Mag-log inEthan mengangkat dagu Bella, menatap bibir ranum yang sedari tadi menggoda logikanya. "Bella...""Ya, Mas?""Malam ini, jangan pergi. Tetaplah di sini, bersamaku. Bukan sebagai partner kerja, tapi sebagai Violla Isabella yang selalu membuat hatiku menjadi hangat."Tanpa menunggu jawaban, Ethan menunduk dan menyatukan bibir mereka dalam sebuah ciuman yang lembut namun penuh tuntutan. Ciuman itu tidak lagi dingin seperti kontrak kerja mereka; itu adalah ungkapan terima kasih, rasa bersalah, dan benih cinta yang mulai tumbuh di tengah reruntuhan masa lalu yang baru saja mereka lalui bersama.Ciuman yang awalnya terasa seperti ungkapan terima kasih itu dengan cepat berubah menjadi api yang membakar sisa-sisa kontrol diri Ethan. Di bawah temaram lampu Chateau De Valois, setiap sentuhan terasa ribuan kali lebih intens. Bella bisa merasakan detak jantung Ethan yang berdentum keras di dadanya, seirama dengan miliknya sendiri yang kian tak beraturan.Ethan melepaskan tautan bibir mereka s
Ethan menoleh, sedikit terkejut dengan keberanian Bella. Rasa bersalah yang tadi menggerogotinya perlahan berganti dengan sesuatu yang lebih hangat."Makan malam selesai," ujar Ethan tiba-tiba langsung berdiri. Ia menarik kursi Bella. "Mama, terima kasih atas undangannya. Tapi sepertinya aku dan calon istriku harus menghirup udara segar setelah dari sini."Kata 'calon istri' itu menggema di seluruh ruangan, membuat Alexander terdiam dan Zivanna mengangkat alisnya tinggi. Tanpa menunggu balasan, Ethan menarik Bella keluar dari restoran, meninggalkan kemegahan yang terasa mencekik itu.Di bawah rintik hujan yang kian deras di pelataran parkir, Ethan menyandarkan tubuhnya di mobil, menutup matanya rapat-rapat."Damn," gumamnya menyerupai geraman."Mas... Are you okey?" tanya Bella begitu mendekat, gadis itu mencemaskannya.Ethan membuka mata, menatap Bella dengan intensitas yang membuat napas gadis itu tertahan. "Papa meninggal karena ambisiku, Bella. Aku yang bersalah. Aku memang
Udara di dalam kamar seketika terasa menipis. Ethan, yang biasanya selalu memiliki kontrol diri, terpaku di ambang pintu. Pemandangan di depannya—lekuk punggung Bella yang seputih pualam di bawah temaram lampu kamar—meruntuhkan tembok ketenangan yang ia bangun susah payah sejak semalam.Ethan berdeham pelan, mencoba mengusir kekakuan yang menjalar di tenggorokannya. Ia melangkah mendekat, sepatunya meredam suara di atas karpet bulu yang tebal. Setiap langkahnya terasa seperti beban bagi jantung Bella yang kini berpacu tidak keruan.“Aku... aku tidak bermaksud lancang. Pintu tidak dikunci, jadi aku langsung masuk, nggak tau kalau kamu sedang…” gumam Ethan rendah saat ia sudah berdiri tepat di belakang Bella.Jemari Ethan yang dingin menyentuh kulit punggung Bella, mengirimkan sensasi elektrik yang membuat gadis itu sedikit bergidik. Dengan sangat hati-hati, Ethan meraih kepala ritsleting logam di bagian bawah punggung Bella. Ia menariknya ke atas dengan gerakan perlahan, sangat perl
Langkah kaki Ethan terasa berat saat mereka memasuki lobi mansion Dirgantara yang sunyi. Meskipun Bella tadi sempat berakting manja di depan Sovia, suasana hangat itu menguap begitu pintu mobil tertutup. Kini, di bawah lampu kristal yang menggantung megah, ketegangan kembali merayap.Ethan mengantar Bella hingga ke depan pintu kamarnya. Ia tidak langsung pergi, melainkan berdiri mematung di ambang pintu, memastikan Bella benar-benar masuk ke zona aman.“Istirahatlah. Aku akan ada di ruang kerja jika kau butuh sesuatu,” ucap Ethan datar, namun matanya masih menyiratkan kegelisahan yang sama seperti di mobil tadi.Bella memegang gagang pintu, tapi ia urung membukanya. Ia berbalik, menatap Ethan lekat-lekat. “Mas... soal foto gudang terbakar itu. Apakah itu ada hubungannya dengan kematian ayahku?”Pertanyaan itu membuat tubuh Ethan menegang. Ia mengepalkan tangan di samping tubuhnya, menyembunyikan getaran halus di jemarinya. “Jangan mikir kejauhan begitu, Bella. Fokus saja pada makan
Ethan tetap berdiri tegak, rahangnya mengeras. Meskipun tangannya mencengkeram pinggang Bella dengan tekanan yang hampir menyakitkan, suaranya saat berbicara ke mikrofon tetap tenang dan penuh wibawa."Mari kita nikmati sisa malam ini dengan optimisme baru untuk Moonville," tutup Ethan, disambut riuh tepuk tangan.Begitu ia menurunkan mikrofon, Ethan segera menarik Bella turun dari podium. Langkahnya lebar dan terburu-buru, menyeret Bella melewati kerumunan tamu yang mencoba menyapa. “Aku butuh penjelasan,” todong Bella tanpa harus menunggu.“Nanti. Tapi kau pantas mendapatkan yang terbaik,” jawab Ethan dengan suara rendah.“Semua ini sudah keluar dari isi perjanjian kerjasama kita, Ethan.”“Mas—panggil aku dengan sebutan itu, jika di hadapan semua orang.”“W-What the fck? Lepas! Tanganmu menyakitiku..." Bella meringis, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.Ethan tersadar dan melepaskan pegangannya, namun matanya selalu mencuri pandang pada amplop itu. "Sorry…" desis
"Berani juga. Pantas saja Elena meradang di luar sana," Sovia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebatang lipstik. "Dengar, Bella. Butik Butterfly milik keluarga kami yang sekarang aku kelola tidak hanya menjual baju, kami menjual citra. Dan sejauh ini, kau memberikan citra yang menarik bagi Ethan. Tapi ingat satu hal..."Sovia menatap Bella melalui pantulan cermin, sorot matanya berubah serius."Di keluarga Dirgantara, rahasia adalah mata uang. Jika kau punya rahasia yang bisa menjatuhkan Ethan, sebaiknya kau simpan itu rapat-rapat. Karena jika aku bisa melihat kegugupan di balik gaunmu, orang lain juga bisa."Ia kemudian menyodorkan sebuah kartu nama berwarna perak ke arah Bella. "Datanglah ke butikku besok pagi. Gaun yang kau pakai sekarang sudah 'ternoda' karena tatapan kebencian Elena. Kau butuh sesuatu yang baru untuk acara makan malam keluarga besok."Bella menerima kartu itu dengan ragu. "Makan malam keluarga?""Oh, Ethan belum memberitahumu?" Sovia tertawa kecil samb







