"Bang Galih, ini aku bungkusin kue buatanku untuk Abang. Kata suamiku rasanya enak sekali jadi Abang juga wajib coba. Aku yakin setelah mencobanya, Abang suka dan ketagihan sama rasanya," ucap Adel, istri dari adik lelaki suamiku sambari menyodorkan sebuah kotak kue dengan senyum manis yang menurutku terlalu berlebihan.
Aku memperhatikan ekspresi wajahnya dengan seksama. Mata Adel berbinar penuh harap seolah menunggu pujian dari suamiku. Ini bukan pertama kalinya dia menunjukkan perhatian yang menurutku kelewat batas. Aku sudah sering melihat caranya bersikap manis di hadapan Bang Galih dan jujur saja aku tidak menyukainya.
Namun seperti biasa aku hanya bisa diam. Aku tak cukup berani untuk menegurnya secara langsung. Aku tahu jika aku berbicara sembarangan dan Adel merasa tersinggung. Bukan tak mungkin aku yang disalahkan. Keluarga suamiku terlalu membelanya. Jika aku memulai keributan aku yang akan dicap sebagai istri cemburuan dan terlalu sensitif.
"Ok, nanti Abang makan setelah sampai di toko. Terimakasih banyak ya, Del!" balas suamiku dengan nada ringan sambil menerima bungkusan kue itu.
Aku mengepalkan jemari di balik punggung. kenapa sih harus diterima? Kenapa Bang Galih tidak sedikit saja menjaga perasaanku? Mungkinkah aku sama sekali tak berharga di matanya sampai tanpa perasaan dia menerimanya tanpa mempertimbangkan perasaanku.
"Sama-sama,Bang. Nanti kalau Abang suka aku bakal buatin tiap hari buat Abang," ujar Adel dengan senyum menggoda. Matanya melirik kearahku seolah ingin melihat reaksiku.
Aku mencoba menahan diri. Menegakan bahu agar tak terlihat lemah. Tetapi cara Adel berbicara dan ekspresi wajahnya benar-benar seperti sedang menantangku.
"Baik banget kamu, Del. Enggak salah kalau adikku cinta banget sama kamu. Bahkan ibuku setiap hari juga memujimu sebagai menantu sempurna. Udah cantik, baik, perhatian lagi sama keluarga suami," puji suamiku.
Kata-kata itu bagaikan belati yang menusuk dadaku.
Aku menatap Bang Galih. Berharap dia sadar betapa kata-katanya telah melukai hatiku. Tapi tidak, dia tampak begitu santai seolah ucapan itu hanyalah basa-basi belaka. Sedangkan Adel? Dia tertawa kecil, suara tawanya terdengar begitu manja dan menjijikan di telingaku.
Tak hanya itu, dengan seenaknya, dia meletakan tangannya di lengan suamiku seperti sengaja mempertegas keberadaannya.
"Ah, Bang Galih bisa aja mujinya. Jujur, aku ngelakuin semua ini karena prihatin sama keadaan Abang. Ada istri pun seperti enggak terurus. Uang nafkah aja dituntut banyak, tapi malas belajar masak!"
Darahku berdesir.
Jantungku berdegup sangat kencang. Amarah mulai menguasai pikiranku. Mataku menatap tajam ke arah Adel, yang masih memasang ekspresi tanpa dosa.
Aku menarik napas dalam.Mencoba mengontrol emosi yang hampir meledak. Tapi kali ini aku tak bisa diam saja.
"Del, dari pada repot-repot terus-terusan mengasihani suamiku, mending kamu urusin dulu rendaman bajumu yang sudah dua hari menuhin kamar mandi. Kudengar tadi pagi Rudi ngomel karena sudah kehabisan baju dan celana bersih. Cuci sekarang sana!"
Adel terdiam seketika. Wajahnya yang semula penuh percaya diri langsung memerah, campuran antara malu dan amarah. Aku bisa melihat bagaimana tatapannya berubah. Tapi aku tidak peduli. Dia yang lebih dulu menyinggungku dan aku sudah lama menahan diri.
Dengan mendengus kesal Adel berkata, "Ya udah, aku pamit nyuci dulu ya, Bang Galih. Jangan lupa dimakan kuenya, biar aku enggak kecewa!"
Suamiku tersenyum kecil. "Iya, tenang aja. Abang pasti makan sampai habis kok!"
Aku memandang suamiku dengan kecewa. Kenapa dia justru memberi Adel ruang untuk terus bersikap seperti ini? Apa dia benar-benar tidak menyadari niat tersembunyi di balik perhatian berlebihan Adel?
Begitu Adel pergi aku segera menghampiri suamiku dan mencoba mengambil kue dari tangannya. "ABang, sini kuenya biar aku buang aja. Aku kesel banget sama Adel yang kelihatan banget haus pujian itu! Bukannya ngurusin suami sendiri malah sibuk ngurusin suami orang!"
Namun, suamiku dengan sigap menepis tanganku. "Gila kamu ya, mau buang-buang makanan! Udah mending ada yang kasih makanan. Bukan terimakasih malah marah. Aneh banget sih jadi orang!" bentaknya dengan nada tajam.
Aku terkejut. Aku tidak menyangka reaksinya akan sekeras itu.
"Bang, kalau Abang suka kue bilang aja sama aku. Biar besok-besok aku buatin. Jangan malah nerima kue dari Adel. Dia itu kayak caper banget sama Abang. Aku enggak suka!"
Aku akhirnya mengungkapkan perasaanku. Berharap suamiku mengerti. Tapi ternyata harapanku sia-sia.
"Wajar kan kalau ada seorang wanita yang baru menikah caper karena ingin disayang keluarga suami? Kamu itu tidak seharusnya membenci dan menuduh Adel yang bukan-bukan. Justru kamu harus banyak belajar dari dia biar ibu lebih bisa nerima kamu sebagai menantu. Paham?" ucap suamiku kemudian mpergi menuju mobilnya.
Aku terdiam.
Aku memandang suamiku dengan pandangan nanar. Mencoba mencerna kata-katanya.
Belajar dari Adel? Biar lebih diterima oleh ibu mertua?
Aku menahan nafas. Menundukkan kepala dan menahan pedih yang terasa menusuk di hati. Bang Galih tidak mengerti atau mungkin tidak peduli.
Aku tidak pernah menolak untuk dekat dengan ibu mertuaku. Aku sudah berusaha berkali-kali tetapi dia sendiri yang menolakku. Baginya memiliki menantu miskin adalah aib.
Lantas, aku harus berbuat apa?
Tepat ketika aku berusaha menguatkan diri. Sebuah suara yang begitu menyebalkan kembali terdengar.
"Mbak, aku denger semua pembicaraanmu dengan Bang Galih. Bisa-bisanya ya kamu ingin buang kue pemberianku! Untung saja Bang Galih enggak mau nurutin permintaan kamu. Jujur, aku puas banget denger jawaban Bang Galih tadi!"
Aku menoleh dan mendapati Adel berdiri tak jauh dariku dengan tatapan penuh kemenangan.
Aku mengepalkan tangan. "Orang haus perhatian kayak kamu enggak heran kalau suka sekali menguping pembicaraan orang!"
Adel terkikik kecil, "Aku enggak nguping, Mbak. Tadi enggak sengaja aja denger," ujarnya dengan tatapan merendahkan. Kemudian dia menatapku tajam dan menambahkan, "Mbak, dari ucapanmu tadi ke Bang Galih, kelihatan banget kalau sebenernya kamu takut Bang Galih berpaling ke aku. Kenapa, Mbak? Mbak sudah ngerasa enggak layak lagi buat Bang Galih yang makin hari makin sukses ya? Bagus lah kalau Mbak sadar diri!"
Aku membelalak.
"Aku sudah lama banget berusaha sabar sama sikap kamu yang kurangajar. Bisa tolong sedikit jaga mulutmu atau tidak?" bentakku hampir saja aku tak bisa menahan diri untuk tidak menampar mulut jahat wanita di depanku.
"Jaga mulutku? Buat apa? Semua orang di rumah ini tahu kamu enggak diinginkan. Kalau aku jadi kamu, aku angkat kaki aja dari pada terus jadi beban!"
Setelah puas menghinaku Adel berbalik pergi sebelum aku sempat membalas.
Aku berdiri di tempat.
Hatiku terasa sesak
Ya Tuhan, dengan cara apa aku harus melawan kejahatannya sedangkan suamiku dan kedua orangtuanya ada di pihak wanita jahat itu?
Mobil melaju perlahan menyusuri kota yang di padati oleh kendaraan. Di dalam mobil tersebut, Nara duduk kaku di kursi penumpang. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Hening menyelimuti keduanya, hanya sesekali terdengar suara mesin dan klakson dari luar.Erryl sempat beberapa kali melirik gelisah ke arah wanita di sampingnya, tapi wanita itu sama sekali tak menggubris, tetap membisu seperti patung.Dan akhirnya Erryl memberanikan diri memulai percakapan, meski dia tahu resiko tindakan nekadnya akan membuat Nara marah."Nar, aku ingin jujur. Sebenarnya selama ini kamu sudah di bohongi oleh Lusi. Aku sama sekali tidak--""Pak, bukankah Anda sudah berjanji tidak akan membahas hal di luar pekerjaan?" Potong Nara cepat. Suaranya datar namun penuh penekanan."Sampai kapan kamu akan seperti ini, Nar? Kalau kita terus menghindar, kamu akan terus salah paham padaku. Dan saat itu terjadi, orang yang paling diuntungkan adalah Lusi.""Salah paham?"Nara mendengus kecil."Jelas-jelas Anda dan L
"Hey, kalian udah dengar belum. Katanya Pak Justin di jodohkan sama anak pemilik salah satu perusahaan besar di kota ini. Dan kabarnya mereka akan segera bertunangan!" ujar Dara memecah suasana pagi di kantor dengan suara nyaring yang sengaja di buat agar semua mendengar, terutama Nara.Nara ingin berpura-pura tak mendengar tapi jarak meja yang berdekatan membuat ucapan itu terasa menamparnya secara langsung."Ya, aku juga denger kok. Waduh, siap-siap ada yang patah hati nih!" timpal Lani sambil melirik ke arah Nara.Nara tetap diam. Tak ada senyum, tak ada bantahan. Hanya nafasnya yang mendadak berat."Rasain! Salah sendiri ngarep sama atasan. Dia pikir siapa dia? Pak Justin itu enggak akan mungkin jatuh cinta sama cewek kelas bawah. Ngaca makanya!" Lusi ikut membuka suara. Suaranya penuh racun. Kalimatnya sengaja di tembakan ke arah Nara seperti anak panah beracun yang siap menghancurkan sisa ketenangannya.Pandangan Nara langsung menusuk Lusi. Ia kenal baik wajah itu. Wajah seorang
Tok...tok...!Sebuah ketukan terdengar jelas di pintu rumah Nara. Nara yang hampir terlelap sontak terbangun dengan dahi berkerut. Ia yakin, pintu gerbang sudah dikunci rapat. Lalu, bagaimana mungkin ada orang yang bisa sampai ke pintu rumah?Dengan langkah hati-hati dan nafas sedikit memburu Nara menggenggam sebilah pisau kecil untuk berjaga-jaga. Dalam hati ia mengumpat pelan siapa yang berani datang bertamu di jam selarut ini."Nara, buka pintunya cepat!"Suara berat dan terburu-buru terdengar dari balik pintu. Nara mengenal suara itu yakni suara Justin, atasannya."Nara tolong Nara, cepat buka pintunya!" seru Justin lagi sambil terus mengetuk pintu. Tanpa pikir panjang, Nara buru-buru membuka pintu.Begitu pintu terbuka Justin terbelalak. Matanya langsung tertuju pada benda tajam yang tergenggam di tangan Nara."Nara, ngapain kamu bawa pisau segala?" tanyanya kaget dan nyaris mundur selangkah."Aku kira yang ngetuk tadi orang jahat, Pak. Tengah malam begini ada yang mengetuk pintu
"Ayah, aku enggak mau di jodohin. Aku udah punya seseorang yang aku sukai!" tegas Justin menatap ayahnya tanpa ragu.Ali menghela nafas panjang. Sorot matanya melirik tak nyaman ke arah Andika dan Zaskia. Meski ia tahu sejak awal bahwa Justin tidak pernah menyukai Zaskia tapi tetap saja ia merasa canggung karena anaknya terlalu berterus terang di depan keluarga calon besan."Pak Andika, mohon maaf. Bolehkah saya bicara secara pribadi dengan anak saya?" ucap Ali dengan nada sopan"Tentu saja kau harus bicara dengannya Pak Ali!" jawab Andika dengan nada dingin."Dan jangan lupa, ingatkan anakmu agar tidak berlaku tak sopan seperti tadi pada anakku. Kalau tidak, kau akan kehilangan kesempatan emas untuk mendapatkan investasi dariku. Kau paham maksudku, kan? Investasi ini bukan angka kecil. Perjodohan ini akan memguntungkan kedua pihak!"Ali menelan ludah, lalu mengangguk. "Baik, Pak Andika."Ia pun segera menarik lengan Justin lalu membawanya ke ruang keluarga agar bisa berbicara lebih l
Hampir satu jam berlalu. Nara masih setia berdiri di depan restoran yang ia pilih untuk mentraktir Justin. Namun sayangnya Justin tak kunjung datang. Hatinya mulai di liputi rasa kesal. Ia pun segera mencoba menghubungi Justin. Namun sayangnya tidak satupun panggilannya di jawab oleh Justin."Tadi siang ngencem enggak boleh sampai enggak jadi. Tapi dia sendiri malah yang ngilang enggak jelas gini!" gumam Nara. Kesabarannya akhirnya runtuh. Ia merasa seperti orang bodoh yang sedang di permainkan. Dengan nafas berat dan hati kecewa ia memutuskan untuk pulang.Namun, saat melihat jam di ponselnya yang baru menunjukan pukul 19.30 malam, Nara mengurungkan niatnya untuk langsung kembali ke rumah. Ia tidak ingin kepergiannya malam ini menjadi sia-sia. Sebuah ide tiba-tiba terlintas. Ia ingin menemui Sofia untuk menanyakan sesuatu. Ada rasa penasaran yang sejak siang tadi mengusik pikirannya. Itu tentang Surti, mantan ibu mertuanya yang tiba-tiba muncul dan membuatnya terlambat menemui klien
"Sekarang kamu kembali ke ruang kerjamu. Ingat, masalah tadi jangan kamu pusingkan lagi. Aku akan lapor ke Abang sepupuku dan bertanggungjawab penuh!" ucap Justin begitu mereka kembali ke kantor. Nara menunduk merasa bersalah. "Tapi saya rasa saya juga harus menghadap ke Pak Erryl untuk ikut bertanggungjawab, Pak. Biar bagaimanapun, semua salah saya. Kalau bukan karena mantan ibu mertua saya mengacau, ini tidak akan terjadi!" ucap Nara. "Kamu enggak boleh bilang apa-apa, Nara! Jika sampai abang sepupuku tahu soal tadi, dia akan mencari orang-orang yang tadi mengganggumu dan menghajarnya tanpa ampun. Kamu mau keadaannya makin rumit jika itu terjadi?" "Tapi, pak--" "Percaya padaku, Nara. Dia bisa berbuat lebih gila dariku jika sudah merasa orang yang ingin dia lindungi di ganggu. Ini demi kebaikan semua pihak." ucap Justin penuh kekhawatiran. Nara menghela nafas dalam. Wajahnya terlihat lelah dan penuh tekanan. Ia tahu ucapan Justin ada benarnya juga, namun membiarkan seseorang