"Bapak minjam uang?" tanyaku di kamar."Iya, tiga puluh juta katanya.""Terus?" tanyaku menatap tak sabar "Mas akan kasih tapi nanti selesai aqiqah, kenapa?"Aku mencebikkan mulut, kesal rasanya keinginan kakek tua itu dengan mudah dikabulkan Mas Lutfi."Ini untuk buka usaha, Yang, kok kamu cemberut gitu, jangan pelit dong, mereka orang tua kita." Mas Lutfi membujuk."Kamu yakin Bapak bisa membayarnya?" tanyaku menatap sinis."Gini Yang, kalau kita meminjamkan uang kepada orang misal selama satu tahun belum di kembalikan, nah setiap hari dalam setahun itu kita punya pahala sedekah senilai uang yang kita pinjamkan.""Misal Mas ngasih minjamkan tiga puluh juta ke bapak, dan setahun baru lunas, nah dalam jangka setahun kemarin setiap harinya kita mendapatkan pahala sedekah senilai tiga puluh juta perharinya.""Ingat akhirat, Yang, jangan mengedepankan nafsu. Andai bapak zalim pun yang rugi dia sendiri."Kalau sudah ceramah menyangkut akhirat aku tak bisa berkutik lagi."Ya sudah kalau
bab 35.B HuMas Lutfi diam sambil berfikir."Bayangin, Mas, setiap aku transfer uang ke Emak, pasti diambil semua sama Bapak.""Dan satu lagi, Emak selalu minta maaf kalau Bapak atau Ririn buat salah, aku tuh kasihan.""Sebagai anak kita hanya bisa mendukung, Yang, jangan nyuruh-nyuruh cerai, biarkan dia sendiri yang buat keputusan ya." Begitu katanya."Tapi aku kasihan.""Syuuut udah, yang harus dikasihani itu Mas, udah empat puluh hari lebih puasa, emang kamu ga kasihan," bisiknya menggoda."Ih apaan sih!" Aku mendorong tubuhnya dengan keras."Masa ga ngerti." Ia mencolek daguku."Nanti ya tunggu sampai siap, sekarang belum masih takut.""Hih dosa loh." Mas Lutfi menunjuk wajahku.Dasar tak sabaran!Keesokan harinya ada tamu tak diundang, Mas Lutfi sampai menunda keberangkatannya menuju tempat kerja demi tamu itu.Dia adalah ayah Sabrina yang dahulu pernah menolak dan menghina Mas Lutfi habis-habisan, Sabrina juga ikut menemani ayahnya ke rumah kami."Sehat, Nak?""Alhamdulillah, Ba
Sabrina datang sambil menggandeng bocah lelaki yang tingginya kira-kira hampir sama dengan pinggangku.Rambutnya lurus dan cepak, kulitnya sawo matang seperti suamiku, dan aku terkejut saat anak itu sudah masuk ke dalam, dari bentuk wajahnya ia begitu mirip dengan Mas Lutfi.Mataku sampai tak berkedip menatapnya, bocah itu berdiri ketakutan melihat kami yang masih asing baginya."Rafka, itu Papa asli kamu." Sabrina menunjuk suamiku."Sini, Nak. Ini Papa." Mas Lutfi merentangkan tangan ingin memeluk anak itu.Namun, Rafka seperti ketakutan ia masih diam tak bergerak satu Senti pun, malah menggenggam erat tangan Sabrina.Mas Lutfi berdiri lalu maju beberapa langkah, jongkok menyeimbangkan tubuh di hadapan anaknya itu. sambil menangis Mas Lutfi memeluk Rafka.Namun, anak itu justru berontak dan bersembunyi di balik tubuh ibunya, menatap Mas Lutfi ketakutan. "Itu, Papa, Nak. Papa kamu," ujar Sabrina sambil mengelus rambut putranya.Bocah yang berwajah oval itu masih saja mengkerut ketaku
"Mas kamu ngerasa ga sih dimanfaatkan sama Sabrina dan bapaknya?" tanyaku saat mereka sudah pergi.Mas Lutfi malah diam, mungkin ia pun merasa begitu tapi tak berani katakan ya."Coba bayangin, dulu dia hina kamu 'kan? ga hanya itu dengan kejam bapaknya Sabrina juga memisahkan kamu sama Rafka, lah sekarang datang-datang minta pertanggung jawaban kamu," sahutku lagi.Bibir ini gatal sekali kalau tak bicara begitu, aku tak ingin Mas Lutfi dijadikan sapi perah oleh Sabrina dan bapaknya, karena dari gelagat pun aku sudah curiga kalau bapak Sabrina menginginkan sesuatu dari Mas Lutfi."Entahlah, Yang, Mas sebenarnya ngerasa begitu tapi bagaimana lagi Rafka itu anak biologisku walaupun tak benasab padaku." Ia terlihat murung."Mungkin ini yang namanya resiko perzinahan, Yang, korbannya Rafka.""Dan yang egois itu Keluarga Sabrina, harusnya dulu mereka restui kalian nikah bukan menikahkan Sabrina sama orang lain." Aku mencebikkan mulut."Kok gitu sih ngomongnya, jodoh Mas itu 'kan kamu bukan
[Sebenarnya janda sebelah rumah saya itu tetangga suami saya di kampung, Bu, tadi katanya mau pinjam uang dia itu, bukan ngasih cuma-cuma] sendKukirim balasan untuk Bu Sisca agar tak salah faham, bagaimana pun juga masalah rumah tanggaku jangan sampai didengar orang lain.[Oh gitu ya, kirain minta, abis tuh janda kayanya kegatelan yah] balas Bu Sisca.Segera aku mengetik lagi, kali ini aku sangat setuju dengan pendapat tukang gosip ini[Iya kayanya, saya juga ga terlalu suka] send[Suami kita harus dijaga bener-bener ini biar ga digondol tuh janda] Lengkap dengan emoticon ngakak di belakangnya.Aku tertawa sendirian membaca balasan Bu Sisca, lalu mengetik lagi.****Sore ini matahari nampak menguning, lumayan cerah sangat cocok untuk jalan-jalan atau menikmati waktu luang sore hari.Mas Lutfi pun sudah pulang, ia terlihat memarkirkan mobilnya di garasi."Assalamualaikum." Sebuah sapaan lembut yang selalu kurindukan terdengar. Namun, kini sapaan itu seperti percikan api yang siap meny
"Kata siapa tiga juta? udah tiga bulan ini aku selalu transfer lima juta sesuai keinginan kamu, aku emang pernah transfer tiga juta, tapi itu dulu pas pertama pegang ATM kamu, kalau ga percaya ambil hapeku sekarang!" Dadaku naik turun dibuatnya, dasar Sabrina sudah kutransfer lima juta malah bilang tiga juta, untuk apa coba kalau bukan untuk morotin suamiku."Kok malah diem, ayo sana ambil aku tunjukkan riwayat transfernya sama kamu!" Aku membentak Mas Lutfi.Ia berdiri meraih hapeku yang teronggok di dalam lemari, lalu memberikannya padaku. Gegas aku membuka aplikasi banking."Nih, lima juta." Aku memperlihatkan layar ponsel padanya.Mata Mas Lutfi terpejam usai melihat deretan angka di layar ponselku, tertipu kamu Mas!"Kalau kamu ga bisa tegas, biar aku saja yang tegas!""Iya iya maaf, Yang, lain kali Mas akan tegas. Udah ya jangan ngambek terus," ucapnya mencoba meredakan emosiku.Namun, bara di dalam dada masih menyala tak mungkin padam begitu saja, rasanya aku perlu bicara deng
"Kalau iya kenapa? Lihat saja sebentar lagi dia akan kembali kepadaku!" ucapnya dengan percaya diri.Bibirku bergetar mendengar itu, ingin memaki dan mencaci wanita itu habis-habisan, kalau perlu menyeret tubuhnya ke jalanan."Oh begitu ya, silakan kalau berani!"Telpon kumatikan. Awas kau Sabrina, kamu coba menyulut api denganku, maka kamu pula yang pasti akan terbakar."Mas kamu masih cinta aku 'kan?" tanyaku berbisik.Malam telah larut dan mungkin ia juga kelelahan karena menggendong Maryam sejak tadi."Ya iya, emang kenapa?""Kalau sama Sabrina gimana?"Mas Lutfi menghela napas. "Dia cuma mantan.""Yakin?" Aku melingkarkan tangan ke perutnya."Tentu, Mas udah punya kamu dan Maryam, ga kepikiran nyari yang baru apalagi ke masa lalu." Ia mengangkat sudut bibirnya."Tadi Sabrina telpon katanya dia itu masih ada rasa sama kamu, malah dia bilang katanya aku sombong dan ga pantas jadi istri Mas, dia juga bilang mau buat Mas kembali lagi, itulah janjinya."Aku menggebu menjelaskan ancama
Lalu kami bergandengan tangan menghampiri meja semula, di sana pelayan wanita terlihat menunggu kami dengan sabar."Aku pesen ini, ini dan minumannya ini."Baik, Bu, ada lagi." Pelayan itu mengangguk ramah."Kamu pesan apa, Yang?" tanyaku sambil menatap Mas Lutfi."Samain aja sama kamu." Lalu Mas Lutfi berpindah tempat ke sisiku.Terakhir Sabrina yang memesan makan beserta putranya."Eh Maryam bangun tuh, Yang." Aku menunjuk Maryam yang menggeliat."Duuh, anak Papa udah bangun mau mimi ya." Mas Lutfi mengangkat tubuh Maryam dari stroller lalu memberikannya padaku.Aku segera mengambil botol susu dari dalam tas. Sementara pesanan sudah datang."Makannya Mas suapin ya, aaaak."Aku tersenyum manja diperlakukan romantis di depan mantannya, jelas Sabrina berusaha menyembunyikan kecemburuannya."Oh boleh." Aku menganga lalu mulai mengunyah steak yang terasa lezat di lidah."Enak, Yang?" tanya Mas Lutfi."Banget, apalagi makannya disuapin." Aku terkikik."Ih kamu mah belepotan, Yang." Mas Lu