Share

Bab 5

Penulis: Trinagi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-28 20:20:14

"Kamu itu ada kurang kurangnya aku lihat!" Protesku pada Jenny setelah Sidik dan kawannya pergi meninggalkan kami berdua.

 

"Maksud kamu apa sih?" tanya Jenny dengan tatapan kurang bersahabat. Memang gadis penyuka warna pink ini tidak bisa dinasehati, dia merasa harganya dirinya jatuh kalau dinasehati sama yang lebih muda dari dia.

Kurasa saraf di kepala anak ini memang rada konslet. Tidak sadar sudah berbuat kesalahan.

 

"Buat apa sih kamu jujur banget sama Sidik tadi? Baru kenal saja bagaikan sahabat lama. Apa kamu tidak takut memberikan alamat sementara kita baru kenal sama dia? Bagaimana kalau mereka itu penjahat atau komplotan perampok yang sedang mencari target? Jaman sekarang, mana ada manusia yang baik, Nong ... Nong. Bego mu jangan kau borong sendiri. Kamu bagi-bagi sana!" Kesal aku melihat sepupuku yang satu ini tidak ada pintar-pintarnya.  Padahal di sekolah dulu dia selalu mendapat rangking satu. 

 

"Kamu itu terlalu banyak nonton film detektif makanya begini. Makanya kalau mau nonton itu drama percintaan," ujarnya membela diri.

 

"Nong, Sekarang kita bukan hidup dalam dunia sintetron. Yang kita hadapi manusia dunia nyata. Kamu gak kapok-kapoknya ya?" Sekarang aku yang memukul kuat pundaknya sehingga membuat dia maju selangkah kedepan.

 

"Kenapa sih kamu curigaan saja."

 

"Kamu ya ... tidak bisa belajar dari kesalahan. Gak kapok!" teriakku kesal seraya berjalan ke meja kasir untuk membayar makanan yang kami santap berdua tadi.

 

"Kapok kenapa? Seingatku, Aku gak pernah berbuat yang aneh-aneh, deh," tanyanya lagi. Nampaknya anak itu sudah tidak trauma lagi dengan kejadian yang menimpanya beberapa bulan yang lalu.

 

"Coba kamu ingat-ingat lagi." Aku mengembalikan kembali ingatan sepupuku ke masa lalu. Dimana hampir saja dirampas kehormatannya oleh pria yang baru saja dikenalnya.

 

"Bu, berapa semua?" tanyaku pada si ibu penjual sarapan. 

 

"Sudah dibayar sama bapak yang tadi," jawab wanita bertubuh gempal itu dengan menyunggingkan senyum manisnnya. 

Mungkin maksud ibu tersebut, Sidik atau Iqbal. Tapi kenapa mereka tidak bilang bilang telah membayar makanan kami? Kalau aku mengetahuinya pasti akan aku tolak mentah-mentah. 

 

"Maksud ibu, lelaki yang duduk disebelah kami tadi?" tanyaku memastikan dan dijawab dengan anggukan oleh si ibu bertubuh gempal tersebut.

 

"Tuh kan? Kamu suka suudzon aja sama orang. Padahal Sidik itu baik tetapi kamu tuduh dia jahat. Sindikat lah. Kalau dia sindikat gak akan mungkin dia mau membayar makan kita yang tidak sedikit itu." Memang ya Jenong ini, baru saja dikasih uang tiga puluh ribu saja udah klepek-klepek. Bagaimana jika dikasih ratusan ribu? Mungkin semua akan diserahkan. Ah ... murah sekali harga diri kakak sepupuku yang satu ini.

 

"Kamu pikir, penjahat itu gak mau berkorban uang. Jenong ... jenong. Cuma tiga puluh ribu loh. Uang segitu bagi mereka sangat kecil. Dia dapat lebih banyak dari jual tubuh kamu, tau!" ujarku mengintimidasi. Anak itu terlalu lugu dan polos. 

 

Plak.

 

Jenni memukul bahuku kasar. Hilang sudah kata halus untuk wanita dua puluh lima tahun itu.

 

"Kamu gak ingat dengan kenalan kamu dua bulan yang lalu? Yang katanya polisi. Kamu hampir dilecehkan sama dia kan? Sekarang kamu mau diperlakukan lagi seperti itu?" tanyaku kesal dan Jenny terdiam seribu bahasa. Syukurlah akhirnya dia menyadari kesalahannya.

 

"Kamu masih ingat Yumna?" tanyaku mencoba mengingatkan kembali ingatan sepupu yang sok kecantikan tapi suka lupa ingatan jika melihat cowok ganteng.

 

"Kenapa dia?"

 

"Dia kena tipu berapa puluh juta dari lelaki yang baru dikenalnya juga. Lelaki sekarang hanya bermodalkan ganteng udah bisa menguras dompet perempuan-perempuan bodoh macam kamu!" ujarku. Jenny begitu marah karena aku mengatakan dia itu bodoh, kenapa dia tidak menerimanya sementara kenyataannya begitu, kan?

 

Sepanjang perjalanan pulang kami berdua diam seribu bahasa. Tidak ada yang perlu dibahas lagi, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

Setengah jam perjalanan, akhirnya sampai juga dirumah tempat aku menghabiskan masa kecil bersama Jenni dan kedua orang tuaku.

 

"Assalamualaikum," sapaku. Tidak berapa lama ibu keluar dengan masih mengenakan mukenah. Nampaknya beliau baru selesai mengerjakan solat sunat dhuha.

 

"Wa alaikum salam. Kenapa baru sampai jam segini. Apa kalian sudah sarapan?" tanya ibu saat aku dan kak Jenny mengulurkan tangan hendak menyalaminya.

 

"Udah tadi makan diwarung!" jawabku malu-malu disambut tatapan mendelik dari wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini.

 

"Kalian ya! Berapa kali sudah ibu bilang. Kalian itu anak gadis, tidak pantas makan diwarung!" Nasehat ibu lagi. Biasalah orang zaman dulu, terlalu banyak pantangan untuk seorang anak gadis. Jangan makan diwarung, takut dikira oleh para lelaki kami perempuan ini malas bangun pagi. Mereka takut kalau berumah tangga jadi malas memasak sarapan untuk anggota keluarga. 

 

Nanti tidak ada laki-laki yang mau menikahimu. Bulshit. Kenapa wanita harus dituntut begini begitu? Sementara lelaki bebas melakukan apa saja!

 

Seperti saat ini, sudah tahu aku baru pulang berpergian bagaimana bisa masak sarapan. Coba berfikir secara logika deh. Menyebalkan banget hidupku kan?

 

"Namanya dalam perjalanan jauh, Bu. Mayra lapar dari semalam sore belum makan!" rajukku kesal. Aku langsung masuk ke kamar hendak tidur karena semalaman tidak bisa tidur di dalam bus.

 

Sesampai dipintu kamar, aku memutar tubuh ini melihat ibu masih berdiri diruang tamu dengan pandangan kearahku.

 

"Bu, Mayra tidur dulu ya? Ngantuk berat semalaman gak tidur dalam bus,"  ujarku saat seraya menutup mulut yang sedang menguap dengan satu tangan.

 

"Iya. Mandi dulu biar segar," titah wanita berdaster bunga matahari itu dan aku menjawab dengan anggukan.

 

Setelah membersihkan diri, segera aku tidur. Diri ini tidak ingat berapa jam tertidur. Saat aku bangun sudah masuk waktu ashar.

 

Gegas aku ke kamar mandi untuk melaksanakan kewajiban empat rakaat, kusambung dengan zikir dan istighfar. 

 

***

 

Enam bulan sudah aku menjadi pengangguran. Selama enam bulan juga mas Arkan tidak ada kabar berita. Nomor ponsel yang biasa menghubungiku juga tidak aktif lagi. Entah kemana perginya lelaki yang telah menawan hati ini selama lima tahun lamanya.

 

Selama dirumah ibu dikampung, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan menonton drama korea. Akibat sering begadang, bangun pagi sering jam 9 pagi kadang jam sepuluh.

 

"Mayra, ya Allah anak gadis belum bangun jam segini, nanti rejekimu dipatok ayam," ibu menarik selimutku dan melempar kesembarang tempat.

 

"Ya, Bu. Mayra sudah bangun tadi tapi tidur lagi," jawabku seraya mengucek mata.

 

"Baru pun jam sembilan ibu sudah bilang siang! Gak bisa lihat Mayra senang," ujarku seraya memeluk bantal guling kesayangan bermotif barbie. Boneka bantal ini hadiah dari mas Arkan disaat ulang tahunku yang ke dua puluh. 

 

"Baru jam sembilan kamu bilang belum siang? Ya Allah, Nak. Nak. Punya anak gadis kok begini amat sih. Bangun." Setelah membuka jendela juga gorden, ibu menarik tubuh ini ke kamar mandi.

 

"Ibu!" rengekku manja bagaikan anak kecil yang sedang merayu ibunya dibelikan boneka.

 

"Mandi yang bersih jangan lupa luluran."

 

"Ah ... ibu. Dirumah aja pun ngapain luluran segala. Sayang lulur Mayra. Ntar cepat habis."

 

"Udah. Jangan banyak membantah. Minggu depan kamu mau dilamar!"

 

"Hah?"

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 49

    "Maafkan Mayra tidak bisa melayani Mas seperti seorang istri pada umumnya!" ujarku tergugu tatkala melihat mas Sidik mencuci baju sendiri.Biasanya selain ada ibuku dan ibu mertua, dirumah kami juga juga membayar tukang cuci.. Tapi hari ini izin libur karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggal. Sementara ibuku dan ibu mertua sudah pulang."Gak apa-apa, Sayang!" Mas Sidik masuk ke kamar dan merebahkan diri disisiku dan meraih tangan ini kemudian diletakkan dipipinya."Kasian Mas. Gara-gara Mayra jadi begini!" Aku berbalik arah tidur menatap kearah suamiku."Menurut Mas, tidak ada yang perlu dikasihani, sudah biasa dalam berumah tangga kita saling membantu, May. Kalau Mas sakit siapa yang bantu? Pasti istri kan?" tanyanya dengan suara lemah lembut seraya mengelus pucuk kepalaku. Mas Satria meraih pundak ini dan meletakkan didadanya."Sayang, Mas tidak pernah merasa Kamu repotkan. Jadi jangan pernah merasa bersalah, ya?" Mas Satria mengecup pucuk kepalaku, lama. Tuhan ... terim

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 48

    "Mas, Mayra pendarahan!" aduku pada mas Siddik yang sedang berbaring ditempat tidur. Tadi aku juga ikut berbaring disebelahnya, tapi aku bangun hendak ke kamar mandi. Tiba-tiba dikejutkan tatkala melihat darah banyak bercecetan di lantai."Apa?" Mas Siddik tersentak dan langsung bangun dari pembaringannya. "May, jangan banyak gerak dulu!" ujar mas Siddiq panik seraya membawa tubuh ini ke ranjang untuk tidur. Walaupun aku berjalan pelan tapi darah masih menetes juga."Tidur aja ya? Begini saja, nyamankan?" Aku hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Mas Siddik. Lelakiku mengambil bantal dan menyangga kaki ini. Mungkin untuk menghentikan pendarahan.Pandangan mata sudah mulai kabur, aku sudah mulai hoyong. Tatapanku juga berkunang-kunang dan mutar. Tuhan ... selamatkan aku dan bayiku."Mas kerumah dan-ki dulu!" pamitnya seraya berlari keluar rumah. "Bu, tolong lihat istri saya sebentar. Istri Saya pendarahan!" teriak mas Siddik terdengar sampai ke telingaku."Iya, ya, Om. Saya

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 47

    "Dek, sini!" Mas Siddik menepuk sofa disebelahnya untuk aku duduki.Aku melangkahkan kaki menuju sofa dimana mas Siddik duduk saat ini. Kulihat suamiku tidak seperti biasanya. Entah apa gerangan yang membuat suamiku bersedih hati."Mas kenapa agak lain hari ini? Mas sedang ada masalah?" tanyaku ragu-ragu. Biasanya kalau pulang dinas mas Siddik selalu tersenyum bahkan sering bercanda. Ada saja bahan yang sehingga membuat aku tertawa. Dia juga suka sekali meledek perutku yang semakin membuncit ini. Katanya kayak badut. "Nampaknya Mas sedang bersedih?" Aku kembali bertanya."Hmmm ... Adek ingat Nasir?" Mas Siddik mengusap sudut matanya. Aku tahu dia hendak menangis tetapi mungkin dia malu jika dihadapanku."Nasir yang mana? Yang membantu Mas keluar dari markas kelompok bersenjata itu, ya?" tanyaku dan mas Siddik mengangguk lemah."Kenapa dengan om Nasir, Mas?" Aku membaca ada sesuatu yang tidak mengenakkan telah terjadi pada pria berdarah Aceh tersebut."Tadi malam dia ditembak oleh ora

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 46

    "Loh siapa ini ndusel-ndusel kayak anak kucing?" kelakarku saat melihat Mayra bangun tidur langsung memeluk tubuh ini. Dia kelihatan sangat manja. Semakin hari tingkah Mayra semakin membingungkan. Tadi malam katanya aku ini bau sehingga membuat dia muntah-muntah. Sekarang malah kayak anak kangguru menempel sama induknya. Tidak bisa dilepas. Entah apa maunya."Mas wangi banget. Adek jadi kepingin ciumin terus!" ujarnya seraya mengendus-endus leher dan ketiakku. Betul-betul membuat aku tidak mengerti tingkah ibu hamil yang satu ini."Wangi dari mana? Mandi aja belum apalagi sikat gigi. Nafas Mas masih bau naga!" ujarku hendak beranjak dari tidur tetapi ditahan oleh Mayra."Jangan pergi. Adek masih kangen, candu mencium aroma tubuh Mas. Peluk!" ujarnya dengan nada manja. Aku yang masih kaget melihatnya terpaksa juga memeluknya."Gak mual dekat-dekat dengan Mas? Katanya Mas bau?" tanyaku keheranan."Gak bau kok. Tadi malam bau banget, sekarang malah wangi!" ujarnya dan Mayra masih ndusel-

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 45

    "Mas Siddik!" Aku berteriak histeris tatkala melihat pria yang selama ini aku nanti-nantikan sudah berada dihadapanku."Mayra, Mas pulang, Sayang!" ujar mas Siddik dengan suara gemetar.Kenapa mataku melihat sosok mas Siddik sedang mendekati diri ini? Apakah itu betukan suamiku atau hanya ilusiku saja?Nampaknya aku sangat merindukan pria itu sehingga bayangan dia terus saja menghantui pikiranku."Mas?"Aku merasa semua ini hanya mimpi atau hanya halusinasiku saja? Tidak mungkin mas Siddik yang telah gugur hidup kembali. Disini saja, kami sedang mengirim doa untuknya, masak tiba-tiba dia hadir diacara tahlilan dia sendiri? Sangat tidak lucu."Hai, aku suami kamu!" Pria itu mengibaskan tangannya didepan kedua mataku."Kamu suamiku? Mas, Adek tidak sedang bermimpi, kan?" Aku mendekatinya. Pria itu memakai baju compang camping bagaikan seorang pengemis."Kamu sedang tidak bermimpi, Sayang! Nih pegang!" Mas Siddik meraih tanganmu untuk menyentuh pipinya. Aku masih ragu juga, bisa jadi ka

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 44

    "Banyak-banyak berdoa, May. Siapa tau mas Siddik masih hidup tapi tidak tau jalan pulang. Bisa jadi dia tersesat dalam hutan, kan?" Jenny berusaha menghiburku selama ini tidak ada satupun di rumah ini ataupun semua pihak yang mengerti isi hatiku kecuali Kak Jeni."Aku juga berpikir begitu kak bisa jadi 'kan, mas Siddik di itu masih hidup dan dia tidak tahu jalan pulang!"Perasaanku sebagai istrinya, mengatakan jika imamku itu masih hidup."Kita berdoa saja May. Nanti malam kita baca Yasin bersama, memohon kepada Allah semoga suami kamu ditemukan dalam keadaan hidup atau mati." Kak Jenny tidak bosan-bosannya memberikan aku semangat. Sehingga dengan kehadirannya sedikit membuatku terhibur. Walau kadang disaat sedang sendirian aku kembali menangis mengingat suamiku yang baru beberapa bulan kami hidup bersama dan sudah direnggut kebahagiaan oleh takdir.***Sementara itu, sersan Siddik dan praka Nasir akhirnya sampai juga di tepi jalan. Mereka mengendap-ngendap karena banyaknya lalu lala

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 43

    Hari ini malam kedua acara kirim doa dirumahku. Para ibu-ibu udah mulai berdatangan untuk membantu memasak segala keperluan nanti malam."Kasian om Siddik ya. Padahal dia prajurit berprestasi. Tidak akan mungkin kalah jika melawan pemberontak." bisik bu Saidi pelan tapi masih bisa aku dengar."Mungkin istri dan anaknya ini bikin hidup dia sial terus ya! Gak bisa dipake!" Anita melirik sinis kearahku. Jika bukan sedang dalam situasi berkabung aku sudah merobek mulutnya hingga hancur lebur. Bila perlu mulut dia kupindahkan sekalian kebawah, disekitar bokong aja. Lebih terhormat anus dibandingkan mulutnya. Wanita berhati iblis memang begitu ya, tidak memiliki hati nurani sedikitpun."Iya. Dia wanita pembawa sial!" ujar bu Saidi seakan mengaskan perkataan adiknya."Hust ... bu Saidi gak boleh ngomong begitu! Mereka sedang dalam keadaan berkabung, jangan ditambah lagi dengan kata-kata yang membuat bu Siddik semakin terpuruk!" tegur bu Danu yang berdiri disebelah bu Saidi. Mereka berdua mem

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 42

    "May, makan dulu. Dari kemarin kamu belum makan, loh!" Ibu menawari makan siang karena sejak kemarin pagi perut ini belum terisi satu sendok pun makanan.Padahal ibu tadi membeli nasi padang kesukaanku tapi diri ini belum berselera untuk menyentuhnya. Saat ini, yang aku inginkan hanyalah kehadiran mas Siddik. Hanya dia yang bisa membuat aku bahagia. Hanya dia yang bisa membuat aku berselera makan."Mayra tunggu mas Siddik pulang aja, Bu!" Aku yakin suamiku akan pulang dalam waktu dekat ini. Aku yakin pria itu tidak akan meninggalkan aku sendiri di dunia ini. Apalagi sebentar lagi akan hadir buah cinta kami berdua meramaikan rumah mungil kami."Gak boleh gitu, May. Kamu harus makan walaupun sedikit. Kasian bayi dalam kandunganmu!" nasehat ibuku. Beliau datang kemari setelah mendapat berita hilangnya mas Siddik dari ibu mertua. Mereka semua begitu percaya jika mas Siddik sudah tidak ada. Tapi aku tidak semudah itu mempercayainya. Sebelum jenazah mas Siddik ditemukan aku tetap mengangg

  • I LOVE YOU, SERSAN SIDDIQ   Bab 41

    Pov authorEmpat hari kemudian situasi keamanan sudah kondusif. Beberapa wilayah sudah tidak masuk dalam status siaga lagi. Atasan mereka memerintahkan untuk mencari keberadaan Siddik.Tim regu yang pernah menjadikan Siddik sebagai komandan regunya menawarkan diri untuk mencari keberadaan pria yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu.Mereka harus tetap waspada karena para musuh tidak akan mundur sebelum diberikan kemerdekaan untuk enuh oleh pemerintah."Aku kok gak yakin sersan Siddik masih ada!" tanya salah satu rekan pada kopda Romi."Kenapa kamu bicara seperti itu? Kita harus optimis!" jawab sersan Ridwan dsn menjatuhkan bobot tubuhnya diatas tanah.Mereka sudah mencari keberadaan sersan Siddik kesana kemati tetapi mereke tidak menemukan juga."Hei, bukankan ini punya Danru?" prada Sucipto mendapatkan kalung milik sersan Siddik tergeletak diatas tanah. Kopral Romi kaget dan langsung menghampiri prada Sucipto yang memegang dogtag atas nama serka Siddik."Iya. Ini punya Danr

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status