Lea, seorang wanita tunanetra, memutuskan mengakhiri pernikahannya yang tak bahagia dengan Rian, lelaki yang tak pernah mencintainya. Dia berharap menemukan kedamaian dengan menikahi Zio, tapi justru terjebak dalam pernikahan penuh kebencian, fitnah, dan konflik, diperburuk oleh keinginan Rian untuk kembali padanya. Saat Lea mendapatkan kembali penglihatannya berkat bantuan misterius, dia sadar ada harga yang harus dibayar. Kehidupannya jadi lebih rumit ketika Zio mulai menyesali perlakuannya, dan Rian terus mengejarnya. Kini, Lea harus memilih, memberi Zio kesempatan untuk menebus kesalahannya atau memutuskan hidup sendiri, tanpa satu pria pun di sisinya. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitiku lagi."
View MoreSuara langkah kaki mendekat, membuat semua orang berhenti bicara.
"Oh, maaf jika saya mengganggu acara kalian." Suara itu terdengar lembut tapi tegas. Setelahnya perempuan tersebut menjauh dari ruangan tadi. Tahu kalau kehadirannya sama sekali tidak diharapkan. Di belakangnya derap langkah lain mengikuti. "Kamu tahu kan acara hari ini apa? Kamu sengaja ingin mengacaukannya?" Lea, nama perempuan tadi berbalik arah saat tangannya di cekal. Dia tampak memandang pria yang berdiri di depannya, padahal sejatinya dia tidak bisa melihat. "Aku pulang apa itu salah, Mas Rian?" "Sudah bilang kalau aku akan menikah dengan Vika." "Kalau begitu ceraikan aku, Mas! Agar aku bisa pergi dari sini!" "Aku akan melakukannya jika ayah mengizinkannya!" "Sayang, kamu ngapain?" Suara lain terdengar. Lea dengan segera menepis cekalan tangan suaminya. Perempuan itu menjauh pergi, langkahnya tenang meski dia tidak bisa melihat. Wanita barusan, Lea membencinya. Dia musuh dalam selimut yang baru dia sadari belakangan ini. "Kamu tahu tidak, kalau tadi aku dapat diskon waktu beli bunga mawar di tempatnya Lea," kata Vika manis. Namun hal itu justru membuat Rian meradang. Rian mengejar Lea yang sudah masuk ke kamar. Dua tahun tinggal di rumah ini membuat Lea hafal seluk beluk rumah tersebut meski tidak pernah melihat rupa kediaman sang suami. "Apa yang kau lakukan? Kau sengaja membuat alergi Vika kumat?" "Aku tidak melakukannya, Mas. Dia minta dibuatkan buket mawar ya aku buatkan. Dia bilang mau dikasih ke kamu." Harusnya Lea diam saja, sebab dia tahu kalau penjelasannya tidak akan pernah didengar. "Kau bohong! Kau ingin dia sakit lalu pertunangan kami batal? Begitu?" Helaan napas terdengar dari arah Lea. Ingin membela diri? Lelaki berjuluk suami di depannya tidak akan pernah percaya. Pria yang statusnya masih suami Lea tapi hari ini dengan gamblang mengadakan pertunangan. "Terserah Mas mau bilang apa. Mau aku jelaskan pun tidak ada gunanya." Lea berbalik ingin masuk ke kamar mandi. Tapi Rian kembali menahannya. "Kau sekarang berani melawan ya?" Vika melenggang pergi menjauhi kamar Rian setelah mendengar barang dibanting, sudut bibirnya melengkung naik. "Rian ke mana?" tanya ibu Rian pada Vika saat wanita itu terlihat berjalan dari arah kamar Rian. "Tadi bicara dengan Lea. Ah itu dia." Vika sumringah menyambut Rian. Tukar cincin akan segera di adakan. Sementara di kamar, ada Lea yang hanya diam di sudut ruangan. Tak berapa lama seorang perempuan datang. "Ibu, tidak apa-apa? Lea menggeleng, wanita itu bergeming. Tidak menangis setelah Rian memaki dirinya habis-habisan. Hatinya sudah mati seiring banyaknya hinaan dan gunjingan dia dengar tiap hari. "Ibu kenapa tidak cerai saja. Pak Rian cuma nyiksa hati Ibuk." Si ART terus bicara sembari membersihkan pecahan vas yang dibanting Rian. Lea bungkam, tapi ingatannya berputar ke siang tadi. Di mana seseorang menawarkan kebebasan dari pernikahan macam neraka yang tengah dia jalani. "Aku sedang mencari jalan, Mbak." Tanpa keduanya tahu Vika mendengar pembicaraan Lea dan ART-nya. Perempuan itu kembali ke kamar Lea untuk menguping. Senyum tipis penuh kemenangan terukir di bibir Vika. Pagi datang dengan Lea sudah tampak segar setelah mandi. Perempuan itu meraih tongkat penyelidik yang dia letakkan di dekat ranjang. Dua tahun menyandang kebutaan membuat Lea mulai berdamai dengan keadaan. Sampai sebuah harapan datang padanya baru-baru ini. Suasana di meja makan mulai ramai. Anggota keluarga lain sudah berkumpul rupanya. Kedatangan Lea tak membuat orang menaruh atensi padanya. Mereka semua acuh, tak terkecuali Rian yang semalam tidak kembali ke kamar. Namun Lea tak peduli. Toh mereka memang jarang tidur sekamar. "Lea bisa bapak bicara?" Lea mengangguk lantas mengikuti langkah sang mertua yang membimbingnya ke ruang kerja. "Bapak minta maaf." Mertua Lea mulai bicara. "Bukan salah Bapak," sahut Lea datar. Tidak ada ekspresi apapun di wajah polos istri Rian. Entah wanita itu marah atau sedih, sang mertua tidak tahu. "Bapak pikir kamu bisa hidup lebih baik setelah Rian menikahimu tapi nyatanya dia cuma melukaimu." Nada kecewa tersirat dalam kalimat ayah Rian. "Karenanya izinkan saya pergi." Satu-satunya yang membuat Lea bertahan di rumah ini adalah bapak mertuanya. "Toko itu akan jadi milikmu. Ayah hadiahkan padamu sebagai tanda permohonan maaf juga tanda terima kasih." "Mana bisa begitu! Toko bunga akan diurus oleh Rina. Dia juga bisa mengurus toko bunga," potong ibu mertua Lea yang tiba-tiba muncul. Lea menghela napas. Dia punya janji pagi ini. Maka dari itu dia abaikan ibu mertua yang juga selalu membulinya. "Lihat, dia tidak punya sopan santun pada orang tua," cibir mama Rian. "Yang dilakukannya sudah benar, buat apa dia menghormati orang yang tidak bisa menghargainya," cetus papa Rian. "Bapak kok malah bela dia!" Lea pergi dengan tongkat penyelidik memandu langkahnya. Memilih tidak ikut campur urusan sang mertua. Lea sengaja menghindari meja makan. Tidak ingin bertemu anggota keluarga lain. Lea tahu banyak orang berbisik-bisik di belakangnya, tapi dia abai. Hingga di sinilah dia berada. Toko bunga yang berada di depan rumah Rian. Bapak mertuanya berbaik hati membangun sebuah toko yang kini dikelola oleh Lea dan dua orang asisten yang siap membantunya. Dua asisten menyapa Lea yang seketika tersenyum. Senyum yang terlihat manis terukir di paras yang sebenarnya cantik. Lengkung bibir yang membuat seseorang di dalam sebuah mobil sejenak terpana. Lea segera duduk di kursi yang selalu dia pakai untuk merangkai bunga. Tugasnya hanya itu. Tak berapa lama lonceng di pintu toko bergerincing disusul sapaan selamat datang oleh dua asisten Lea. Lea pikir itu pelanggannya, seorang wanita bernama Annika. Perempuan yang kerap membeli rangkaian bunganya. "Ada yang bisa saya bantu?" Sosok di depannya terkejut, Lea bisa tahu dia ada didepannya. "Berikan saya sebuket mawar merah." "Anda ingin dirangkai seperti apa?" Lea agak kaget, sebab dia salah mengenali orang. Ah, dia lupa kalau aroma pria tadi tersamarkan oleh wangi bunga yang mengelilingi Lea. Istri Rian lantas menunjukkan contoh beberapa jenis rangkaian bunga yang berada di sebuah buku di atas meja. Sampai sang klien memberi jawaban, "Hand bouquet saja." Lea mengangguk paham. Tangannya dengan lincah bergerak, mempersiapkan pesanan si pelanggan yang tak bisa memungkiri kalau dia terpesona pada si gadis buta. Tak berapa lama, pria itu sudah masuk ke dalam mobil yang parkir di depan toko bunga Lea. "Bagaimana? Kamu menyukainya?" Seorang perempuan dengan wajah pucat menerima buket bunga mawar yang baru dibuat oleh Lea. "Yang benar saja, Nika. Kamu ingin aku menikahinya? Apa sebabnya?" "Kamu akan tahu kenapa aku ingin dia yang jadi penggantiku.""Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch." Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya. Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun. Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu. "Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?" "Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini." Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing. Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments