela napasnya terasa di kulit wajahku, bibirnya menyentuh keningku, pelan dan lembut.

“Istirahatlah,” bisiknya di antara napasnya yang beraroma mint. “Istriku harus cepat pulih.”

Aku terpaku. Kata “istriku” bergema lama di telingaku, seperti mantra yang ingin memaku tubuhku di tempat.

Sebelum aku sempat menolak, Rian sudah menarik wajahnya menjauh. Ia membetulkan selimutku dengan ujung jarinya, lalu menatapku seperti seorang dokter memeriksa pasiennya.

“Kau tidak perlu memik