MasukMoonville, tiga minggu kemudian. Pagi di Moonville selalu datang dengan lembut. Kabut masih menggantung rendah di atas danau, sementara aroma tanah basah dan embun bercampur jadi satu. Dari bangku kayu di taman kecil rumah sakit, Ares memandangi pemandangan itu sambil memeluk secangkir teh hangat. Wajahnya kini tampak jauh berbeda, lebih sehat, lebih hidup. Luka di tubuhnya perlahan sembuh, begitu pula luka yang lebih dalam—di hati. Aila datang membawa jaket wol, menepuk bahu Ares lembut. “Udara mulai dingin lagi. Kamu duduk di luar dari tadi, Ares?” Ares menoleh, tersenyum. “Nggak apa-apa. Sayang banget kalau pagi ini dilewatkan gitu aja. Nggak tiap hari aku bisa begini, Aila...." Ia menatap langit yang mulai cerah. “Dulu tiap kali lihat langit, aku selalu merasa bersalah. Ada sesuatu yang membuatku semakin terlihat bodoh di mata dunia… karena aku - aku sudah melakukan hal yang seharusnya tidak aku lakukan. Huft....” Ares menghela napas panjang. Aila ikut duduk di sampin
Hujan turun tipis malam itu. Di balik kaca rumah sakit, Ares menatap langit yang temaram, seolah mencari jawaban dari setiap bintik air yang jatuh. Ruangan itu sepi—hanya terdengar dengung pendingin ruangan dan bunyi lembut monitor infus yang menetes teratur. Satu koper kecil tergeletak di sudut ruangan. Jaketnya sudah dilipat rapi di atas kursi, dan di meja, sebuah amplop putih bertuliskan nama: “Untuk Zivanna.” Ares duduk perlahan, memegangi sisi meja. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya, tapi sorot matanya berbeda: tidak lagi ketakutan, tidak lagi kosong. Ada ketenangan yang sulit dijelaskan—seolah ia akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang, lalu menatap surat itu lama. “Kalau nanti kamu baca ini, aku mungkin sudah di perjalanan,” gumamnya lirih, seolah berbicara pada bayangan Zivanna di kepalanya. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia tetap menulis beberapa baris terakhir: Zee, Aku bukan orang yang kuat. Dulu aku pikir dengan pergi aku bis
Ares terdiam. Sejenak, waktu di ruangan itu seperti berhenti. Hanya terdengar detik jam dinding dan desiran halus infus yang menetes perlahan. Zivanna menegakkan tubuhnya dengan susah payah, matanya bergantian memandang dua pria di hadapannya— masa lalunya, dan luka yang belum sempat sembuh. “Kay… tolong tenang dulu,” kata Ares pelan, suaranya nyaris serak. Namun Kayandra tidak bergeming. Langkahnya maju satu, dua langkah, mendekat ke arah tempat tidur Zivanna. Matanya tajam menatap Ares, penuh kebingungan yang bercampur marah, sedih, dan sesuatu yang tak bisa ia sebutkan. “Jadi ini alasan kamu menghilang, Ares?” tanya Kay dengan nada rendah tapi tegas. “Selama ini aku cari kamu ke mana-mana. Semua orang bilang kamu pergi ke luar negeri. Dan sekarang aku temukan kamu di sini— di ruang rawat Zivanna, dalam keadaan seperti ini. Bagaimana bisa, Ares? Apa kamu tidak bisa memberikan penjelasan padaku sedikit saja?” Ares menarik napas dalam, menunduk. Tangannya yang pucat memegangi kur
Kay terdiam. Suara di kafe yang biasanya riuh mendadak terdengar jauh. Denting sendok pada gelas, desis mesin espresso, semua seolah melebur dalam satu frekuensi yang tak sanggup ia tangkap.Tatapan matanya tertuju pada Maureen, tapi pikirannya berkelana entah ke mana. “Apa maksud kamu?” suaranya serak, hampir berbisik.Maureen menegakkan duduknya. “Aku nggak minta kamu percaya begitu aja. Tapi aku yang menemani Zivanna sejak awal. Aku tahu kapan dia mulai sakit, kapan dia mulai panik, dan kapan dia berhenti berharap. Anak itu… yang sekarang ada di dalam kandungannya— bukan anak David. Itu anak kamu, Kay.”Kay memejamkan mata. Napasnya memburu. “Anak aku? Mana mungkin? Tapi dia bilang kalau itu—”“Dia nggak pernah bilang itu anak David,” potong Maureen lembut. “Kamu yang menuduh. Dan dia memilih diam… karena semua rasa sakit yang pernah ia rasakan membuatnya menutup mulut rapat-rapat.”Hening jatuh lagi, kali ini lebih berat.Kay bersandar, kedua tangannya menutupi wajah. Dunia sepert
Malam menurunkan sunyinya begitu dalam, bahkan suara jarum jam di kamar rawat Zivanna terdengar seperti gema yang menembus dinding hati. Di luar jendela, lampu-lampu kota berpendar redup di bawah kabut tipis. Rumah sakit itu begitu tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja kehilangan segalanya.Zivanna duduk bersandar di tepi ranjang. Tangannya masih memegangi perut yang kini terasa hampa. Tatapannya kosong, tapi di dalam dadanya, badai sedang bergemuruh tanpa suara.Maureen tertidur di kursi samping, masih mengenakan jaket tipis yang sama sejak tadi siang. Wajahnya kelelahan, namun ekspresinya tetap menunjukkan kepedulian yang mendalam.Zivanna menoleh sekilas, lalu menatap jendela lagi. “Bukankah aku sudah terbiasa kehilangan?” gumamnya nyaris tanpa suara. “Tapi kenapa rasanya kali ini… berbeda?”Kilasan ingatan menari di benaknya — wajah Kayvandra yang marah, suara David yang memaksa, jeruji besi dingin, dan tatapan dokter sore tadi. Semuanya berbaur, menciptakan kekacau
Malam semakin kelam dirasa. Sunyi membalut jarak yang sebenarnya telah usai, namun takdir tidaklah mudah ditebak. Semakin tinggi keinginan mereka untuk melepaskan, semakin sulit bagi mereka untuk tidak saling bergantung.“Aku hamil, Mas.” Satu kalimat meluncur dengan lugas dari bibir Zivanna.Perempuan itu terlihat rapuh, semua kekuatannya seakan terkikis oleh keadaan yang kejam. Seharusnya Zivanna tidak memberitahu kebenaran ini, tapi rasa putus asanya menuntut untuk membuka tabir di balik kepiluan yang telah dialaminya.“Apa?!” mata Kayvandra reflek membola. Dan satu kata yang tepat untuk menggambarkan situasi mereka saat ini adalah— hancur.“I-Itu… anak David, ‘kan?” "Hah..." Zivanna terbengong, persis seperti kambing ompong yang dicolok hidungnya.Lucu. Zivanna yang semula menggantungkan harapannya setinggi langit, mendadak seperti dihempaskan dengan keras ke dasar bumi. Tidak hanya harapan yang hancur, tapi hati dan juga rasa percayanya.“M-Mas,” ia menunduk lesu bersamaan den







