Mata Anna membulat ketika mengenali sosok pria yang tengah termenung di depan gedung apartemennya. Kantong sampah masih Anna pegang ketika pria yang hampir dua bulan hilang itu berjalan mendekat ke arahnya. Andrew Lewis, pria yang hampir dilupakan Anna mendadak muncul kembali tanpa diduga. Anna menelan salivanya. Kenangan yang pernah terjadi di antara keduanya menyusup di sela-sela keterkejutan. Anna bertambah kebingungan menyusun kata ketika Andrew Lewis mendadak telah berdiri tepat dihadapannya. “Anna, kita perlu bicara. Ada satu hal yang harus kukatakan padamu,” kata pria itu memecah keheningan. Gaya berpakaian Andrew Lewis sama sekali tidak berubah. Udara malam mungkin semakin dingin tetapi memakai mantel tebal khas musim dingin sangatlah berlebihan. Namun, Anna sama sekali tidak mempermasalahkannya karena fokusnya saat ini bukan pada mantel, melainkan kondisi pria itu. Lama tidak bertemu menimbulkan begitu banyak perubahan pada diri pria itu. Tubuh Andrew Lewis tampak jauh leb
“Sudah berapa lama aku tertidur?” Dengan mata yang masih setengah mengantuk, Anna kemudian menjawab. “Kau pasti haus. Akan kuambilkan minum sebentar.” “Tidak perlu, Anna.” Andrew Lewis tiba-tiba menahan langkahnya. “Katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku bisa berada di kamarmu?” “Satu per satu kalau bertanya. Kau tiba-tiba tak sadarkan diri. Jujur saja, itu membuatku takut. Kenapa tidak bilang kalau kau sedang sakit?” “Aku tidak sakit. Aku hanya ….” Seketika Andrew Lewis teringat sesuatu yang sempat terlupakan. “Apa kau memanggil dokter kemari?” Anna menggeleng. “Tidak. Haruskah aku memanggilnya sekarang?” “No, It’s ok. Aku baik-baik saja.” Berbohong bukan sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Namun, berbohong untuk kebaikan, Anna rasa itu suatu pengecualian. Anna berpindah tempat ke pinggiran ranjang—menggenggam tangan Andrew Lewis untuk kesekian kalinya tanpa berniat berkata-kata. Jemari keduanya pun bertautan, seakan dari sanalah rasa hangat mengalir sebagai pengga
“Kalau kau merasa ragu, kita bisa meminta Edward untuk datang lagi kemari besok. Tidak apa-apa, Mom. Aku bisa memaklumi semuanya,” kata Anna ketika melihat ekspresi tegang Pamela sedari tadi. Anna beradu pandang dengan Edward dari kaca depan mobil. Pria paruh baya itu tampaknya mengerti lewat melalui tatapan Anna. “Lebih baik kita batalkan saja hari ini. Kita masih punya cukup waktu untuk berpikir, ok?” “Aku tidak apa-apa, Anna,” sahut Pamela menyela. “Aku hanya gugup karena sudah lama tidak menginjakkan kaki di sana. Aku bahkan tidak tahu bagaimana reaksi kakekmu ketika bertemu denganku nanti.” Anna kembali beradu pandangan dengan Edward. Sebenarnya, Anna juga meragukan hal yang sama. Lebih tepatnya Anna mempertanyakan dirinya. Belum genap satu minggu dia menolak permintaan Jason Luthor tetapi justru sekarang dirinya pergi menemui pria tua itu dengan sukarela. Jason Luthor bisa saja akan salah paham. “Kau tidak akan pernah tahu jika kau tidak mencobanya, Mom. Kita pergi ke sana h
“Menyesal pun sepertinya terlambat kulakukan. Tapi, kalau saja aku bisa memutar waktu, aku tidak akan pernah berpikiran datang kemari,” celoteh Anna berulang-ulang. Persis seperti dugaan Anna bahwa Jason Luthor salah mengerti atas maksud kedatangannya kemari. Anna mengamati setiap sudut kamar yang mereka berdua tempati—tempat di mana dulu adalah kamar ibunya. Tanpa sadar Anna terkesima serta menghampiri letak barang yang membuatnya lupa akan kekesalannya beberapa saat lalu. “Apakah dulu kau sendiri yang menata kamarmu ini, Mom? Kamar ini sungguh mencerminkan dirimu.” Pamela menggeleng. “Aku lebih sering ke club malam daripada di rumah. Bibi Elma yang selalu bertanggung jawab mengurus kamarku. Anehnya hampir semua barang yang dia taruh di sini, aku pun menyukainya.” “Aku bahkan bisa membayangkan sedekat apa kalian berdua.” “Ya, karena sejak kecil aku telah diasuh olehnya. Dia sungguh tak tergantikan.” Anna mengangguk lalu menghilang di dalam kamar mandi yang bahkan luasnya pun beb
Membersihkan tubuh dan berganti pakaian langsung Anna lakukan begitu tiba di apartemen. Anna sekalipun tidak membiarkan otaknya mengingat apa saja yang terjadi di rumah mewah Jason Luthor. Anna benar-benar segera melupakannya. Meskipun mereka telah menemukan sedikit titik terang, tapi bagi Anna sepertinya sia-sia saja. Masalahnya baik Edward maupun Jason Luthor sama-sama tidak mengerti pesan tersembunyi yang ditinggalkan ayahnya. Kembali pada kesibukannya menjadi barista pembuat kopi, membuat Anna kembali menjadi dirinya. Anna ingin kembali pada dirinya yang dulu bebas melakukan apa pun. Hanya ada kata uang dalam otak Anna, berbeda dengan sekarang. Sekarang otak Anna seperti dipaksa untuk memikirkan sesuatu yang bukan lagi porsinya—membuat pusing saja. “Apa kau baik-baik saja, Anna?” tanya Samantha membelakangi mesin kasir. “Ke mana saja kau selama dua hari tidak bekerja? Menghubungiku saja tidak.” Selama dua hari ini Anna memang sengaja tidak menghubungi siapa pun selain atasannya.
Dugaan Anna benar. Simbol samar yang ada di ketiga surat ayahnya adalah simbol dari marigold. Dan satu-satunya corak yang sama yang berhasil mereka temukan ada pada jam weker di atas nakas di dalam kamar tempat Anna dan ibunya dulu menginap. “Lalu, apa yang akan kita lakukan dengan jam weker ini?” tanya Jason Luthor mulai penasaran. “Tidak hanya simbol marigold tetapi aku juga menyadari jika daddy selalu menuliskan tanggal beserta dengan waktu saat menulis surat ini. Jadi, jika aku memutar jarum jam sesuai dengan waktu yang tertulis, maka—” Klek! Anna sendiri kaget karena dugaannya kembali benar. Sebuah ruangan kecil yang berisi sebuah kertas dengan lipatan kecil ditemukan di sana. Anna terbelalak saat membukanya. Itu adalah goresan tangan yang sama. Tulisan tangan sang ayah. “Apa isinya, Anna?” tanya Jason Luthor lagi. Anna menelan salivanya kemudian membacanya dengan lantang. “Siapa pun yang menemukan surat ini, semoga kau adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk membantuku. P
Pertemuan terakhir Anna dan Jason Luthor berakhir masih meninggalkan pertanyaan besar di otaknya. Tidak akan ada seorang pun yang menyangka bahwa diamnya Anna bahwa wanita itu sedang memikirkan jalan keluar dengan caranya sendiri. Anna jelas bukan tipe wanita yang mau begitu saja menurut omongan orang, sekalipun pada Jason Luthor. Tidak. Anna jelas mempunyai jalan pikirannya sendiri. Ketika mobil yang dikemudikan Edward meninggalkan pekarangan rumah Jason Luthor, Anna membuang wajahnya ke samping jendela. Pikiran Anna berkelana kembali ke isi surat Richie yang sampai saat ini masih dipegangnya. Mendadak Anna teringat perkataan Jason Luthor. Sebenarnya, ucapan pria tua itu benar. Ketiga surat yang mereka temukan tidak menjawab teka-teki yang ditinggalkan dan justru menimbulkan teka-teki baru karena mereka harus segera menemukan sambungan surat lanjutan untuk menambahkan informasi. Tapi, di mana Anna harus mencari surat itu? Anna mendadak merasa pening sendiri. “Istirahatlah, Anna.” A
Pertemuan terakhir Anna dan Jason Luthor berakhir masih meninggalkan pertanyaan besar di otaknya. Tidak akan ada seorang pun yang menyangka bahwa diamnya Anna bahwa wanita itu sedang memikirkan jalan keluar dengan caranya sendiri. Anna jelas bukan tipe wanita yang mau begitu saja menurut omongan orang, sekalipun pada Jason Luthor. Tidak. Anna jelas mempunyai jalan pikirannya sendiri. Ketika mobil yang dikemudikan Edward meninggalkan pekarangan rumah Jason Luthor, Anna membuang wajahnya ke samping jendela. Pikiran Anna berkelana kembali ke isi surat Richie yang sampai saat ini masih dipegangnya. Mendadak Anna teringat perkataan Jason Luthor. Sebenarnya, ucapan pria tua itu benar. Ketiga surat yang mereka temukan tidak menjawab teka-teki yang ditinggalkan dan justru menimbulkan teka-teki baru karena mereka harus segera menemukan sambungan surat lanjutan untuk menambahkan informasi. Tapi, di mana Anna harus mencari surat itu? Anna mendadak merasa pening sendiri. “Istirahatlah, Anna.” A