"Mbak Nara, Mbak habis nangis? Kok matanya sembab begitu?" tanya Sofia, adik perempuan suamiku yang baru beberapa hari lalu lulus SMA. Dalam rumah ini hanya dia yang memperlakukanku dengan baik. Mungkin karena alasan itulah aku cukup dekat dengannya.
"Aku cuma lagi kangen sama Almarhum Ibu dan Ayah," jawabku berbohong. Namun sesuai dugaanku Sofia tak langsung mempercayai jawabanku.
"Mbak, kalau ada masalah lebih baik cerita saja ke aku. Siapa tahu bisa sedikit mengurangi beban Mbak Nara. Aku tahu Mbak menderita tinggal di rumah ini. Maaf ya Mbak kalau keluargaku selalu memperlakukan Mbak dengan tidak baik." Sofia menggenggam tanganku seolah menyalurkan kekuatan untukku yang tengah terluka. Aku selalu terharu dengan kebaikan wanita itu padaku.
"Kamu enggak perlu minta maaf Sofia. Ini bukan salahmu ataupun keluargamu. Menantu miskin sepertiku memang tidak ada gunanya. Aku paham kenapa mereka tidak mau menerimaku," air mataku mengalir semakin deras. Sungguh aku menangis bukan karena ingin ingin di kasihani Sofia. Aku juga berusaha menghentikannya agar Sofia tak perlu melihatnya. Namun tetap tidak bisa.
"Mbak Nara jangan bilang begitu. Enggak baik. Menurutku Mbak itu kakak ipar paling baik yang pernah ada. Mbak tulus mengabdi di rumah ini. Cuma orang-orang disini saja yang enggak sadar atau pura-pura buta!"
Mendengar ucapan Sofia rasanya aku mendapat sedikit kekuatan. Aku mulai berpikir untuk menceritakan masalahku kepadanya. Aku ingin meminta solusi pada Sofia bagaimana caranya menghadapi wanita jahat seperti Adel. Namun sebelum sempat melakukannya tiba-tiba ibu mertuaku muncul dengan wajah sangarnya.
"Kamu kok mau-maunya dengerin curhatan perempuan cengeng ini Sofia? Dia itu selain bisa nangis dan mengeluh bisa apa lagi?" suara ibu mertuaku terdengar dingin tanpa perasaan. Hatiku yang tadi sedikit membaik tiba-tiba kembali remuk. Airmataku pun semakin deras mengalir membuat ibu mertuaku semakin muak.
"Bisa berhenti nangis enggak kamu? Tiap hari kerjaannya cuma nangis! Enggak capek apa?" bentaknya, membuatku semakin ketakutan.
"Bu, bisa enggak jangan kasar-kasar sama Mbak Nara? Salah apa dia sebenernya sama Ibu sampai Ibu begitu membencinya?" Sofia langsung berdiri di depanku seperti biasa menjadi pelindungku. Bagiku dia jauh lebih membelaku dibanding suamiku sendiri.
"Kamu masih tanya kesalahan Nara apa, Sofia? Kamu sendiri tahu Ibu dan Ayah paling benci sama orang miskin! Coba saja Nara selevel dengan keluarga Adel, Ibu pasti enggak akan pernah membencinya!"
Meski ucapan itu bukan pertama kalinya keluar dari mulut mertuaku tetap saja terasa menampar telingaku. Aku terlahir di keluarga miskin juga bukan kemauanku. Namun meski begitu aku tak pernah malu dan menyesal karena meski kedua orang tuaku miskin, tapi mereka begitu bekerja keras membesarkan ku hingga aku bisa lulus kuliah dan bekerja di perusahaan ternama sebelum menikah dengan Bang Galih. Sayang sekali baru sebentar bekerja, orangtuaku meninggal karena sebuah kecelakaan. Dan saat aku terpukul dengan kepergian orangtuaku, aku dikenalkan dengan Bang Galih oleh keluarga pamanku. Bang Galih yang nampak baik dan begitu perhatian denganku membuatku luluh dan setuju untuk menikah dengannya. Dan beberapa bulan setelah pernikahan kami, Bang Galih membujukku untuk berhenti bekerja. Bodohnya, aku setuju saja dengan permintaannya.
Seandainya saat awal menikah aku tidak berhenti bekerja, aku yakin aku bisa mengumpulkan banyak uang dan membuat bangga keluarga suami. Sayang sekali penyesalanku tidak berarti lagi. Sekarang aku cuma menjadi seorang istri yang hanya bisa mengandalkan uang suami untuk bertahanhidup.
"Bu, kok tega sih selalu ngomong kayak gitu? Bukannya sebelum Ayah sukses dengan toko bangunannya, kita juga pernah hidup serba kekurangan? Ibu lupa atau pura-pura lupa masalalu kita?" Sofia membalas dengan nada tinggi, tak habis pikir dengan pemikiran ibunya.
"Justru karena Ibu pernah merasakan susahnya hidup miskin, Ibu enggak mau lagi hidup dalam kesusahan! Kalau saja dulu Galih mau menerima perjodohan dengan anak teman ibu yang punya toko emas, hidup kita pasti lebih terjamin!"
Sofia menggelengkan kepalanya. Tampak kecewa dengan ibunya sendiri.
"Mbak, kita ke kamar aja yuk. Kalau di sini terus, bisa ketularan gila kita nanti!" ajaknya setengah berbisik.
"Dasar anak kurangajar! Sudah dicuci kamu sama si miskin ini sampai-sampai berani bicara begitu sama Ibu!" teriak ibu mertuaku. Dia baru saja ingin berdiri dari sofa ketika Adel datang memperburuk suasana.
"Ya ampun, Bu. Ibu kan punya darah tinggi jadi jangan marah-marah begini. Nanti darah tinggi Ibu kumat loh!" ujar Adel kemudian menoleh ke arahku dan Sofia.
Lalu dengan wajah menyebalkan dia berkata, "Kalian ini enggak bisa ya bicara lebih lembut sama Ibu? Kalau darah tinggi ibu kumat siapa yang mau tanggungjawab?"
Setelah puas mencibir, Adel mulai merayu ibu mertuaku agar menjauh dari kami.
"Udah, kita kekamar aja ya, Mbak. Enggak usah dengerin orang-orang zalim itu," Sofia menarik tanganku dan aku menurut. Kami pun masuk ke kamar, dimana Sofia terus menghiburku hingga jam menunjukan pukul satu siang.
Tiba-tiba suara ibu mertuaku terdengar lantang mengagetkan kami.
"Sofia, makan!"
Sofia pun mengajakku ke meja makan. Aku ingin menolak dan memilih makan sendiri setelah semuanya selesai tapi Sofia terus memaksa.Akhirnya aku berani mengikuti langkahnya.
Saat sampai di meja makan aku melihat hanya ada Ibu dan Ayah mertuaku saja.
"Loh, kok cuma ada Ibu dan Ayah? Mbak Adel mana? Kok enggak ikut makan?" tanya Sofia sambil mencentong nasi.
"Ibu menyuruhnya mengantar nasi ke toko buat Galih. Kasihan punya istri tapi kayak enggak punya istri. Semua serba sendiri!"
Aku tersentak. Seketika dadaku terasa sesak.
"Bu, kenapa enggak nyuruh aku saja? Mas Galih itu suamiku, bukan suami Adel," ucapku. Untuk pertama kalinya berani protes.
Ibu mertuaku melirikku dengan tatapan merendahkan.
"Lah, kerjaan kamu cuma ngurung diri di kamar. Enggak ada inisiatif sedikit pun buat ngurus suami. Lihat tuh Adel, meski lebih muda dari kamu dia lebih bisa merawat suami dibanding kamu!"
Ucapannya membungkamku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Sofia yang geram akhirnya ikut bicara. "Bu, Ibu nyuruh Mbak Adel nganter makanan ke Bang Galih apa enggak takut Bang Rudy salah paham? Kalau Ibu nggak mau jaga perasaan Mbak Nara setidaknya jagalah perasaan Bang Rudy. Kalau dia cemburu dan salah paham gimana coba?"
Ibu mertuaku terkekeh kecil. "Rudy itu orang terpelajar enggak mungkin berpikiran picik kaya Nara. Rudy pasti paham Adel baik sama Abangnya karena kita ini keluarga."
Aku mengepalkan tangan di bawah meja berusaha menahan gejolak amarah yang mendidih di dadaku. Picik? Aku yang picik? Bagaimana bisa dia mengatakan itu padaku sementara jelas-jelas dia yang membiarkan Adel berlaku kelewat batas pada suamiku. Dadaku terasa sesak oleh kemarahan yang tertahan. Aku ingin membalas ucapannya, ingin meneriakan segala ketidakadilan yang selama ini kutelan bulat-bulat. Tapi apa gunanya? Aku tahu tak peduli sekeras apa pun aku mencoba membela diri, di matanya aku tetaplah perempuan rendahan yang tak punya hak untuk berbicara.
Mobil melaju perlahan menyusuri kota yang di padati oleh kendaraan. Di dalam mobil tersebut, Nara duduk kaku di kursi penumpang. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Hening menyelimuti keduanya, hanya sesekali terdengar suara mesin dan klakson dari luar.Erryl sempat beberapa kali melirik gelisah ke arah wanita di sampingnya, tapi wanita itu sama sekali tak menggubris, tetap membisu seperti patung.Dan akhirnya Erryl memberanikan diri memulai percakapan, meski dia tahu resiko tindakan nekadnya akan membuat Nara marah."Nar, aku ingin jujur. Sebenarnya selama ini kamu sudah di bohongi oleh Lusi. Aku sama sekali tidak--""Pak, bukankah Anda sudah berjanji tidak akan membahas hal di luar pekerjaan?" Potong Nara cepat. Suaranya datar namun penuh penekanan."Sampai kapan kamu akan seperti ini, Nar? Kalau kita terus menghindar, kamu akan terus salah paham padaku. Dan saat itu terjadi, orang yang paling diuntungkan adalah Lusi.""Salah paham?"Nara mendengus kecil."Jelas-jelas Anda dan L
"Hey, kalian udah dengar belum. Katanya Pak Justin di jodohkan sama anak pemilik salah satu perusahaan besar di kota ini. Dan kabarnya mereka akan segera bertunangan!" ujar Dara memecah suasana pagi di kantor dengan suara nyaring yang sengaja di buat agar semua mendengar, terutama Nara.Nara ingin berpura-pura tak mendengar tapi jarak meja yang berdekatan membuat ucapan itu terasa menamparnya secara langsung."Ya, aku juga denger kok. Waduh, siap-siap ada yang patah hati nih!" timpal Lani sambil melirik ke arah Nara.Nara tetap diam. Tak ada senyum, tak ada bantahan. Hanya nafasnya yang mendadak berat."Rasain! Salah sendiri ngarep sama atasan. Dia pikir siapa dia? Pak Justin itu enggak akan mungkin jatuh cinta sama cewek kelas bawah. Ngaca makanya!" Lusi ikut membuka suara. Suaranya penuh racun. Kalimatnya sengaja di tembakan ke arah Nara seperti anak panah beracun yang siap menghancurkan sisa ketenangannya.Pandangan Nara langsung menusuk Lusi. Ia kenal baik wajah itu. Wajah seorang
Tok...tok...!Sebuah ketukan terdengar jelas di pintu rumah Nara. Nara yang hampir terlelap sontak terbangun dengan dahi berkerut. Ia yakin, pintu gerbang sudah dikunci rapat. Lalu, bagaimana mungkin ada orang yang bisa sampai ke pintu rumah?Dengan langkah hati-hati dan nafas sedikit memburu Nara menggenggam sebilah pisau kecil untuk berjaga-jaga. Dalam hati ia mengumpat pelan siapa yang berani datang bertamu di jam selarut ini."Nara, buka pintunya cepat!"Suara berat dan terburu-buru terdengar dari balik pintu. Nara mengenal suara itu yakni suara Justin, atasannya."Nara tolong Nara, cepat buka pintunya!" seru Justin lagi sambil terus mengetuk pintu. Tanpa pikir panjang, Nara buru-buru membuka pintu.Begitu pintu terbuka Justin terbelalak. Matanya langsung tertuju pada benda tajam yang tergenggam di tangan Nara."Nara, ngapain kamu bawa pisau segala?" tanyanya kaget dan nyaris mundur selangkah."Aku kira yang ngetuk tadi orang jahat, Pak. Tengah malam begini ada yang mengetuk pintu
"Ayah, aku enggak mau di jodohin. Aku udah punya seseorang yang aku sukai!" tegas Justin menatap ayahnya tanpa ragu.Ali menghela nafas panjang. Sorot matanya melirik tak nyaman ke arah Andika dan Zaskia. Meski ia tahu sejak awal bahwa Justin tidak pernah menyukai Zaskia tapi tetap saja ia merasa canggung karena anaknya terlalu berterus terang di depan keluarga calon besan."Pak Andika, mohon maaf. Bolehkah saya bicara secara pribadi dengan anak saya?" ucap Ali dengan nada sopan"Tentu saja kau harus bicara dengannya Pak Ali!" jawab Andika dengan nada dingin."Dan jangan lupa, ingatkan anakmu agar tidak berlaku tak sopan seperti tadi pada anakku. Kalau tidak, kau akan kehilangan kesempatan emas untuk mendapatkan investasi dariku. Kau paham maksudku, kan? Investasi ini bukan angka kecil. Perjodohan ini akan memguntungkan kedua pihak!"Ali menelan ludah, lalu mengangguk. "Baik, Pak Andika."Ia pun segera menarik lengan Justin lalu membawanya ke ruang keluarga agar bisa berbicara lebih l
Hampir satu jam berlalu. Nara masih setia berdiri di depan restoran yang ia pilih untuk mentraktir Justin. Namun sayangnya Justin tak kunjung datang. Hatinya mulai di liputi rasa kesal. Ia pun segera mencoba menghubungi Justin. Namun sayangnya tidak satupun panggilannya di jawab oleh Justin."Tadi siang ngencem enggak boleh sampai enggak jadi. Tapi dia sendiri malah yang ngilang enggak jelas gini!" gumam Nara. Kesabarannya akhirnya runtuh. Ia merasa seperti orang bodoh yang sedang di permainkan. Dengan nafas berat dan hati kecewa ia memutuskan untuk pulang.Namun, saat melihat jam di ponselnya yang baru menunjukan pukul 19.30 malam, Nara mengurungkan niatnya untuk langsung kembali ke rumah. Ia tidak ingin kepergiannya malam ini menjadi sia-sia. Sebuah ide tiba-tiba terlintas. Ia ingin menemui Sofia untuk menanyakan sesuatu. Ada rasa penasaran yang sejak siang tadi mengusik pikirannya. Itu tentang Surti, mantan ibu mertuanya yang tiba-tiba muncul dan membuatnya terlambat menemui klien
"Sekarang kamu kembali ke ruang kerjamu. Ingat, masalah tadi jangan kamu pusingkan lagi. Aku akan lapor ke Abang sepupuku dan bertanggungjawab penuh!" ucap Justin begitu mereka kembali ke kantor. Nara menunduk merasa bersalah. "Tapi saya rasa saya juga harus menghadap ke Pak Erryl untuk ikut bertanggungjawab, Pak. Biar bagaimanapun, semua salah saya. Kalau bukan karena mantan ibu mertua saya mengacau, ini tidak akan terjadi!" ucap Nara. "Kamu enggak boleh bilang apa-apa, Nara! Jika sampai abang sepupuku tahu soal tadi, dia akan mencari orang-orang yang tadi mengganggumu dan menghajarnya tanpa ampun. Kamu mau keadaannya makin rumit jika itu terjadi?" "Tapi, pak--" "Percaya padaku, Nara. Dia bisa berbuat lebih gila dariku jika sudah merasa orang yang ingin dia lindungi di ganggu. Ini demi kebaikan semua pihak." ucap Justin penuh kekhawatiran. Nara menghela nafas dalam. Wajahnya terlihat lelah dan penuh tekanan. Ia tahu ucapan Justin ada benarnya juga, namun membiarkan seseorang