Share

DUA

Panggilan telepon berdering kencang berkali-kali, pesan masuk mengingatkan hutang yang sudah lewat jatuh tempo. Wajah Vera ingin menangis tapi hatinya sudah menangis, berusaha fokus ke pekerjaan dan menerapkan Low of Attraction via tok tok supaya bisa menenangkan diri dan fokus membayar hutang, kalau beruntung bisa membayar hutang-hutangnya.

Vera tidak ingin merepotkan orang lain karena sudah terlalu merepotkan ibu dan adiknya, berulang kali Vera menangis dan meminta maaf ke mereka berdua yang hanya dia miliki.

Sang adik marah dan tidak bisa membantu banyak mengenai hutang tapi bersedia mengambil alih masalah sewa rumah dan pendapatan bulan, ibunya juga mau membantu jual makanan. Tinggal Vera yang berusaha menyemangati dirinya sendiri.

"Yuk, bisa yuk." Vera berusaha berpikiran dan bersikap positif.

Dan dalam dua hari ini semangatnya mulai menurun. Mulai dari dimarahi rekan kerja sampai tidak ada yang beli makanan yang dibuat ibunya via aplikasi online. Yah, memang sih dua hari itu Vera baru mendaftar. Tapi tetap sedih juga gak ada yang beli padahal sudah sedia bahan banyak.

Vera menangis. "Usia tiga puluh gini, ada gak ya daddy sugar yang mau?" gumamnya.

"Kamu butuh daddy sugar?"

Vera bangkit dan mengusap air mata. "Ah, pak."

Bryan mengerutkan kening. "Ngapain kamu nangis?"

"Gak papa, hanya ingat hal sedih?"

"Oh, soal keperawa- hmmmp!"

Vera sontak menutup mulut atasannya tanpa berpikir dua kali. "Tolong, lupakan. Maksud saya, itu sudah lama."

Bryan menurunkan tangan Vera. "Kamu hamil?"

"Hah?"

"Kata staff hotel, kamu pergi begitu saja tanpa minum pil kb."

Vera lupa, yang diingat hanya bagaimana caranya kabur dari hotel meski sudah terlambat. Bagaimana kalau dirinya hamil sekarang?

Vera berjalan menjauhi Bryan dengan terburu-buru sambil mengangkat handphonenya yang bergetar. Nanti sepertinya aku harus beli tes kehamilan.

Bryan hanya menatap punggung kecil Vera, tidak berani mengejarnya. Untung saja ruangan Vera kosong sekarang jadi tidak ada yang mengintip perilaku mereka.

------

"Aku itu sayang kamu makanya khawatir, kenapa sih dua hari ini tidak bisa dihubungi? ada masalah di kantor?" tanya Thomas sambil menggenggam erat kedua tangan Vera di atas meja. "Kenapa kamu tidak angkat telepon aku?"

Seandainya saja Vera tidak pernah melihat adegan itu, mungkin sekarang hatinya sudah luluh dengan rasa cemas Thomas.

Vera menarik kedua tangannya. "Aku hanya sedikit capek, bagaimana dengan perjalanan luar negeri kamu?"

"Tidak ada yang spesial," senyum Thomas.

Hati Vera sakit melihat senyum manis itu sudah bukan milik dirinya lagipula pasti Thomas cerita mengenai dirinya ke sang tunangan. "Thomas, aku-"

"Aku dengar kamu ada acara makan-makan di kantor, kapan?"

"Sudah lewat."

Dahi Thomas berkerut. "Oh ya, kok aku tidak tahu? kamu kesana sama siapa?"

"Teman kerja."

"Naik motor?"

"Ya."

Thomas menghela napas panjang. "Lain kali telepon aku. Kalau pas aku tidak bisa, kamu naik taxi, nanti aku ganti uangnya."

Vera terdiam. Bagaimana bisa kamu menjemput aku saat sedang bersama wanita lain?

"Kamu dengar itu, Ver?"

Vera mengangguk pelan.

Thomas yang selesai mengiris steak, mengembalikan piring milik Vera. "Ini, sudah aku potong semua."

Vera menatap potongan rapi karya Thomas lalu teringat dengan ucapan wanita pilihan Thomas.

Seberapa besar cinta aku pada kamu, tidak akan mengubah keputusan kamu jika diberi pilihan mengenai kehidupan. Batin Vera.

Vera mulai bisa menerima keadaan. "Thomas."

"Hm?" gumam Thomas sambil memotong steaknya.

"Ayo kita berpisah."

Tangan Thomas terhenti lalu menatap lurus Vera. "Apa?"

"Sebaiknya kita tidak melanjutkan hubungan ini." Tegas Vera sambil menundukan kepala dan berusaha menyembunyikan kedua tangannya yang gemetar di bawah meja. "Kamu dan aku di dunia yang berbeda, jadi sebaiknya kita tidak meneruskan hubungan i-"

"Tidak bisa."

Vera mendongak dan menatap bingung Thomas.

Thomas menatap tajam Vera. "Kamu pikir gampang mendapatkan kamu? tidak bisa, aku tidak akan melepaskan kamu."

Jika Thomas mengucapkannya dulu, mungkin Vera akan tersipu malu dan merasa tersanjung betapa tinggi nilai dirinya. Tapi sekarang begitu sudah melihat dan mendengar ucapan tunangan Thomas, entah kenapa Vera merasa rendah.

Lebih rendah lagi jika Vera masih mempertahankan hubungan ini.

"Aku sekarang mulai sibuk, jadi kedepannya kita tidak akan bisa bertemu bebas." Vera berusaha mencari alasan.

"Kalau begitu kamu tidak usah kerja saja, biar aku yang mengurus kamu dan keluarga. Aku akan menjadi imam yang kamu inginkan."

Vera tertawa putus asa di dalam hati. Apakah kamu berniat menjadikan aku istri kedua?

"Aku serius." Thomas menatap serius Vera.

"Hubungan kita sudah tidak bisa diselamatkan."

Thomas bangkit dari kursi lalu berjongkok ala pangeran di lantai dengan tangan menggenggam kedua tangan Vera, mengabaikan tatapan kepo orang-orang di sekitar.

"Bagaimana caranya supaya kita bisa mempertahankan hubungan ini?" tanya Thomas.

Vera menjadi malu.

"Aku tidak pernah sekalipun berselingkuh, bahkan selalu mengkhawatirkan kamu. Apakah kamu sudah memiliki pria lain?"

Tatapan para pengunjung terutama wanita yang awalnya kagum, berubah menusuk.

Inilah yang tidak disukai Vera. Thomas adalah pria manipulatif dan pintar bicara, Vera tidak pernah bisa melawan semua ucapan Thomas bahkan cenderung mengaguminya. Saat melihat pertukaran cincin pun, Vera tidak mau mendekat karena paham dengan perilaku Thomas.

Vera menyadarinya saat minum di night club. Menyadari kebodohannya selama ini dan menyadari betapa manipulatifnya Thomas.

"Vera, aku tidak ingin berpisah dengan kamu."

Vera menghela napas panjang dan mengangguk. "Ya, maafkan aku. Tadi hanya bercanda."

Kedua mata Thomas berbinar. "Benarkah?"

Vera mengangguk kecil.

Thomas segera memeluk Vera dan tertawa. "Astaga sayang, aku terlalu menganggap serius candaan kamu. Maaf, tapi jangan ulangi lagi ya."

Vera hanya bisa menggigit bagian dalam bibir bawahnya. "Y- ya."

Thomas mencium kening Vera dengan semangat. "Aku maafkan."

Semua pengunjung kafe bertepuk tangan dengan riuh.

Vera menjadi heran, apakah Thomas tidak takut kalau tunangannya tahu? terang-terangan berkencan di depan umum begini.

Thomas kembali duduk di tempatnya dan suasana kembali tenang. "Bagaimana keadaan mama kamu."

"Seperti biasa."

"Kakinya masih bermasalah lagi ya?"

Vera mengangguk kecil. "Ya, tapi sudah dibawa ke klinik."

"Kata dokter apa?"

"Hanya darah tinggi, jadi harus benar-benar menjaga makanan."

"Lewat asuransi pemerintah?"

"Ya."

Dan begitulah seterusnya, hubungan tanya-jawab. Vera pun tidak terlalu semangat dengan kencan kali ini, nasibnya sial karena mengangkat telepon dari Thomas, alhasil mendapat omelan sekaligus drama.

Vera menghela napas panjang dan memutuskan menghabiskan makanan mahalnya.

"Nanti aku pinjam uang kamu ya, tiga ratus saja. Gajian aku ganti."

Akhirnya sesi tanya jawab berganti.

"Untuk apa?"

"Anak-anak di rumah butuh camilan, aku belum ada gaji."

Selalu saja alasan anjingnya.

"Yang sebelumnya tidak kamu ganti."

Dahi Thomas berkerut. "Meskipun aku pinjam uang, aku selalu bawa kamu jalan-jalan, makan dan beli baju di luar. Aku tidak ada masalah, tapi kenapa setiap aku pinjam uang, kamu mempermasalahkannya. Apakah setiap perempuan memang seperti itu?"

Vera mengangkat salah satu alisnya. "Ini dan itu berbeda."

"Bagian mana yang berbeda? kita sama-sama mengeluarkan uang, apakah kamu tidak ingin berbagi masalah keuangan dan hanya ingin aku saja yang mengeluarkan uang?"

"Tidak, aku-"

"Vera, anggap saja ini latihan saat kita menikah nanti."

Vera menggigit lidahnya supaya tidak memaki pria tampan di hadapannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status