Share

Bab 3. Hamili aku Mas!

ISTRI PERTAMA SUAMIKU 3

Aku berguling ke samping dengan gelisah. Bidang kosong di sisi kasur sebelah kanan yang seharusnya ditempati Mas Dany membuatku kesal membayangkan suamiku mungkin kini tengah lelap dalam pelukan Mbak Laras. Mungkin saja mereka habis bercinta. Mas Dany, di usianya yang ke empat puluh lima, justru semakin matang dan perkasa. Perutku mulas membayangkan mereka berdua berpelukan tanpa busana.

Aargghh!

Aku menutup wajah dengan selimut. Dari kejauhan terdengar tiang listrik dipukul satu kali. Sudah jam satu malam. Kuraih ponsel, mencoba menghubungi Mas Dany. Aku mengabaikan pesannya agar tak menelepon saat dia di rumah Mbak Laras. Aku benar-benar butuh mendengar suaranya saat ini.

"Halo?" Ujarku saat teleponku tersambung. Aku duduk dengan hati senang. Mungkinkah Mas Dany juga merindukanku sehingga dia mengangkat teleponku selarut ini?

Sepi. Tak ada sahutan. Lalu sayup sayup aku mendengar suara khas Mas Dany. Mendesah dan melenguh, lalu jerit tertahan ketika dia tiba di puncak kenikmat*n terdengar. Suara yang sangat kuhafal. Aku tersentak, melempar ponsel ke sisi lain kasur dan menutupnya dengan bantal. Hatiku panas luar biasa. Jadi, dia tak cukup puas telah melakukannya denganku tadi sore? Kurang apa aku sehingga dia masih juga bercin-ta dengan perempuan tua itu? Setelah agak lama, aku meraih kembali ponsel. Sambungan telepon telah terputus. Lalu ada pesan masuk.

(Malam ini jatahku Livia. Sebagaimana aku tak pernah mengganggu Mas Dany saat bersamamu, kuharap kau juga tak menggangguku.)

Aku tertegun menatap pesan itu. Jelas itu Mbak Laras yang menulisnya. Padahal Mas Dany selalu melarangku memegang ponselnya, kenapa Mbak Laras leluasa sekali menggunakan barang pribadi milik suamiku itu?

(Tolong suruh Mas Dany pulang ke rumahku besok Mbak. Aku sakit.) Tulisku beralasan.

(Tidak bisa Livia. Jatahku adalah empat hari. Kau bisa pergi sendiri ke dokter. Bukankah suamiku sudah mengisi penuh ATM dan juga bensin mobilmu?)

Empat hari. Itu juga yang kerap membuatku meradang. Jatah Mbak Laras adalah empat hari, semetara aku dua hari. Begitu terus bergantian. Mas Dany beralasan karena mereka sudah punya anak dan kedua anaknya yang mulai remaja itu menuntut banyak perhatian, maka jatah Mbak Laras lebih banyak. Kurasa itu hanya akal akalan Mbak Laras supaya bisa menguasai suamiku.

Aku menelan ludah yang terasa pahit. Saat ini aku masih harus mengalah. Usia pernikahanku yang masih lima bulan dan belum menghasilkan seorang anak membuatku kalah telak. Aku mendesah. Mempunyai seorang anak tak ada dalam rencanaku. Anak hanya akan membuatku repot dan tak leluasa bergerak. Selain tentu saja, akan merubah bentuk tubuhku yang indah ini.

(Baiklah. Maafkan aku.)

Tak ada lagi balasan. Aku meletakkan ponsel di atas nakas, menarik selimut hingga ke atas kepala. Tunggu saja tanggal mainnya Mbak. Suatu saat kau akan berlutut mengemis padaku, meminta agar Mas Dany mau kembali padamu. Dan kupastikan, saat itu semua sudah terlambat.

***

Siska, sahabat dari kampung yang dulu mengajakku kerja di kota, tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku di restoran semalam. Dia bahkan nyaris tersedak. Buru buru kusodorkan gelas berisi jeruk dingin padanya.

"Makanya kalau teman lagi susah itu jangan diketawain." Ujarku sambil mendelik.

"Sorry Liv. Habisnya kamu lucu banget. Caviar itu telur ikan, jelas aneh rasanya karena belum biasa."

"Iya deh yang jadi simpanan bule. Makanannya aneh aneh." Sindirku.

"Hus, jangan bilang simpanan. Richard memang tak mau menikah. Dia hanya menjalin hubungan selagi sama sama menguntungkan. Dan prinsipku juga sama. Untuk apa menikah, jadi istri yang menunggu suami pulang kerja kalau pada akhirnya kita gak bisa bebas? Lagipula, si bule itu malah suka makanan Indonesia loh."

Aku melengos, meneguk jus-ku banyak banyak. Mbak Inah yang baru saja selesai memasak, datang dan meletakkan sepiring bakwan jagung di atas meja. Dia tersenyum sambil mengangguk dan mengundurkan diri lagi ke dapur. Tadi pagi dia terpaksa belanja di tukang sayur yang lewat, lengkap dengan gunjingan tetangga yang tak sengaja kudengar dari teras.

"Nah ini lebih enak Liv." Ujar Siska sambil mencomot sepotong bakwan.

Aku mengiyakan dalam hati. Aku dan Siska pada akhirnya memilih jalan yang berbeda. Kami sama sama berhenti jadi SPG. Jika aku memilih menjadi istri kedua, dia lebih suka menjalin hubungan tanpa status dengan bule asal Australia yang ditemuinya di tempat wisata.

"Apa anak Pak Dany masih suka mengganggumu Liv?" Tanya Siska setelah menghabiskan bakwan yang kedua.

Aku mengangguk, membayangkan wajah Cintya dengan geram.

"Kau tahu tidak? Apa yang harus kau lakukan supaya Pak Dany terikat denganmu?"

"Apa?"

"Anak. Kau harus segera punya anak." Ujar Siska sambil menyulut sebatang rokok.

Aku menggeleng.

"Aku tak mau punya anak. Anak kecil itu lengket, kotor, berisik, menjijikkan."

Siska tertawa lagi.

"Astaga otakmu Liv. Kau tinggal bayar baby sitter untuk mengurusnya. Yang penting ada sesuatu yang membuat Pak Dany terikat."

Ah, benar juga. Siska tersenyum melihat perubahan raut wajahku.

"Usahakan agar kau segera hamil tahun ini, lalu segera singkirkan madumu."

***

"Mas, bisa mampir sebentar ke rumah nanti sore?" Ujarku di telepon. Siang hari begini Mas Dany ada di kantor sehingga aku bisa meneleponnya.

"Maaf sayang. Cintya dan Denish minta ditemani belajar. Cintya sebentar lagi mau ujian akhir dan Denish akan naik kelas."

"Astaga Mas. Anak-anakmu benar-benar manja!" Seruku kesal.

"Mereka anak-anakmu juga Liv. Lagipula hari ini masih jatah Laras."

Anak anakku. Yang benar saja.

"Mas! Aku ke kantor sekarang!"

"Jangan Livia. Cukup keluargaku saja yang tahu. Aku tak mau orang sekantor tahu aku punya dua istri. Apalagi kau mantan karyawan di sini."

"Kalau begitu mampir pulangnya!"

"Livia…"

"Janji untuk mampir atau aku ke kantor sekarang!"

"Oke oke… aku akan mampir sebentar." Ujar Mas Dany mengalah.

Aku tersenyum, menatap layar ponsel.

"Aku menunggumu Mas. Jangan kecewakan aku."

Mas Dany mendesah di ujung telepon. Setelah berjanji akan datang, aku memutuskan sambungan telepon, merancang apa yang harus kulakukan sore nanti. Kupandangi lingerie hitam yang tampak seksi itu. Aku tersenyum.

Hamili aku Mas.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status