"Sialaaannn!” pekik Arlan. Dia membanting gawainya ke lantai sehingga tutup belakangnya sampai terlepas. Keadaan yang serba sulit dan mendesak membuatnya tak bisa berpikir jernih lagi sekarang. Arlan bergegas mengambil kunci mobil dan segera meninggalkan rumah itu. Dia tak lagi peduli pada gawainya yang berserak. Dia pun tak menghiraukan panggilan Retno yang berusaha menahannya. Arlan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan maksimal, semua kekalutan yang menggelayuti pikirannya bercampur baur menjadi satu. Lusi, Aniska dan surat panggilan ke bagian HRD itu membuat semua ketakutannya semakin mejadi. Terlebih dirinya memang memiliki rasa bersalah pada Ines di masa lalu. Kecepatan berkendara yang tinggi tanpa dibarengi dengan konsentrasi yang mumpuni akhirnya mobil melaju dengan ugal-ugalan. Arlan kehilangan kendali hingga akhirnya hampir saja dia menabrak seorang penyebrang jalan, tetapi kewarasannya masih berpihak. Arlan membanting stir ke arah kanan, tetapi naasnya dia harus menabrak
Arlan masih tak sadarkan diri. Benturan di kepalanya cukup parah karena membuat gumpalan darah yang menyumbat. Begitu pun kaki dan tangannya mengalami patah tulang dan harus segera dilakukan operasi. Narendra yang tadi baru saja mau istirahat, bergegas membasuh wajah. Bagaimanapun Arlan adalah salah satu karyawan perusahaannya. Dia segera menghubungi Fika bagian HRD&GA untuk memintanya menghubungi keluarga Arlan. Selama ini, tak banyak nomor yang disimpan pada gawainya. Dering gawai diangkatnya, terdengar suara seorang perempuan di seberang sana. “Hallo Bu Fika! Ini Rendra.” “Malam Pak Rendra. A—ada apa, ya? Tumben telepon sudah larut?”Terdengar suara sapaan Fika dengan nada gugup. Bagaimanapun bagi Fika yang merupakan seorang Assisten manager HRD&GA baru dengan status masih lajang, hal langka ditelepon malam-malam oleh tangan kanan pemilik perusahaan.Terlebih dia pun masih dalam masa training untuk menggantikan Manager lama yang sudah akan memasuki usia pensiun. Narendra adalah
Ines menatap pada Airlangga, sepagi ini dia tampak sudah berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Ines masih mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil dan duduk di sofa yang ada di sana. Meskipun di kamar hotel tersebut disediakan hair dryer, akan tetapi dia tak terlalu suka menggunakan alat tersebut karena biasanya membuat rambut kering. “Kak kok sudah sibuk sih sepagi ini?” Ines menatapnya yang baru saja meletakkan gawai di atas tempat tidur. Airlangga menoleh pada istrinya yang tampak cantik dengan wajah yang terlihat segar.“Rendra melaporkan kondisi Arlan, tadi malam Arlan kecelakaan, Dik.” “Apa?! Kecelakaan, Kak?” Airlangga menatap Ines dengan pandangan yang menghujam membuat sang istri menjadi salah tingkah dan menundukkan pandangan. “Kamu kok cemas banget, sih, Dik?” Airlangga menelisik wajah Ines yang terlihat kaget mendengar kabar dari dirinya itu. Ines mengangkat wajah dan tersenyum. Dia mendekat lalu sedikit berjinjit dan menghadiahi ciuman s
“Ok, ya sudah kalau gitu. Nama Mbaknya Azizah, ya? Kenalkan nama saya, Fika. Eh, Mbak ini seperti yang kemarin nemenin ibunya Bu Ines di pelaminan itu bukan, sih?” tukasnya seraya mengulurkan tangan dan mengulas senyuman. Namun kedua alisnya lantas mengernyit ketika dia menyadari sesuatu. “Iya, Mbak. Saya Azizah. Oh kemarin datang juga di nikahan Pak Langga sama Mbak Ines, ya? Maaf saya gak perasan. Banyak banget orang soalnya!” tukas Azizah tersenyum. Dia menerima uluran tangan Fika. Fika menelisik sosok yang ada di depannya. Dia tahu jika kode malam itu menunjukkan jika Narendra menempatkan perempuan yang ada di depannya itu dalam kategori yang istimewa. Baru malam tadi dia melihat Narendra membawa perempuan ke depan umum. Bahkan dia yang sering sekali stalking sosial media Narendra pun tak menemukan sepenggal wajah perempuan di dalamnya. Umur Azizah sebetulnya jauh lebih muda kurang lebih sepuluh tahun darinya, tetapi gurat wajah yang keibuan membuatnya tampak jauh lebih dewasa
Fika memohon izin untuk duduk pada kursi kosong yang ada di depan Narendra. Meskipun mendapati sikap yang datar seperti biasa. Namun bagi Fika tak apa, berada dalam satu ruangan bersama dengan lelaki itu sudah membuatnya bahgaia. Namun karena dirinya pun memang harus bersikap professional. Fika menjelaskan terkait punishment untuk Erda dan Gugun yang sudah dia sampaikan. Dikarenakan Airlangga tak masuk, maka semua urusan yang harusnya dilaporkan pada Airlangga akan disampaikan pada Narendra. “Ok makasih, Bu Fika!” “Sama-sama, Pak Rendra.” Sesingkat itulah kalimat yang mengakhiri perbincangan mereka terkait kasus Arlan yang melibatkan dua kakak iparnya. Fika tersenyum lalu berjalan meninggalkan ruangan. Dia kembali ke mejanya dan mempelajari hal-hal lainnya yang nantinya akan menjadi tanggung jawabnya secara penuh. Di lain tempat, Aniska tengah terisak di kamarnya. Dia tak henti meratapi nasib suaminya yang dia dengar dari dokter tentang kemungkinan kondisi terburuknya, juga tenta
Erna dan Erda sudah berada di depan kediaman megah milik Airlangga. Meskipun ada rasa was-was di hatinya. Dia pun sadar seburuk apa perlakuannya pada Ines di masa lampau. Namun dorongan kuat yang muncul itu akhirnya membuat keduanya bertekad untuk meminta maaf. Harus menunggu sekitar satu jam, karena tuan rumah sedang keluar. Erda dan Erna duduk di teras sambil duduk di sofa minimalis yang ada di sana. Mobil mewah milik Airlangga memasuki gerbang, pada saat itulah Erda dan Erna bisa tersenyum. Dia menatap Ines yang tampil anggung dengan gamis dan kerudung menjuntai lebar. Airlangga turun dan menenteng plastic berisi belanjaan.“Selamat siang, Pak Langga!” Erda menganggukkan kepala. “Siang! Ada apa ya cari saya?” Airlangga menatap Erda heran. “Masuk dulu, yuk! Gak baik ngobrol di luar!” Ines membuka anak kunci dan mendorong daun pintu. Ketiga orang itu mengikuti ajakan Ines dan tak banyak berbasa-basi lagi. Ines mempersilakan tamunya duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Sementa
“Saya adalah orang yang tak mudah jatuh cinta. Bukan pemilih, sih. Hanya saja memang belum menemukan yang tepat selama perjalanan hidup saya. Namun melihat kecerdasan dan kepribadian Bapak, hati saya yakin jika Bapak adalah sosok yang selama ini hati saya cari. Saya yakin bisa menjadi imam untuk saya dan karena saya tahu jika Bapak pun belum memiliki pendamping, pada kesempatan ini, jika kiranya kesempatan itu terbuka untuk saya. Saya akan mencoba menjadi yang terbaik untuk Bapak.” Akhirnya kalimat yang sudah dia rangkai sejak kemarin dan dibaca berulang-ulang itu tersampaikan. Ada perasaan lega pada hati Fika. Dia menatap Narendra yang tampak cukup terkejut mendengar penuturannya. “Maaf kalau saya lancang, Pak Rendra!” Fika mengangguk sopan dan mengulas senyum. Meskipun degub jantung berpacu dan wajahnya sudah berubah menjadi merah merona. Namun dia tetap bisa menguasai diri. “Ahm, sorry-sorry kalau saya buat Bu Fika gak nyaman.” Narendra tersenyum untuk mengurai suasana yang ter
Di tengah keraguan hatinya. Narendra melajukan mobilnya bukan menuju ke arah rumah, melainkan menuju ke kediaman Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Dia hendak bertanya beberapa hal terkait Azizah. Bagaimanapun dia telah memintanya langsung pada kedua orang tuanya. Apa jadinya jika tiba-tiba dia memilih FIka tanpa mengetahui seperti apa kondisi sebenarnya perempuan yang awalnya diharap bisa menjadi istrinya itu.Mobil yang dikendarai Narendra akhirnya tiba di kediaman Umi dan Abi. Dirinya disambut baik dan dipersilakan seperti biasa. Tak banyak basa-basi yang terjadi. Narendra mengungkapkan pertanyaan seputar penolakan Azizah padanya.“Apakah dia sudah memiliki calon lain yang u sesuai keinginannya, Umi, Abi?” tanya Narendra.“Setahu Umi sih belum, Pak Rendra. Dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan trauma. Namun Iza tak mau terikat dengan siapapun saat ini dan entah sampai kapanpun dia tak memberikan kepastian pada Umi,” tukasnya. “Apakah saya boleh tahu seperti apa kriteria calon suami