Share

Mendinginkan Pikiran!

****

Saat ini aku memutuskan untuk mencari hiburan, salah satunya bermain biliar bersama Aryo temanku.

"Aku rasa tadi kau keterlaluan pada Nita, Mar!" Aryo menghentikan permainan, lalu duduk di kursi yang sudah disediakan untuk beristirahat.

"Keterlaluan bagaimana? Aku hanya memberinya sedikit pelajaran. Aku benar-benar malu dibuatnya." Kuhela napas kesal, padahal kan itu semua kulakukan karena Nita yang tak pernah mengerti bagaimana rasanya jika berada di posisiku.

Aryo menatapku dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan. Namun, dari pandangannya yang tajam, ia seperti menyimpan amarah terpendam.

"Bodoh! Kau terlihat bodoh. Tingkahmu tadi benar-benar tak menunjukkan bahwa kau adalah pria sejati!" Aryo membentakku, lalu mencengkeram erat kerah baju yang kugunakan. Aku yang tak tau dengan aksinya, tak bisa mengelak saat tubuh ini terangkat sedikit karena kerah bajuku yang dipegangnya erat.

"Kau kenapa marah?" tanyaku santai pada Aryo. "Dia istriku, aku berhak melakukan apapun padanya. Kau tak bisa menyalahkan ku begitu saja, karena kau tak tau bagaimana rasanya berada di posisiku saat ini!" ucapku lagi 

Aryo menghempaskan tangannya kasar. Ia mengusap rambutnya secara kasar, lalu kembali duduk ke tempatnya semula.

"Aku hanya tak suka melihat wanita menangis, Mar. Jika kau sudah tak mencintainya, harusnya kau lepaskan saja Nita. Jangan malah menyakitinya seperti itu, luka fisik mungkin akan mudah untuk disembuhkan, tapi eprihal luka batin. Aku tak yakin dia akan mudah menyembuhkannya, jangan membuat istrimu berada di osisj yang serba salah, Mar, aku rasa Nita juga tak ingin kejadian kemarin terjadi. Jika kau memang sudah bosan dengannya, lepaskan saja aku bilang. Apa itu susah untukmu?" tanya Aryo yang membuat emosiku tiba-tiba meningkat.

Bugh!

Aku menampar Aryo dengan sangat keras. Terjadilah perkelahian di antara kami berdua.

"Kau tak berhak ikut campur rumah tanggaku. Ini urusanku, aku bahkan bisa melakukan hal lebih dari itu!" tegasku padanya. Aku paling tak suka jika ada yang ikut campur dalam kehidupan yang kujalani, bagaimana pun alurnya orang luar tetap tak ada hak untuk memberikan saran terhadap rumah tangga kami 

"Entah apa yang membuatmu menjadi kurang ajar begini, Mar. Tentu saja bukan aku! Dulu kau adalah sosok lelaki yang sangat menjaga dengan wanita, kau bahkan tak suka jika ada pria yang menyakiti wanita. Namun, sekarang, lihatlah bahkan kau menjilat ludahmu sendiri, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Intinya yang merubahku bukanlah aku," ucap Aryo sambil mengangkat alisnya dan tersenyum sinis. 

Senyum itu benar-benar seperti mengejekku. Andai saja dia bukan temanku, sudah kuhahar dia habis-habisan.

"Pulanglah, Mar. Aku takut Nita memilih pulang dan tak pernah memedulikan kehidupanmu lagi." Aryo kembali berucap dan menatapku dengan pandangan harap. Kulepaskan cengkramanku pada bahunya, lalu berjalan sedikit menjauh 

"Jika dia pergi, menurutku itu adalah hal bagus. Aku akan lebih leluasa tanpa dia, aku akan lebih bebas melakukan apa saja tanpa harus mendengar ocehan-ocehan tak jelas yang ke luar dari mulut wanita gendut itu!" ucapku sambil mengangkat bahu. Kuambil minuman yang berada di atas meja. Tenggorokanku benar-benar terasa kering, setelah berkelahi tadi. Ternyata haus juga. 

"Apa kau yakin tentang itu?" tanya Aryo padaku.

"Apa kau yakin kau akan baik-baik saja saat dia memilih untuk meninggalkanmu dan tiba-tiba mengirimkan surat cerai padamu? Kau yakin, hah?" ujarnya lagi.

Aku terdiam, lalu mengangguk dengan ragu-ragu. Tiba-tiba ucapan Aryo memenuhi pikiranku, masa iya Nita akan pergi begitu saja meninggalkanku, rasanya tak mungkin itu terjadi. Aaplagi sudah jelas dapat dilihat dia begitu bucin terhadapku, jika marah pun tak pernah bisa lama. Karena dia lebih takut aku yang marah terhadapnya. 

"Ya sudah mari kita lanjutkan permainan ini."

Kami lalu kembali bermain bersama.

Sepanjang permainan, aku merasakan perasaan yang tak enak. Tanganku bermain, tapi pikiranku berkelana.

Argh! Mengapa Aryo mengucapkan kata yang hanya membuatku tak fokus saja sih, batinku berucap. 

"Ayolah, Mar! Kenapa kau terlihat tidak fokus. Apa yang mengganggu pikiranmu." Aryo menghampiri dan menepuk pundakku.

"Entahlah, kepalaku rasanya sangat sakit, Ar. Entah apa yang membuat tubuhku selalu terasa lelah," ujarku bohong. 

Aku tak ingin mengatakan yang sebenarnya, bahwa yang menganggu pikiranku adalah tentang ucapannya barusan. Namun, akhir-akhir ini memang tubuhku selalu terasa lemas dan lelah. Mungkin karena rasanitu juga, aku selalu ingin marah-narah bahkan pada kesalahan yang hanya sedikit saja. Entah apa yang terjadi pada diri ini. Aku sendiri pun tak mengerti.

"Kau sepertinya butuh istirahat, Mar. Apa perlu kuantarkan untuk pulang." Aryo menawarkan bantuan padaku.

Aku menggelengkan kepala pelan. Lalu memijat kepala sebentar.

"Tidak usah, aku baik-baik saja. Aku malah takut jika ke rumah aku malah bertambah sakit," kilahku.

"Ya sudah kalo begitu, masuk saja ke kamar tamu. Aku akan menyuruh Mbok Inah membuatkan teh hangat untukmu," ujarnya. Aku sangat senang mempunyai sahabat seperti Aryo, karena dia memiliki sifat keibuan. Padahal dia jarang bertemu dengan ibunya, karena mereka sering berpergian ke luar negeri untuk mengurus beberapa bisnis. Sama seperti orang tuaku.

Aryo lalu berjalan masuk ke dalam, begitu pun dengan aku yang juga mengikutinya dari belakang.

***

"Minum dulu, muka lu pucat banget." Aryo lalu memberikan segelas teh hangat.

"Yo, menurut lu, gue tadi keterlaluan banget ya?" Aku bertanya tentang sikapku pada Nita pada Aryo.

"Yang mana?" Aryo balik bertanya membuatku berdecak kesal.

"Tentang Nita," jawabku singkat.

"Menurut lu?" 

Aryo benar-benar membuatku kesal.

"Gue nanya sama lu, Yo!" bentakku padanya.

"Santai, Bos. Tanpa gue jawab, lu pasti tau sendiri jawabannya," jawabnya santai.

"Gue kasihan lihat muka Nita tadi. Kalo gue di posisi Nita, udah gue tinggalin lu. Apalagi Nita punya toko kue, tanpa lu, dia juga bisa hidup sendiri."

Jleb!

Kalo dipikir-pikir omongan Aryo ada benarnya juga.

"Sebelum dia gugat cerai gue. Gue duluan yang bakalan gugat cerai dia," jawabku angkuh.

"Gila, lu. Entar ujung-ujungnya nyesal pas udah cerai beneran. Btw, emang lu berani sama Bokap lu?" tanya Aryo lagi yang membuat nyaliku menciut.

"Nah, inilah masalahnya, Yo. Papa gue kayaknya nggak bakalan izinin gue cerai sama tu cewek gendut." Aku menjelek-jelekkan Nita di hadapan Aryo, sahabatku.

"Entah terbuat dari apa hati lu. Mending lu pulang deh, capek gue ngomong sama lu." Aryo lalu meninggalkanku sendiri di ruang tamu ini. 

"Ngusir gue nih ceritanya lu, Yo?" teriakku saat melihatnya yang berjalan ke kamar tanpa memedulikanku lagi.

"Ya elah, malah dia yang marah. Aneh!" kataku mengangkat alis sebelah lalu mengedikkan bahu.

Aku menunggu lama. Namun Aryo tak kunjung ke luar dari kamarnya.

"Ya sudah, kalo gitu pulang aja," gumamku.

"Aryo! Gue balik dulu!" teriakku. 

Tak ada jawaban dari Aryo. Tak ingin berlama-lama, jadi aku memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Oh ya satu lagi dan sekarang malah aku yang keheranan, mengapa Aryo kelihatan sangat marah padaku. Padahal Nita saja tak marah saat aku perlakukan begitu.

Apa jangan-jangan Aryo mulai menaruh rasa pada Nita, istriku? tanyaku membatin.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mia Harjoni
aryo cowo kan, kok keibuan
goodnovel comment avatar
Madam Rz
ceritanya menguras rasa. pengen tak cubitlah dia nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status