Pov Lusi"Lus bisa tolong bikinin kopi?" tanya Kak Yogi-suaminya Kak Tuti dari sofa depan.Aku yang tengah menyapu di pekarangan rumah akhirnya terpaksa ke dapur sebentar untuk melakukan perintahnya.Bukan karena aku terlalu baik atau patuh pada kakak iparku melainkan karena aku merasa risih setiap kali Kak Yogi mendekat atau bicara padaku, pasalnya dia selalu menatapku dengan tatapan aneh dan sulit kuartikan."Kak Tuti kemana sih? Pergi pagi-pagi begini, suaminya jadi minta kopi sama aku, males banget." Aku menggerutu di depan meja kompor sambil memanaskan air dalam panci kecil.Selesai kopi itu kubuat, aku bergegas akan membawanya ke depan, namun aku sangat terkejut tatkala kudapati Kak Yogi sudah berdiri di belakangku."Kak Yogi." Aku tergugu."Udah jadi kopinya Lus?" tanyanya seraya mendekat dengan tatapan yang semakin aneh dan menakutkan.Aku mundur pelan, cangkir kopi yang tengah kupegang dalam tatakannya sampai bergetar hebat."Di rumah lagi sepi Lus, Yassir juga lagi tidur kan
Anak itu menangis dan memeluk tubuhku.Segera kuseka air mata."Gak apa-apa, gak apa-apa sayang, Yassir gak usah takut ada Bunda di sini." Aku berusaha membuatnya tenang dengan mengelus-ngelus dadanya."Aw sakit Bunda." Yassir menghindarkan tubuhnya tatkala aku ingin memeluknya juga."Ada apa? Apanya yang sakit, Nak?"Setelah kulihat punggung dan kakinya, ternyata benar luka lebam kembali memenuhi tubuh anakku.Ya Tuhan, entah apa yang sudah mereka lakukan pada Yassir saat tadi aku dikurung di kamar mandi, tega sekali mereka berbuat seperti pada anakku.Segera aku bangkit dan membawa Yassir ke kamar, kuolesi ia dengan salep khusus."Aw Bunda sakit Bunda, panas Bunda." Yassir menangis."Sabar ya Nak, jangan menangis lagi takut nanti uwa mu datang lagi ke sini.""Mereka jahat, uwa dan nenek jahat, Yassir akan laporkan sama ayah," kata Yassir.Air mataku lagi-lagi luruh mendengarnya. Abang ... Abang pulang Bang, Lusi dan Yassir menderita di sini Bang. Batinku menjerit.Selesai kuobati Y
"Kau mau tahu alasannya?" Kak Noni menyahut dengan senyuman miring.Aku menoleh."Karena ada harga yang harus suamimu bayar," ucapnya di depan wajahku.Kami saling menatap dalam jarak yang amat dekat hingga hawa panas dari napas Kak Noni bisa kurasakan."Mereka telah merebut kebahagiaan kami, suamimu dan ibunya itu telah merebut kasih sayang bapak sejak kami kecil dan sekarang wajar kan kalau suamimu kami manfaatkan? Kami gak ngambil sesuatu yang berharga dari suamimu seperti suamimu dan ibunya melakukannya, kami hanya mengambil sedikit uang darinya, jadi anggap saja itu adalah ganti rugi karena suamimu telah merebut kebahagiaan kami," imbuhnya lagi seraya memalingkan pandang.Napasku makin memburu, jadi seperti itu alasannya? Pantas saja mereka tampak senang sekali dengan keberangkatan Bang Sandi ke Taiwan, tapi kenapa selama ini Bang Sandi tak pernah cerita? Apa bang Sandi belum mengetahui soal ini?"Dan kau!" Aku terperanjat tatkala kak Noni kembali bicara. Ia lalu mendekatkan lagi
"Gimana? Ibu juga gak tahu, kamu ini bener-bener keterlaluan Tuti!" Ibu mertua sama bingungnya, sementara tak ada satu pun di antara mereka yang mempedulikan anakku yang sudah terbujur tanpa nyawa itu."Sudah biarkan aja dulu, ayo!" Ibu mertua memberi kedua anaknya aba-aba untuk keluar dari kamarku. Sementara aku hanya bisa menangis tak berdaya di pojok kamar sambil memandangi anakku yang terbujur kaku.Dari sanalah aku mulai benar-benar tak bisa mengontrol diri, hidupku rasanya sudah tak punya lagi arti apa-apa, kosong, lenglang tanpa udara.Lebih-lebih saat malam itu entah kemana mereka membawa anakku. Saat aku terbangun anakku sudah tidak ada di tempatnya."Kalian kemanakan anakku? Kalian kemanakan?""Anakmu sudah dikubur, kamu pikir kami mau menyimpan mayat di dalam rumah?" Wanita biadab bernama Tuti itu menjawab ringan.Aku kembali histeris dan berteriak sejadi-jadinya. Mereka bilang anakku sudah dimakamkan tapi aku tidak tahu apa itu benar atau tidak."Kenapa tega sekali kalia
PoV Sandi"Setelah suami saya datang barulah saya bisa merasakan kembali hidup yang aman dan udara yang terasa segar, meskipun bayang-bayang mereka kerap menyiksa saya justru membentuk sebuah ketakutan yang berlebihan, mereka bilang saya gila, tapi saya merasa baik-baik saja, hanya memang ... saya sulit mengatur rasa cemas yang berlebihan dalam diri saya ini tatkala saya sedang mengingat hal-hal yang menyakitkan itu, saya-" Lusi terisak di akhir kalimatnya. Ia tampak sudah tak mampu lagi berkata-kata.Segera aku memeluk istriku."Tenanglah ada Abang di sini sekarang.""Bang, Yassir pergi, Bang," ucapnya serak dengan isak tangis yang semakin menambah pilu."Sabar sayang, ikhlaskan Yassir, anak kita sudah tenang dalam pelukan Tuhan." Aku menyemangati."Baik, semua keterangan Ibu sudah kami simpan dengan baik, kami akan segera memproses kasus ini secepat mungkin agar segera bisa dilimpahkan ke pengadilan.""Oh ya dan untuk tersangka utama yaitu bu Tuti, kami sudah mulai menemukan titik
"Apa? Serius, Pak?" Aku terkejut sekaligus merasa senang mendengar kabar yang baru saja kudengar itu."Iya benar, buronan berjenis kelamin laki-laki yang diduga kuat sebagai orang yang melindungi Bu Tuti sudah kami temukan. Tapi ... maaf Pak, kami menemukannya dalam keadaan sudah tidak bernyawa."Mulutku refleks mengatup. Ya Tuhan kak Yogi."Untuk keterangan lebih lanjut silakan Bapak datang ke kantor."Akhirnya aku pun tak langsung pulang ke rumah dan terpaksa harus turun naik angkot jurusan yang mengarah ke kantor kepolisian.Di sana aku langsung dimintai keterangan serta diberikan foto jenazah yang baru mereka temukan itu."Benar Pak, memang benar ini orangnya, dia kak Yogi suami dari pelaku utama bernama Tuti itu," ucapku."Tersangka ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa dan gantung diri di sebuah pondok kecil." tutur petugas itu kemudian.Astagfirullah, mendengarnya bulu romaku langsung berdiri."Tapi kenapa harus gantung diri, Pak? Apa sudah diketahui penyebabnya?"Petugas
Aku dan ibu mertua menarik napas berat. Kasihan, ternyata dibalik wajah Bu Wendah yang selalu bersemangat setiap hari terdapat cerita yang begitu pilu.Aku tahu bagaimana perasaan beliau sekarang, aku pun pernah berada di posisi bu Wendah, kehilangan anak bukanlah luka sehari dua hari, tapi luka yang akan terus membekas sampai akhir hayat."Hah saya jadi curhat begini," ucapnya kemudian seraya menyeka air mata yang hampir jatuh melewati garis mata.Ibu mertua tersenyum getir, "gak apa-apa, Bu, terkadang kita memang perlu bercerita supaya beban kita sedikit berkurang," ucap beliau menyemangati.Bu Wendah mengangguk kepala, akhirnya air mata yang tadi sekuat tenaga ia tahan jatuh juga di pipinya.Tak lama Lusi datang membawa teh hangat. Ditatapnya Lusi lekat-lekat oleh Bu Wendah."Ini istrimu San?" tanya beliau kemudian."Iya, Bu.""Sini duduk, Nak," ucapnya pada Lusi.Istriku yang tidak mengetahui obrolan kami duduk di samping Bu Wendah dengan wajah bingung."Kalau anak saya masih ada,
Aku akhirnya ikut berpikir juga."Menginginkan sesuatu? Apa mungkin? Bu Wendah kelihatan tulus saat memberikannya beliau bilang uang ini untuk Lusi karena setiap kali melihat Lusi beliau jadi teringat sama anaknya yang hilang."Lula terkejut. "Anak hilang?""Iya, ternyata anak Bu Wendah hilang 25 tahun yang lalu."Mulut Lula dan Dara mengatup penuh iba."Ya ampun kasihan."Selesai mengobrol di ruang keluarga akhirnya akupun pamit untuk bersih-bersih dan mengganti pakaian.***Esok hari.Karena kebetulan hari minggu, kubawa Lusi ke dealer motor, Lula dan Dara pun ikut bersamaku karena mereka tidak ada acara hari minggu ini."Beli motor yang bagus Kak, yang gede lagi musim," usul si Lula.Aku menggeleng kepala. Sambil terus melihat-lihat contoh motor yang dipajang kupikirkan dengan matang, kira-kira motor seperti apa yang kubutuhkan?Apakah yang besar seperti yang dikatakan? Atau yang biasa saja?"Gimana sayang?" Kemudian aku meminta pendapat Lusi."Terserah Abang aja."Tapi akhirnya ku