"Iya belakangan ini memang setahuku rumah tangga mereka sedang retak, Mas Hanifnya selingkuh lagi," kataku."Ehmm! Ehemm!"Terdengar Mas Lutfi berdehem dari dalam, itu kode kalau aku tak boleh menggosipkan orang lain, bagaimana lagi bibirku gatal kalau tak bicara."Hah, selingkuh lagi. Syukurin tuh pelakor, mamam!" maki Ririn dengan puas."Makanya kamu juga jangan jadi pelakor, nanti suamimu direbut lagi sama wanita lain." Aku menyindir Ririn, ia terlihat mencebikkan mulutnya."Janji Allah itu benar, manusia akan dapat balasan sesuai perbuatannya," ujar ibu dengan pandangan menerawang."Iya, Bu. Sakit hatiku terbalas saat mengetahui Kirana diselingkuhi juga, mana sama tetangga lagi."Ibu dan Ririn menganga."Selingkuhan si Hanif orang sini juga?" tanya Emak.Aku menganggukkan kepala."Bener-bener gelo eta si Hanif, buaya darat." Emak terlihat geram.Tiba-tiba Mas Lutfi datang menghampiri."Udah, Yang, jangan gosip mulu ah, mending ajak Emak jalan-jalan gih," sahut Mas Lutfi, tentu saj
"Hapeku, Mak, Hapeku. Hiks! Hiks!"Ririn terus meraung kehilangan hapenya, padahal itu cuma benda kenapa ia sedih selebay itu? benar ternyata zaman sekarang anak muda lebih panik kehilangan ponsel dari pada kehilangan iman."Emang gimana cerita sih? kok kamu bisa ditipu? matamu buta apa gimana?" tanya emak, bukan iba wanita paruh baya itu malah terlihat jengkel.Akan tetapi, Ririn bukan menjawab ia malah menangis semakin kencang, aku jadi curiga apakah tubuhnya juga sudah sudah diapa-apain sama lelaki itu?"Gini aja, kita laporkan masalah ini ke polisi." Mas Lutfi bersuara."Tunggu dulu, Emak mau tahu ceritanya kaya gimana? kalau mau lapor polisi Ririn juga harus tenang, makanya udah jangan nangis terus," ucap emak."Jadi gini, tadi aku janjian makan di cafe, lelaki itu ganteng, kekar kaya A Lutfi lah ga beda jauh cuma dia masih muda." Ririn sesenggukan.Agak kesal aku, masa iya tipe Ririn itu seperti suamiku."Ehmm!" Mas Lutfi berdehem, pasti dia geer. Aku mendelik saja ke arahnya."
Ternyata masih punya rasa takut juga dia."Iya, aku ga bakalan bilang kok, nanti juga ketahuan sendiri." Aku mendelik sinis ke arah Mas Hanif, jijik sekali melihat wajahnya ini.Kukira ia sudah berubah setelah Kirana hamil, nyatanya masih sama saja buaya, jadi ga sabar lihat Kirana melabrak Mbak Seli lagi.Usai makan, aku pun pulang ke rumah. Ririn girang sekali walau dibelikan ponsel seharga dua jutaan, kukira akan protes.Ia mengucap banyak terima kasih padaku juga Mas Lutfi. Begitu pula dengan emak, ia merasa tak enak karena Ririn sudah banyak merepotkan kami."Ga masalah kok, Mak, adik Risti ya berarti adikku juga," ucap Mas Lutfi saat Emak mengucap banyak terima kasih"Aa baik banget, terima kasih ya." Ririn memeluk suamiku, kurangi ajar memang dia itu, untung suamiku cepat menghindar.Sudah satu minggu emak dan Ririn nginap di rumah, setelah punya ponsel baru Ririn lebih betah ngurung diri di kamar, apalagi di rumah ini ada WiFi yang terpasang.Hari ini tepat sepuluh hari akhirn
Kuceritakan masalah Ririn si pembohong itu pada Mas Lutfi, tapi anehnya pria itu terlihat biasa saja, tak cemas atau pun kesal sepertiku."Ada-ada saja adikmu itu." Mas Lutfi malah bicara begitu, kukira ia akan marah lalu kami pulang kampung untuk menghajarnya."Kok Mas ga marah?" tanyaku dengan pandangan aneh, awas saja kalau dia suka Ririn!"Mau gimana lagi." Mas Lutfi mengembuskan napasnya."Mas suka 'kan sama adik tiriku? makanya ga marah dengan kelakuan liciknya itu," selidikku."Astaghfirullah, engga gitu, Yang." Mas Lutfi melirikku."Lah terus?""Gini, Yang, anggap aja itu sebagai pembersihan dosa kita, lagian cuma dua juta ikhlaskan aja ya, kamu mau ga dosa-dosanya dihapus sama Allah.""Kita sekarang lagi dizalimi sama si Ririn, doa kita bakal terkabul langsung menembus langit, dari pada marah-marah, mending kita berdoa supaya duit kita tambah banyak dan berkah."Mas Lutfi ceramah lagi, suruh sabar katanya. Tapi aku takkan diam saja, akan kuberi pelajaran si Ririn itu.Gegas a
"Jangan, Mak. Aku bilang sudah ga usah diganti, uangku ini masih banyak!" ucapku sedikit tegas.Kalau ga digituin Emak pasti ngeyel mau ganti uang Ririn kemarin."Tapi, Ris ....""Udah, Mak, jangan. Kalau Emak nekat transfer uang yang kukasih ya sudah aku bakal marah sama Emak."Di seberang sana terdengar hening beberapa saat."Kalau gitu, maafin Ririn ya, Nak. Emak sudah tegur dan marahi dia, insya Allah kejadian kaya gini ga akan terjadi lagi."Telpon dimatikan."Apa kata Emak?" tanya Mas Lutfi.Kuceritakan saja semua yang dikatakan emak padanya barusan."Sudah ya mulai sekarang belajar sabar, pasti ada hikmah dibalik musibah ini," ujar Mas Lutfi lalu tak berkata lagi.Satu Minggu setelah kejadian itu, tiba-tiba ada seseorang yang menelpon Mas Lutfi, dia adalah lelaki yang sempat meminjam uang kami satu tahun lalu.Mas Lutfi bicara dengan orang itu, sedangkan aku duduk menyimak di dekatnya."Kabar baik, Yang," ujar Mas Lutfi saat sudah mengakhiri telponnya."Apaan, Mas?" tanyaku pen
"Berapa, Mas?" Aku menatap tak percaya."Dua puluh juta," jawabnya dengan mata membulat.Padahal, seingatku dahulu Mas Lutfi hanya memberikan sepuluh juta kenapa sekarang bertambah?"Emang ga jadi riba, Mas?"Setahuku, kalau meminjamkan uang sepuluh juta dan mengembalikannya sebesar dua puluh juta maka, yang bunganya itu dinamakan riba, dan riba itu haram dalam Islam "Riba apanya sih? Mas 'kan ga pernah minjamkan uang, dan ibu juga ini ngasih buat anak kita, bukan mengembalikan pinjaman," katanya seraya menatap layar ponsel.Aku lega, syukurlah kalau memang akadnya begitu, dulu kami memang memberikan modal sepuluh juta secara cuma-cuma untuk ibu dan bapak, tak niat meminjamkan sama sekali."Mas bilang juga apa, sabar." Mas Lutfi mengelus dada sambil menyeringai.Aku memalingkan wajah menyembunyikan senyum, iya dah kali ini aku yang kalah dia yang menang."Mau pakai apa duit pemberian ini?" tanyaku, ternyata punya uang banyak bingung juga, apalagi tak punya.Mas Lutfi mikir sebentar.
Mulut wanita itu memang minta dilakban, emangnya dia ngasih sepuluh juta saja pamernya minta ampun.Mas Lutfi pun menyerahkan amplop coklat besar berisi uang dua puluh lima juta itu. Kirana mematikan kameranya dan masih setia duduk di tempat."Ini, Pak, sedekah dari saya dan istri. Semoga bermanfaat untuk anak-anak yatim di sini," ujar suamiku.Mas Hanif dan Kirana menganga melihat amplop kami lebih besar dan tebal dari pemberiannya."Maa Syaa Allah. Terima kasih, Pak, banyak sekali ini. Kira-kira berapa ya nominalnya?" tanya Pak Ustaz."Dua puluh lima juta, Pak Ustaz," jawab Mas LutfiKulihat Kirana dan Mas Hanif saling lirik."Maa Syaa Allah banyak sekali. Saya terima amanah dari bapak dan ibu dan insya Allah akan saya gunakan untuk keperluan panti dan diberikan pada anak-anak." Pak Ustaz tersenyum gembira."Terima kasih ya Pak Lutfi, Pak Hanif. Semoga sedekah kalian dan istri dibalas pahala oleh Allah, dan rezekinya tambah berkah.""Aamiin." Serentak kami mengucapkan.Setelah seles
Aku memandang wajah Mas Lutfi yang berubah pucat, ia seperti kebingungan antara harus tersenyum atau apa."Ini pasti Teh Risti ya?" Wanita itu tersenyum ke arahku."Iya, siapa ya?" Aku balik bertanya.Perempuan itu mengulurkan tangan padaku."Aku Sabrina, Teh, Mamanya Rafka."Tanganku langsung dingin setelah bersalaman dengannya begitu tahu dia Sabrina, wanita yang berperawakan sedang tapi bodynya aduhai itu tersenyum menatapku.Tingginya memang tak melampauiku. Namun, body Sabrina jauh lebih mont*k dan sexy dariku, kulitnya kuning Langsat, hidungnya tegak tapi tak terlalu mancung dan mata agak sipit."Oh, iya iya." Aku pun berusaha tersenyum walau males."Ini rumah kalian?" tanyanya sambil menunjuk rumah kami."Iya.""Wah kebetulan ya kita tetanggaan berarti."Aku melirik Mas Lutfi, wajah suamiku itu semakin pucat, dia kenapa? apa jangan-jangan baper ketemu mantan?"Kok bisa kamu punya rumah di sini? sengaja mau tetanggaan sama kami?" tanyaku agak sinis.Awas saja kalau ia ternyata s