"Ngomongin apa sih kok Bu Besan gitu amat ketawanya?" Emak tiba-tiba datang bawa sepiring pisang goreng."Ini ngomongin KB cungkir, Bu." Mertuaku ketawa lagi, sedangkan aku dan Mas Lutfi salah tingkah."Oalah, Bu Besan masih pake KB itu?" Emak mulai kepo."Bukan saya, tapi mereka." Mertua menujukku dan Mas Lutfi.Akhirnya dua wanita yang pernah melahirkan kami itu terbahak-bahak sambil melahap pisang goreng."Kamu bingung ya, Ris, KB cungkir gimana? ... itu loh kalau kata anak zaman sekarang dikatakan KB cabut singkong." Emak menjelaskan lalu mereka tertawa lagi.Dasar, ternyata otak nenek-nenek lebih mesum dari anak muda. "Tapi dibicarain dulu sama Nak Lutfi mau atau tidaknya, jangan sampai suamimu cemberut nantinya," sahut emak masih ketawa.Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar, kalau terus di sana mungkin bisa makin ngeres otakku ini, mana puasa empat puluh hari, hihi.Pintu kamar sedikit terbuka aku langsung masuk tanpa suara, kulihat di dalam ada bapak, sedang mengamati lemari
Emak nampak menunduk kasihan sekali, aku tahu yang ada di pikirannya saat ini, kalau cerai dengan bapak pasti takut diusir dari rumah, sedangkan tanah yang di atasnya dibangun rumah itu milik Emak, ujung-ujung pasti dikuasai bapa semua."Kamu yakin? emang Lutfi ngijinin?" tanya Emak penuh harap "Yakin, Mak, makanya aku ngomong, soal Mas Lutfi itu ga masalah, kalau dia ga mau terima Emak maka jangan harap mau jadi suamiku dan ayah dari anakku."Emak langsung diam dijawab begitu."Terima kasih ya, Emak pikir-pikir, agar perceraian itu tidak berdampak negatif ke depannya, kamu tahu sendiri bapak tirimu itu kaya apa," bisik Emak.Ya aku tahu, dia suka main dukun kalau sakit hati terhadap orang, dahulu saja ia berkelahi dengan ketua RT di kampung, satu Minggu kemudian Pak RT masuk rumah sakit, satu bulan sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal.Bisa dikatakan Emak menikahi bapak seperti membeli kucing dalam karung, di masa pendekatan terlihat alim, tapi saat sudah menikah baru ketahuan bo
"Bapak minjam uang?" tanyaku di kamar."Iya, tiga puluh juta katanya.""Terus?" tanyaku menatap tak sabar "Mas akan kasih tapi nanti selesai aqiqah, kenapa?"Aku mencebikkan mulut, kesal rasanya keinginan kakek tua itu dengan mudah dikabulkan Mas Lutfi."Ini untuk buka usaha, Yang, kok kamu cemberut gitu, jangan pelit dong, mereka orang tua kita." Mas Lutfi membujuk."Kamu yakin Bapak bisa membayarnya?" tanyaku menatap sinis."Gini Yang, kalau kita meminjamkan uang kepada orang misal selama satu tahun belum di kembalikan, nah setiap hari dalam setahun itu kita punya pahala sedekah senilai uang yang kita pinjamkan.""Misal Mas ngasih minjamkan tiga puluh juta ke bapak, dan setahun baru lunas, nah dalam jangka setahun kemarin setiap harinya kita mendapatkan pahala sedekah senilai tiga puluh juta perharinya.""Ingat akhirat, Yang, jangan mengedepankan nafsu. Andai bapak zalim pun yang rugi dia sendiri."Kalau sudah ceramah menyangkut akhirat aku tak bisa berkutik lagi."Ya sudah kalau
bab 35.B HuMas Lutfi diam sambil berfikir."Bayangin, Mas, setiap aku transfer uang ke Emak, pasti diambil semua sama Bapak.""Dan satu lagi, Emak selalu minta maaf kalau Bapak atau Ririn buat salah, aku tuh kasihan.""Sebagai anak kita hanya bisa mendukung, Yang, jangan nyuruh-nyuruh cerai, biarkan dia sendiri yang buat keputusan ya." Begitu katanya."Tapi aku kasihan.""Syuuut udah, yang harus dikasihani itu Mas, udah empat puluh hari lebih puasa, emang kamu ga kasihan," bisiknya menggoda."Ih apaan sih!" Aku mendorong tubuhnya dengan keras."Masa ga ngerti." Ia mencolek daguku."Nanti ya tunggu sampai siap, sekarang belum masih takut.""Hih dosa loh." Mas Lutfi menunjuk wajahku.Dasar tak sabaran!Keesokan harinya ada tamu tak diundang, Mas Lutfi sampai menunda keberangkatannya menuju tempat kerja demi tamu itu.Dia adalah ayah Sabrina yang dahulu pernah menolak dan menghina Mas Lutfi habis-habisan, Sabrina juga ikut menemani ayahnya ke rumah kami."Sehat, Nak?""Alhamdulillah, Ba
Sabrina datang sambil menggandeng bocah lelaki yang tingginya kira-kira hampir sama dengan pinggangku.Rambutnya lurus dan cepak, kulitnya sawo matang seperti suamiku, dan aku terkejut saat anak itu sudah masuk ke dalam, dari bentuk wajahnya ia begitu mirip dengan Mas Lutfi.Mataku sampai tak berkedip menatapnya, bocah itu berdiri ketakutan melihat kami yang masih asing baginya."Rafka, itu Papa asli kamu." Sabrina menunjuk suamiku."Sini, Nak. Ini Papa." Mas Lutfi merentangkan tangan ingin memeluk anak itu.Namun, Rafka seperti ketakutan ia masih diam tak bergerak satu Senti pun, malah menggenggam erat tangan Sabrina.Mas Lutfi berdiri lalu maju beberapa langkah, jongkok menyeimbangkan tubuh di hadapan anaknya itu. sambil menangis Mas Lutfi memeluk Rafka.Namun, anak itu justru berontak dan bersembunyi di balik tubuh ibunya, menatap Mas Lutfi ketakutan. "Itu, Papa, Nak. Papa kamu," ujar Sabrina sambil mengelus rambut putranya.Bocah yang berwajah oval itu masih saja mengkerut ketaku
"Mas kamu ngerasa ga sih dimanfaatkan sama Sabrina dan bapaknya?" tanyaku saat mereka sudah pergi.Mas Lutfi malah diam, mungkin ia pun merasa begitu tapi tak berani katakan ya."Coba bayangin, dulu dia hina kamu 'kan? ga hanya itu dengan kejam bapaknya Sabrina juga memisahkan kamu sama Rafka, lah sekarang datang-datang minta pertanggung jawaban kamu," sahutku lagi.Bibir ini gatal sekali kalau tak bicara begitu, aku tak ingin Mas Lutfi dijadikan sapi perah oleh Sabrina dan bapaknya, karena dari gelagat pun aku sudah curiga kalau bapak Sabrina menginginkan sesuatu dari Mas Lutfi."Entahlah, Yang, Mas sebenarnya ngerasa begitu tapi bagaimana lagi Rafka itu anak biologisku walaupun tak benasab padaku." Ia terlihat murung."Mungkin ini yang namanya resiko perzinahan, Yang, korbannya Rafka.""Dan yang egois itu Keluarga Sabrina, harusnya dulu mereka restui kalian nikah bukan menikahkan Sabrina sama orang lain." Aku mencebikkan mulut."Kok gitu sih ngomongnya, jodoh Mas itu 'kan kamu bukan
[Sebenarnya janda sebelah rumah saya itu tetangga suami saya di kampung, Bu, tadi katanya mau pinjam uang dia itu, bukan ngasih cuma-cuma] sendKukirim balasan untuk Bu Sisca agar tak salah faham, bagaimana pun juga masalah rumah tanggaku jangan sampai didengar orang lain.[Oh gitu ya, kirain minta, abis tuh janda kayanya kegatelan yah] balas Bu Sisca.Segera aku mengetik lagi, kali ini aku sangat setuju dengan pendapat tukang gosip ini[Iya kayanya, saya juga ga terlalu suka] send[Suami kita harus dijaga bener-bener ini biar ga digondol tuh janda] Lengkap dengan emoticon ngakak di belakangnya.Aku tertawa sendirian membaca balasan Bu Sisca, lalu mengetik lagi.****Sore ini matahari nampak menguning, lumayan cerah sangat cocok untuk jalan-jalan atau menikmati waktu luang sore hari.Mas Lutfi pun sudah pulang, ia terlihat memarkirkan mobilnya di garasi."Assalamualaikum." Sebuah sapaan lembut yang selalu kurindukan terdengar. Namun, kini sapaan itu seperti percikan api yang siap meny
"Kata siapa tiga juta? udah tiga bulan ini aku selalu transfer lima juta sesuai keinginan kamu, aku emang pernah transfer tiga juta, tapi itu dulu pas pertama pegang ATM kamu, kalau ga percaya ambil hapeku sekarang!" Dadaku naik turun dibuatnya, dasar Sabrina sudah kutransfer lima juta malah bilang tiga juta, untuk apa coba kalau bukan untuk morotin suamiku."Kok malah diem, ayo sana ambil aku tunjukkan riwayat transfernya sama kamu!" Aku membentak Mas Lutfi.Ia berdiri meraih hapeku yang teronggok di dalam lemari, lalu memberikannya padaku. Gegas aku membuka aplikasi banking."Nih, lima juta." Aku memperlihatkan layar ponsel padanya.Mata Mas Lutfi terpejam usai melihat deretan angka di layar ponselku, tertipu kamu Mas!"Kalau kamu ga bisa tegas, biar aku saja yang tegas!""Iya iya maaf, Yang, lain kali Mas akan tegas. Udah ya jangan ngambek terus," ucapnya mencoba meredakan emosiku.Namun, bara di dalam dada masih menyala tak mungkin padam begitu saja, rasanya aku perlu bicara deng