Tatapannya kembali kosong, seperti sedang menerawang sangat jauh.
"Semuanya? Jadi semua orang suka pukulin kamu?" Aku memastikan lagi.Lusi kembali menatapku, ia lalu mengangguk, air matanya kemudian jatuh mengaliri pipinya yang dekil.Aku paham bagaimana perasaanya jika memang benar semua orang melakukan kekerasan sama Lusi aku bersumpah akan membuat mereka semua bersujud di kaki Lusi.Tak kecuali ibu, entah kenapa ibuku sekejam itu pada Lusi? Apa karena Lusi bukanlah anak orang kaya seperti yang beliau harapkan begitu?Lusi menangis lagi kali ini semakin kencang, jujur saja semua itu membuatku semakin kesulitan saat aku mengintrogasinya.Tapi aku tak menyerah, kebenaran harus kuketahui dengan jelas. "Lusi Lusi tenanglah, sekarang katakan sama Abang, kenapa kamu dipukul?" Aku kembali mengguncang kedua bahunya.Untuk sesaat ia kembali diam dan kembali berpikir."Gak mau mandi," jawabnya seraya kembali menangis dan sibuk menyeka air matanya.Aku menyipitkan mata. "Gak mau mandi saja sampai dipukul?""Mandi jauh, sungai, sungai, Bang," katanya lagi, Lusi lalu memegangi kepalanya seperti sangat kesakitan."Yassir ... Yassir ...." Lusi makin histeris dan terus berteriak memanggil nama anakku."Lus, Lus, kamu tenang dulu, tenang dulu. Ada Abang di sini." Aku memeluknya erat, walau bau apek dari rambutnya menyengat ke hidungku.Tetapi Lusi lalu ambruk ke sisi ranjang."Lusi gak gila, Bang, Lusi gak gila, Lusi gak mau mandi Bang, gak mau mandi Bang, Lusi takut," ucapnya lagi dengan tatapan kosong.Ya Tuhan, sakit sekali rasanya hatiku, kenapa istriku sekarang begini? Ia pasti benar-benar terpukul dengan kepergian anak semata wayang kami.Aku lalu duduk di lantai bersamanya."Lusi, Abang tahu kamu sangat terpukul, kepergian Yassir pasti sangat mendadak dan membuat kamu merasa sangat bersalah, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin ini memang udah takdirnya, jangan terlalu disesali Lus, nanti kamu malah tambah parah, terus kalau kamu sakit Abang sama siapa?" ujarku panjang lebar. Tak terasa air mata juga lolos di pipiku.Aku lalu ambruk di pangkuan Lusi."Kenapa kamu begini Lus? Abang sedih, Abang pulang dari Taiwan jauh-jauh cuma mau melanjutkan hidup sama kamu, tapi kamu nya malah sakit Lus."Lusi tak bicara tetapi air matanya terus saja jatuh ke rambutku dan perlahan kurasakan tangannya mulai membelai rambutku."Abang, Lusi enggak gila, Yassir enggak tenggelam, Bang," katanya pelan.Aku pun bangkit dan kembali duduk di sampingnya."Gak tenggelam? Gimana maksudnya?" tanyaku serius, tapi lagi-lagi Lusi malah menangis.Kutarik napas dalam-dalam, aku memang harus sabar dan pelan-pelan, aku tidak boleh gegabah meski aku sangat penasaran dengan apa yang diucapkannya soal kematian anakku, tapi kalau aku terburu-buru Lusi pasti malah tambah akan merasa takut dan sedih.Kutengok nampan berisi makanan dan air yang kutaruh di atas nakas, sampai lupa tadi aku akan memberinya makan dan minum dulu. Mungkin nanti saat perutnya sudah terisi Lusi juga akan merasa lebih tenang."Ya udah sekarang makan dulu ya." Kuambil sepiring nasi lengkap dengan lauknya itu."Lusi aja, Bang," katanya kemudian seraya mengambil piring dan sendok yang tengah kupegang dengan cepat.Aku sampai terkejut, tapi kubiarkan saja, mungkin Lusi memang ingin makan sendiri tak mau disuapi.Dengan cepat ia lalu memasukan nasi serta lauk pauknya itu ke dalam mulut seperti orang yang sangat kelaparan."Astagfirullah Lus, jangan cepet-cepet begini, nanti gusimu bisa luka," ucapku sambil berusaha mengambil kembali piring berisi nasi itu dari tangannya, tapi dengan cepat Lusi menariknya lagi."Laper Bang, laper," katanya seraya terus memasukan sendok demi sendok yang penuh ke dalam mulut.Ya Tuhan hatiku kembali sakit rasanya, istriku benar-benar kelaparan atau memang dia biasa bertingkah begini?"Minum Bang, minum."Aku segera mengambil segelas air dingin yang tadi kubawa. Dan cepat direguknya hingga tandas tak tersisa."Kamu haus banget apa Lus?"Dia hanya mengangguk sambil terus sibuk melahap makanannya."Pelan-pelan aja Lus, masih banyak di dapur kalau kamu mau."Lusi tak mengindahkan, setelah nasi sepiring itu habis, ia lalu mengambil susu dan buah-buahan yang kubawa juga.Hap hap hap. Dalam waktu 5 menit saja semua makanan itu sudah ludes tak tersisa.Aku melongo, setengah tak percaya, nasi sepiring penuh, pisang satu serip, anggur kira-kira setengah kilo dan susu UHT 1 liter habis dalam waktu sesingkat itu?"Kamu laper banget Lus? Apa emang ibu gak pernah kasih kamu makanan enak kayak gini?"Lusi menggeleng. "Gak boleh makan enak, makan garem aja," jawabnya dengan tatapan yang kembali kosong.Ia bersender di sisi ranjang.Aku kembali terhenyak, walau emosinya tak stabil bahkan mereka bilang istriku gila, tapi entah kenapa aku sangat percaya dengan semua yang diucapkannya.Lebih-lebih saat tadi kudengar sendiri bagaimana ibu dan kak Tuti itu bicara di dapur."Jadi selama ini kamu cuma dikasih makan sama garem gitu maksudnya?" tanyaku memastikan.Lusi mengangguk, kemudian kembali menangis.Ya Allah kenapa keluargaku sangat keterlaluan? Sebetulnya ada masalah apa mereka sama istriku?"Lusi, Abang kirim uang buat kamu tiap bulan, kamu ambil tidak?" Aku kembali bertanya walau Lusi sedang menangis.Ia lalu menggelengkan kepalanya lagi, dipeluknya kedua lutut itu dengan tangannya."Jadi selama 5 tahun Abang kirim uang kamu gak pernah dikasih? Tapi kamu bilang ditelep--." Hampir saja aku ikut terbawa emosi andai aku tidak cepat melihat istriku yang semakin ketakutan di tempatnya."Eh enggak maaf maksud Abang, Abang bukan mau sentak Lusi, Abang cuma--kesel sama keluarga Abang."Keterlaluan! Bener-bener keterlaluan! Jadi bener selama ini aku kirim uang dan Lusi gak pernah dikasih, pantas saja jika sekarang istriku stres bisa jadi penyebabnya karena dari sana juga.Lusi kemudian mengangkat wajah dan menatapku pilu. "Lusi gak gila Bang, Lusi gak gila," katanya dengan suara serak dan pelan, digeleng-gelengkan kepalanya itu seperti sedang menolak sesuatu dengan cepat.Aku berusaha menenangkannya, kupeluk ia, kuciumi keningnya juga."Iya iya Abang percaya kok Lusi gak gila, L
Tanpa bantahan ia mengangguk. Kami pun kembali berjalan pulang meninggalkan rumah terakhir Yassir.Di tengah jalan langkah Lusi terhenti tatkala kami melewati sebuah warung bakso."Bang itu." Ia menunjuk ke arah bakso yang dijejerkan dalam gerobak."Bakso? Lusi mau bakso?" Lusi mengangguk. Kasihan, padahal tadi dia baru makan banyak tapi mungkin masih belum kenyang juga.Akhirnya kubawa ia masuk ke dalam kios bakso itu, kupesan dua mangkok bakso urat seperti kesukaannya."Nah makanlah," titahku ketika dua mangkok bakso ada di hadapannya.Dan hap hap hap. Tak ada sisa, semangkok bakso yang kuahnya masih panas itu berhasil ia habiskan dengan cepat, aku sampai harus meminjam satu mangkok kosong untuk memisahkan air dengan baksonya karena takut melukai mulut Lusi."Pelan aja Lus, masih banyak, nanti Abang beliin lagi.""Enak Bang, Lusi suka bakso."Hatiku kembali nyeri, jauh-jauh aku kerja ke luar negeri semua itu hanya untuk membuatnya bahagia dan mencukupi semua kebutuhannya agar ia ti
"Bisa gak pelan-pelan aja ngomongnya? Tadi mereka lagi keluar, gak tahu mereka ada di kamar atau enggak sekarang.""Kamu gak kabari Kakak si Sandi udah balik." "Salah siapa teleponnya gak aktif terus."Setelah itu mereka terdengar pergi dari ruangan depan.Setelah rumah kembali sepi karena mungkin mereka sedang mengobrol di belakang atau di kamar ibu, aku kembali menatap istriku yang tengah terlelap.Kasihan dia, tubuhnya kurus kering, mata hitam dan kulitnya kusam.Jika memang Lusi mulai mengalami gangguan jiwa sejak anakku meninggal tapi kenapa tubuhnya sampai terlihat mengenaskan begini? Makam Yassir bahkan masih terlihat baru itu artinya harusnya Lusi belum separah ini juga.Sungguh tak masuk di akal.Atau jangan-jangan sebetulnya Lusi gila itu bukan karena anakku meninggal tapi karena selama ini mereka memperlakukannya seperti binatang.Diberi nasi sisa, disuruh kerja terus menerus, dan--mungkin masih banyak hal lainnya yang belum kuketahui. Ya benar, karena itu aku harus mencari
Aku menyipitkan mata."Kenapa harus kakak saya yang bawa?Emang gak ada Pak RT atau siapa gitu, Bu?"Bu Lastri diam sebentar."Enggak tahu juga kenapa harus si Tuti yang bawa, padahal para tetangga laki-laki juga ada kok pada menawarkan diri tapi keluargamu malah menolak."Aku berpikir sebentar, aneh juga, kenapa keluargaku maksa membawa jenazah Yassir sendiri? Maksudnya kalau ada laki-laki kan lebih baik dibawa sama laki-laki saja."Kamu jadi kurus banget Lus, baru aja ditinggal seminggu lebih sama Yassir," ucap Bu Lastri lagi seraya duduk di dekat Lusi."Tapi istrimu ini kok jarang kelihatannya udah lama ya San?" imbuh beliau terheran-heran.Tepat dugaanku, Bu Lastri bilang beliau juga tak melihat Lusi sudah sejak lama, jelasnya dari sebelum Yassir meninggal itu artinya Lusi sudah dipasung sejak lama oleh keluargaku.Tapi kenapa ibuku bilang Lusi gila saat Yassir udah meninggal? Berarti mereka bohong dan aku yakin mereka sedang menutupi sesuatu."Ya udah Bu, kami pamit ya, mau sarapa
"Ambil aja istri gila mu itu bawa dia pergi dari rumah ini, itu akan jauh lebih baik," ucap Kak Tuti sama tegasnya denganku.Wanita yang usianya tak jauh beda dari aku dan Lusi itu lalu pergi dari hadapan kami."Kamu lihat 'kan Sandi? Karena ulahmu sodaramu itu jadi marah." Ibu menyahut lagi seraya meluruskan jari telunjuknya."Dasar anak gak tahu diuntung," dengus beliau kemudian seraya berpaling muka dariku.Tapi tak kupedulikan, kubiarkan saja walau ibu marah bahkan tak lagi menganggapku anak, aku sudah tak peduli."Hari ini Sandi dan Lusi mau pindah ke rumah sodara Bu Lastri, kami mau ngontrak di sana sampai kami punya rumah baru." Aku memecah hening yang menjeda beberapa detik.Ibu kembali menoleh dengan mulut menganga. "Kok kamu jadi seenaknya gini Sandi? Mau pindah rumah gak bilang-bilang dulu, terus nanti Ibu sama siapa?""Di sini kan ada Kak Tuti dan Kak Yogi, Lula juga udah dewasa, mereka bisa kok jagain Ibu," jawabku tanpa ragu.Ibu terkatup-katup sementara Kak Noni sama ke
"Di luar di mana?" Aku bangkit dan menengok kaca jendela, tak ada siapa-siapa kecuali kak Yogi yang sejak tadi memang sedang duduk di teras."Ya udah ya udah kita pindah sekarang ya Lus, kita bawa baju kita keluar."Lusi mengangguk lalu menempel di punggungku. Segera kubawa dia keluar.Bruk. Kakinya menabrak ujung kursi hingga Lusi jatuh di dekat kaki Kak Yogi."Awas hati-hati." Kak Yogi hendak meraih istriku tapi cepat ditepisnya oleh Lusi."Pergi! Pergi kamu!" Lusi berteriak sambil melotot ke arah Kak Yogi.Cepat kutenangkan dia. "Lusi Lusi tenang, tenang dulu."Lusi malah semakin ketakutan hingga keluar keringat dingin, napasnya juga mendadak tersengal-sengal sepeti habis lari maraton."Lusi kenapa? Dia Kak Yogi suaminya Kak Tuti," ucapku panik.Tetapi Lusi malah membuka pagar rumah dan berlari menjauhi kami. "Lusi mau kemana?" Aku setengah berteriak dari teras."Kenapa istrimu itu San?"Aku menggeleng kepala, tanpa sempat menjawab ucapan Kak Yogi aku segera mengejar Lusi."Lusi
"Memangnya kenapa, Pak?""Lula belum membayar SPP selama 6 bulan, Mas."Aku terperangah. "Enam bulan?""Iya, Mas."Kurang ajar, selama ini ibu dan Kak Tuti rutin meminta uang padaku katanya untuk bayaran sekolah Lula, mana jumlahnya pun tak sedikit tapi sekarang apa? Lula belum bayaran sekolah selama 6 bulan?"Berapa biaya perbulannya, Pak?" Aku bertanya lagi."350 ribu hanya SPP, Pak."Aku kembali diam.Selama ini ibu bilang uang SPP Lula 500 ribu per bulan, belum lagi uang buat beli buku paket dan lain-lain makanya setiap bulan kukirim mereka uang 4 juta rupiah, kuniatkan untuk biaya sekolah Lula dan untuk makan anak istri serta ibuku.Tapi kenapa ibu gak bayar SPP Lula selama 6 bulan? Lalu mereka kemanakan uangnya? Apakah cuma habis dimakan begitu saja? Gak beres, mereka semua emang gak beres."Ya sudah saya nanti biar saya bicarakan dulu sama keluarga yang lain ya, Pak.""Baik Mas, oh ya dan untuk Dara semua laporannya bagus hanya dia sekarang lebih sering izin tidak masuk," tutur
Blak. Kak Noni menginjak kaki Dara hingga sontak mulut anak itu tertutup rapat. Dari sanalah baru kusadari mungkin Dara sudah keceplosan omongan."Apa tadi katamu? Ayo ulangi lagi," tanyaku kemudian.Dara dan Kak Noni pias di tempatnya. Sementara ibu cepat mengalihkan isu."Udah jangan bertengkar terus kasihan Lusi."Aku melirik sebentar ke arah beliau. Wah hebat sekali, ibuku ini memang sangat hebat bersandiwara pantas saja anak-anaknya gak bener semua."Biarin Bu, si Sandi ini emang udah tergila-gila sama perempuan gila ini, jadi wajar kalau sekarang dia buta!" sembur Kak Noni kemudian.Aku menyeringai, "istriku gak gila, apa kalian denger? Istriku enggak gila! Perlu kutegaskan berapa kali lagi hah?""Dan kalian," lanjutku dengan tatapan tajam pada Dara."Siapapun kalian yang sudah menyiksa Lusi hingga begini, pasti akan kuseret kalian ke penjara!" tegasku.Wajah ibu dan Kak Noni kembali pias. Aku segera melangkah membawa Lusi pergi tapi suara ibu kembali menghentikanku."Sandi."Ak