****
Saat ini aku memutuskan untuk mencari hiburan, salah satunya bermain biliar bersama Aryo temanku.
"Aku rasa tadi kau keterlaluan pada Nita, Mar!" Aryo menghentikan permainan, lalu duduk di kursi yang sudah disediakan untuk beristirahat.
"Keterlaluan bagaimana? Aku hanya memberinya sedikit pelajaran. Aku benar-benar malu dibuatnya." Kuhela napas kesal, padahal kan itu semua kulakukan karena Nita yang tak pernah mengerti bagaimana rasanya jika berada di posisiku.
Aryo menatapku dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan. Namun, dari pandangannya yang tajam, ia seperti menyimpan amarah terpendam.
"Bodoh! Kau terlihat bodoh. Tingkahmu tadi benar-benar tak menunjukkan bahwa kau adalah pria sejati!" Aryo membentakku, lalu mencengkeram erat kerah baju yang kugunakan. Aku yang tak tau dengan aksinya, tak bisa mengelak saat tubuh ini terangkat sedikit karena kerah bajuku yang dipegangnya erat.
"Kau kenapa marah?" tanyaku santai pada Aryo. "Dia istriku, aku berhak melakukan apapun padanya. Kau tak bisa menyalahkan ku begitu saja, karena kau tak tau bagaimana rasanya berada di posisiku saat ini!" ucapku lagi
Aryo menghempaskan tangannya kasar. Ia mengusap rambutnya secara kasar, lalu kembali duduk ke tempatnya semula.
"Aku hanya tak suka melihat wanita menangis, Mar. Jika kau sudah tak mencintainya, harusnya kau lepaskan saja Nita. Jangan malah menyakitinya seperti itu, luka fisik mungkin akan mudah untuk disembuhkan, tapi eprihal luka batin. Aku tak yakin dia akan mudah menyembuhkannya, jangan membuat istrimu berada di osisj yang serba salah, Mar, aku rasa Nita juga tak ingin kejadian kemarin terjadi. Jika kau memang sudah bosan dengannya, lepaskan saja aku bilang. Apa itu susah untukmu?" tanya Aryo yang membuat emosiku tiba-tiba meningkat.
Bugh!
Aku menampar Aryo dengan sangat keras. Terjadilah perkelahian di antara kami berdua.
"Kau tak berhak ikut campur rumah tanggaku. Ini urusanku, aku bahkan bisa melakukan hal lebih dari itu!" tegasku padanya. Aku paling tak suka jika ada yang ikut campur dalam kehidupan yang kujalani, bagaimana pun alurnya orang luar tetap tak ada hak untuk memberikan saran terhadap rumah tangga kami
"Entah apa yang membuatmu menjadi kurang ajar begini, Mar. Tentu saja bukan aku! Dulu kau adalah sosok lelaki yang sangat menjaga dengan wanita, kau bahkan tak suka jika ada pria yang menyakiti wanita. Namun, sekarang, lihatlah bahkan kau menjilat ludahmu sendiri, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Intinya yang merubahku bukanlah aku," ucap Aryo sambil mengangkat alisnya dan tersenyum sinis.
Senyum itu benar-benar seperti mengejekku. Andai saja dia bukan temanku, sudah kuhahar dia habis-habisan.
"Pulanglah, Mar. Aku takut Nita memilih pulang dan tak pernah memedulikan kehidupanmu lagi." Aryo kembali berucap dan menatapku dengan pandangan harap. Kulepaskan cengkramanku pada bahunya, lalu berjalan sedikit menjauh
"Jika dia pergi, menurutku itu adalah hal bagus. Aku akan lebih leluasa tanpa dia, aku akan lebih bebas melakukan apa saja tanpa harus mendengar ocehan-ocehan tak jelas yang ke luar dari mulut wanita gendut itu!" ucapku sambil mengangkat bahu. Kuambil minuman yang berada di atas meja. Tenggorokanku benar-benar terasa kering, setelah berkelahi tadi. Ternyata haus juga.
"Apa kau yakin tentang itu?" tanya Aryo padaku.
"Apa kau yakin kau akan baik-baik saja saat dia memilih untuk meninggalkanmu dan tiba-tiba mengirimkan surat cerai padamu? Kau yakin, hah?" ujarnya lagi.
Aku terdiam, lalu mengangguk dengan ragu-ragu. Tiba-tiba ucapan Aryo memenuhi pikiranku, masa iya Nita akan pergi begitu saja meninggalkanku, rasanya tak mungkin itu terjadi. Aaplagi sudah jelas dapat dilihat dia begitu bucin terhadapku, jika marah pun tak pernah bisa lama. Karena dia lebih takut aku yang marah terhadapnya.
"Ya sudah mari kita lanjutkan permainan ini."
Kami lalu kembali bermain bersama.
Sepanjang permainan, aku merasakan perasaan yang tak enak. Tanganku bermain, tapi pikiranku berkelana.
Argh! Mengapa Aryo mengucapkan kata yang hanya membuatku tak fokus saja sih, batinku berucap.
"Ayolah, Mar! Kenapa kau terlihat tidak fokus. Apa yang mengganggu pikiranmu." Aryo menghampiri dan menepuk pundakku.
"Entahlah, kepalaku rasanya sangat sakit, Ar. Entah apa yang membuat tubuhku selalu terasa lelah," ujarku bohong.
Aku tak ingin mengatakan yang sebenarnya, bahwa yang menganggu pikiranku adalah tentang ucapannya barusan. Namun, akhir-akhir ini memang tubuhku selalu terasa lemas dan lelah. Mungkin karena rasanitu juga, aku selalu ingin marah-narah bahkan pada kesalahan yang hanya sedikit saja. Entah apa yang terjadi pada diri ini. Aku sendiri pun tak mengerti.
"Kau sepertinya butuh istirahat, Mar. Apa perlu kuantarkan untuk pulang." Aryo menawarkan bantuan padaku.
Aku menggelengkan kepala pelan. Lalu memijat kepala sebentar.
"Tidak usah, aku baik-baik saja. Aku malah takut jika ke rumah aku malah bertambah sakit," kilahku.
"Ya sudah kalo begitu, masuk saja ke kamar tamu. Aku akan menyuruh Mbok Inah membuatkan teh hangat untukmu," ujarnya. Aku sangat senang mempunyai sahabat seperti Aryo, karena dia memiliki sifat keibuan. Padahal dia jarang bertemu dengan ibunya, karena mereka sering berpergian ke luar negeri untuk mengurus beberapa bisnis. Sama seperti orang tuaku.
Aryo lalu berjalan masuk ke dalam, begitu pun dengan aku yang juga mengikutinya dari belakang.
***
"Minum dulu, muka lu pucat banget." Aryo lalu memberikan segelas teh hangat.
"Yo, menurut lu, gue tadi keterlaluan banget ya?" Aku bertanya tentang sikapku pada Nita pada Aryo.
"Yang mana?" Aryo balik bertanya membuatku berdecak kesal.
"Tentang Nita," jawabku singkat.
"Menurut lu?"
Aryo benar-benar membuatku kesal.
"Gue nanya sama lu, Yo!" bentakku padanya.
"Santai, Bos. Tanpa gue jawab, lu pasti tau sendiri jawabannya," jawabnya santai.
"Gue kasihan lihat muka Nita tadi. Kalo gue di posisi Nita, udah gue tinggalin lu. Apalagi Nita punya toko kue, tanpa lu, dia juga bisa hidup sendiri."
Jleb!
Kalo dipikir-pikir omongan Aryo ada benarnya juga.
"Sebelum dia gugat cerai gue. Gue duluan yang bakalan gugat cerai dia," jawabku angkuh.
"Gila, lu. Entar ujung-ujungnya nyesal pas udah cerai beneran. Btw, emang lu berani sama Bokap lu?" tanya Aryo lagi yang membuat nyaliku menciut.
"Nah, inilah masalahnya, Yo. Papa gue kayaknya nggak bakalan izinin gue cerai sama tu cewek gendut." Aku menjelek-jelekkan Nita di hadapan Aryo, sahabatku.
"Entah terbuat dari apa hati lu. Mending lu pulang deh, capek gue ngomong sama lu." Aryo lalu meninggalkanku sendiri di ruang tamu ini.
"Ngusir gue nih ceritanya lu, Yo?" teriakku saat melihatnya yang berjalan ke kamar tanpa memedulikanku lagi.
"Ya elah, malah dia yang marah. Aneh!" kataku mengangkat alis sebelah lalu mengedikkan bahu.
Aku menunggu lama. Namun Aryo tak kunjung ke luar dari kamarnya.
"Ya sudah, kalo gitu pulang aja," gumamku.
"Aryo! Gue balik dulu!" teriakku.
Tak ada jawaban dari Aryo. Tak ingin berlama-lama, jadi aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Oh ya satu lagi dan sekarang malah aku yang keheranan, mengapa Aryo kelihatan sangat marah padaku. Padahal Nita saja tak marah saat aku perlakukan begitu.
Apa jangan-jangan Aryo mulai menaruh rasa pada Nita, istriku? tanyaku membatin.
"Pi, maafkan Mami. Beri Mami kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya,"nujar Clara sesaat setelah menemui John."Aku sudah sering memberimu kesempatan, tapi lagi-lagi kau sia-siakan. Rasanya kita memang tak cocok lagi untuk saling bersama Clara, karena bagaimana pun aku berjuang untuk mempertahankan rumah tangga kita. Pemenangnya tetap orang lama yang kamu suka." John tak melirik Clara sama sekali, dia masih fokus pada lembaran kertas di tangannya."Laura juga sudah besar, tak ada salahnya jika kita memilih jalan hidup masing-masing mulai saat ini. Aku tahu, mempertahankanmu akan membuatmu lebih menderita lagi begitu pun denganku juga. Laura pasti mengerti mengapa Papi dan maminya bercerai. Laura sudah bukan anak kecil lagi."Tanpa mereka sadari, Laura sedari tadi menguping pembicaraan mereka. Laura menahan isak tangisnya yang hampir terdengar. Laura memutuskan untuk segera pergi dari kegiatan mengupingnya. Dia masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas ranjang."In
"Sayang, kamu menciumiku di depannya," ucap Nita pada Damar yang menatapnya dengan tak berkedip."Memangnya kenapa? Lagipula, bukankah kita sudah sah sebagai suami-istri, itu salah dia sendiri karena sudah terlalu jauh berperilaku padaku," ujar Damar sambil menggandeng pinggang Nita dengan lembut."Tapi aku malu," ujar Nita dengan wajah yang memerah."Sini di mananya yang membuat malu, biar aku tambahin," kata Damar yang membuat Nita membulatkan matanya sempurna."Mas Damar," rengeknya dengan manja. Damar lalu tertawa melihat tingkah istrinya yang seperti anak-anak.***Di rumah Laura mengamuk tak karuan setelah dirinya dipukul sang papi."Mau atau tidak! Besok kita harus kembali ke Australia, Papi sudah membeli tiket untuk kita berangkat, bereskan semua pakaianmu sekarang juga!""Papi!" teriak Laura tak terima dengan perlakuan John."Jangan jadi seperti mamimu, Laura. Dulu sebelum kamu sebesar seperti sekarang, mamimu juga berusaha menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Aida, Mama D
"Mami, harusnya menjadi cinta pertamaku sebagai laki-laki. Tapi semuanya pupus begitu saja, saat Mami tak pernah menganggap kehadiranku di antara Mami dan Papi.""Mami sibuk, semuanya Mami lakukan untuk masa depanmu. Kamu tau bukan?" ucap sang Mami merasa tak terima karena daritadi Aryo yang terus memojokkannya."Untuk apa, Mi. untuk apa semua itu, harta dunia, yang Mami kejar selama ini hanya akan sia-sia bila tak ada kasih sayang di dalamnya. Mami tau tidak, aku bagai anak yang terbuang, setiap malam memikirkan apakah aku dibutuhkan atau tidak.""Aku bertanya pada diri sendiri, untuk apa dilahirkan ke dunia jika kehadiranku tak berarti apa-apa. Kalian sibuk mengejar dunia yang sementara, kalian hanya memandang uang tanpa dapat berpikir bahwa suatu saat akan ada pertanggungjawaban kalian sebagai orang tua." "Uang tak akan pernah bisa membelikan kebahagian, bahkan kenangan masa kecil bersama kalian pun tak pernah terlintas di pikiran."Ucapan Aryo bagaikan pisau yang menusuk hati ora
"Putri ada apa, kenapa menangis?" tanya Wati teman kontrakan dia. Setelah pergi, Putri memilih untuk datang ke alamat kontrakan lamanya sebelum bertemu dengan Aryo.ia menangis tersedu-sedu di hadapan Wati, susah payah di dalam mobil dia menahan tangisnya. Akhirnya terlupakan juga sekarang."Aku benar-benar bersalah. Salah telah memilih dia sebagai suamiku, harusnya dari awal aku tak menerima lamarannya. Harusnya dari awal aku tak usah kenal dengan Aryo. Jika kenyataannya kami tak mungkin bisa bersama. Harusnya aku sadar diri tidak berpunya bersanding dengan lelaki kaya."Hei! Kamu ini kenapa? Siang-siang datang ke rumahku dan menangis seperti ini. Kenapa membawa tentang kekayaan, siapa yang sudah menyakitimu?" tanya Wati yang masih tak mengerti dengan permasalahan yang dihadapi temannya."Mereka menghinaku. Mereka menjelek-jelekkan orang tuaku. Apakah salahku karena mencintai Aryo, Wati? Apa aku salah berharap bahagia dengan lelaki seperti Aryo?""Mereka siapa?" tanya Wati memegang pi
"Mama, ada apa? Kenapa Mama terlihat begitu marah pada Laura," tanyaku saat melihat Mama yang masih diliputi emosi, bahkan napasnya pun tak beraturan."Memang kurang ajar dia itu. Dia yang meninggalkan Damar, dia juga yang merasa paling tersakiti. Mama benar-benar khilaf pernah merestui hubungan dia dan juga Damar dulu.""Untung saja Damar segera dijodohkan denganmu, jadi Damar tidak perlu mempunyai istri seperti Laura yang sama sekali tidak bisa menghargai orangtua."Aku melihat Mama berbicara dengan berapi-api. Entah apa yang terjadi sebelumnya, hingga membuat Mama menjadi semarah ini. Apakah Laura telah melakukan sesuatu yang tak dapat diterima akal logika?Entahlah, saat ini hanya Mama yang tau dan dapat merasakannya."Kamu tenang saja, Nita. Jangan terlalu memikirkan hal tadi, maafkan Mama sudah menambah beban pikiranmu. Padahal kamu baru saja kehilangan ibunda satu-satunya yang kau punya. Sekali lagi Mama meminta maaf sudah membuat keributan sepagi ini," ujar Mama tulus terlihat
"Halo Tante, bagaimana kabarnya?" tanya Laura yang langsung duduk mendekati Nita dan juga Aida."Baik." Aida hanya menjawab singkat, ia tak ingin berpura-pura baik lagi pada Laura. Karena itu hanya akan menyakiti hati menantunya kembali."Oh ya, turut berduka cita ya, Nita. Aku dengan ibumu sudah mati, jadi--""Maaf, meninggal yang benar. Mati itu istilah yang digunakan untuk hewan." Nita langsung memotong ucapan Laura. Laura memanyunkan bibirnya, kesal mendengar jawaban Nita."Ya, apapun itulah intinya aku ikut berduka cita atas kepergian ibumu," ujar Laura lagi. "Terima kasih," jawab Nita singkat."Mama ...," panggil Arkanza. Laura yang melihat itu berniat mengambil Arkanza. Namun tak jadi, karena Nita langsung sigap menghampiri anaknya."Kamu sudah besar ya, Sayang. Tante senang bisa melihatmu," ujar Laura sambil tersenyum manis. Namun senyuman itu bagaikan bisa dari ular, mematikan."Oh ya, Tante. Papi dan Mami sudah datang ke Indonesia, jadi kapan Tante akan mampir ke rumahku?"