Share

ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU
ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU
Penulis: Zaraa

BAB 1

ISTRIKU SUMBER KEUANGANKU

Part_1

Aku menggeliat bangun oleh aroma kopi yang menerpa hidung. Benar saja, di atas meja kecil yang terletak di pojok kamar, Astuti telah menyiapkan sarapan pagiku seperti biasa.  Kali ini secangkir kopi ditemani nasi goreng ati. Tanpa mencuci muka terlebih dulu, aku menyeruput kopi dan menyalakan sebarang rokok. 

"Mas buruan siap-siap, nanti  Panji dan Rara bisa terlambat." Astuti mengingatkan sembari sibuk mematut diri di depan cermin, dilanjutkan memasukkan berkas-berkas ke dalam tas kerjanya.

"Kalau mau nggak terlambat, sekalian kamu antar saja, dong," sahutku ketus. Mentang-mentang jadi wanita karier, seenaknya saja mendikte suami. Perempuan yang kunikahi tiga belas tahun lalu itu terdengar menghela napas panjang, lalu tanpa kata mengulurkan selembar biru ke arahku, seperti biasanya pula.  Ya, duit itu jatahku tiap pagi--buat beli pulsa dan rokok. Meski sudah lama tak cukup, tapi aku belum sempat minta kenaikan.

"Mas kan tau, aku harus sampai di kantor tepat waktu. Ini hari senin, aku harus memimpin upacara bendera."

" Ya sudah, tapi kurang ini. Bensin hampir habis dan aku juga mau ngecek olinya ke bengkel."

"Ini cukup?" tanya Astuti sambil mengulurkan satu lembar merah. Aku melotot sadis ke arahnya.

"Mana cukup lah. Minimal bawa 300. Lagian kamu kan kepala sekolah, banyak duitnya. Sama suami kok pelit banget!" sergahku dengan suara tinggi. Jurus seperti ini yang kerap berhasil memperdayanya. Ia memang jenis perempuan yang tidak suka keributan, dan aku manfaatkan itu. Air muka Astuti berubah, tanpa komentar lagi, segera mengambil dan menyerahkan nominal yang kuminta dari dompetnya.

"Oh ya, kiriman untuk ibu dan adik-adikku sudah ditranfer belum?" tiba-tiba aku ingat hal itu.

"Eh ma ... maaf, aku lupa. Nanti siang bisa kan, Mas?" Suara Astuti terdengar cemas. Darahku langsung naik. Bagaimana bisa ia lupa? Apa tidak ingat kalau salah satu adikku masih butuh biaya kuliah dan ibu hanya seorang janda.

"Tega kamu, ya! Gimana kalau ibu dan adik-adikku kehabisan uang?!" sergahku.

"Iya ... iya. Aku nanti langsung transfer," janjinya sungguh-sungguh.

Setelah mencium tanganku takzim, ia mengambil kunci motor. Kulihat ia kesusahan meletakkan barang-barang yang harus dibawanya ke besi cantolan motor. Tas laptop di sisi sebelah kiri, sementara tas kerjanya yang menggembung karena sarat isi, ia letakkan di sisi lainnya. 

"Itu kenapa tas tanganmu bergelantungan gitu?! Taruh di jok, dong! Kalau dijambret siapa yang repot? Aku juga kan!" teriakku lantang. Astuti menuruti perkataanku, mencoba berbagai cara agar barang bawaannya bisa dibawa dengan pas. Lalu mengucapkan salam sebelum motor bututnya membelah jalanan sibuk di pagi hari. Aku? Hmm cukup memandanginya dari jauh sambil menghabiskan sisa kopi. Perempuan memang harus serba bisa untuk menyenangkan suami, bukan?.

"Panji ... Rara! Ayo cepat, nanti terlambat," seruku pada kedua anakku  yang sama-sama masih di bangku sekolah dasar.  Sebuah CRV berwarna putih setia menemani aktivitasku mengantar jemput anak-anak dan bersosialisasi. Mobil impian hasil menggadaikan SK PNS milik Astuti untuk yang kesekian kali, setelah sebelumnya berhasil digadaikan untuk membangun rumah berlantai dua beserta seluruh perabot mewahnya.

Akulah Busro, lelaki beruntung  itu. Ya ... beristrikan Astuti adalah keberuntungan. Keberuntungan yang berhasil membuat iri teman-teman ngumpulku. Selain cantik dan mandiri, ia juga istri yang sangat patuh. Dulu ia pernah  beberapa kali mengkritik sikap malasku, tetapi itu tak berlangsung lama. Ia diam seribu bahasa saat kuancam akan kuceraikan. Astuti oh Astuti, begitu mudahnya diperdaya.

Aku bukannya tak berusaha. Aku pun pernah beberapa kali membuka usaha, tetapi hasilnya tak memuaskan. Alih-alih dapat untung, malah rasa capek yang mendera tubuh. Belum lagi modal menguap begitu saja. Sementara, justru karier Astuti kian melejit. Selain menjadi Kepsek, ia juga mengajar kelas malam di sebuah universitas swasta. Lalu untuk apa aku capek-capek kerja, jika uang tak jadi masalah bagi istriku? Malah ia pun sanggup menjatah semua keperluanku dan keluarga mertuanya.

Aku juga hafal pribadinya, ia seorang perempuan yang mudah takut jika digertak dan dibentak. Hardikan dan umpatan adalah makanan sehari-hari untuknya. Bahkan kekerasan fisik acap kulakukan jika ia tak menurut kata-kataku.

Keluarganya? Mereka adalah keluarga yang gampang dibodohi. Di depan kedua adiknya dan saudara dari mendiang ayah ibunya, Astuti selalu tampak bahagia. Ia selalu bercerita tentang usaha kontraktorku yang berkembang pesat, padahal itu cerita masa lalu yang tak lagi berbekas. Keluarga utuh yang sakinah mawwadah adalah dongeng yang ada di kepala keluarga Astuti tentang kami. Apa peduliku? Toh mereka percaya dan Astuti berusaha keras untuk tampil sempurna di depan keluarganya.

Aku menikmatinya. Sangat. Kemewahan yang tak pernah kumiliki sejak kecil kini terwujud berkat menikah dengan Astuti. Untuk apa bekerja keras jika segalanya sudah ada? Rejeki istri toh juga rejeki suami. Rejeki yang datang tentunya rejeki keluarga. Kalau bukan karena aku rajin berdoa dan merestui ia beraktifitas, tentu tak semudah ini rejeki datang menghampiri.

Kini, hanya satu yang masih mengganjal di hatiku. Bagaimana caranya mengatakan pada Astuti kalau aku ingin menikah lagi. Baru-baru ini, sebuah reuni sekolah membuatku bertemu lagi dengan mantan pacarku sewaktu SMU. Tak dinyana, ia baru saja ditinggal suaminya yang meninggal dunia. Pertemuan itu membuat bibit-bibit cintaku pada Yuni kembali bergelora. Soal alasan, aku punya banyak alasan. Di antaranya soal perhatian istri yang kurang pada rumah tangga dan anak-anak, serta kebutuhan  batin yang tak bisa ditunaikan dengan baik oleh Astuti. Kegiatan di luar rumah yang semakin padat, adalah senjata ampuh untuk menekan dan membuatnya menyetujui keinginanku. Hmm ... aku memang cerdaaaas.

Dan diri ini yakin, mesti pada mulanya ia akan keberatan, tetapi lama-kelamaan perempuan itu pasti menyadari segala kekurangannya. Yes, kepala ini semakin bersemangat mencari segala akal agar aku mendapat manfaat yang maksimal dengan menikahi perempuan lugu itu.

&&&

Dinginnya kamar karena AC yang menyala di 16 derajat Celcius membuatku terjaga. Kuraba remot pendingin udara itu, lalu menaikkan temperaturnya. Sekali lagi tangan ini meraba, kini ke samping kiri, di mana biasanya Astuti terbaring lelap. Sesuatu di bagian bawah tubuh sepertinya menuntut sesuatu. Ah sialan, mana sih Penghangat Kasur milikku?

Dengan malas aku membuka mata, dan menemukan sesosok tubuh tengah bersujud dengan mukena putih. Tidak apalah menunggu sebentar, nanti juga selesai salatnya. Kenapa perempuan itu tiap tengah malam selalu salat berlama-lama? Membuatku terganggu jika perlu kehangatan tiba-tiba. Gerutuku dalam j

hati.

Bosan menunggu, aku melangkah ke dapur dan membuat sendiri secangkir kopi. Buru-buru kembali ke kamar dan berharap Astuti sudah siap melayani. Shit! Kenapa dia lama sekali berdoa, bahkan sampai matanya berurai air mata, huh ... dasar istri lebay!

"Kok lama sekali sih! Buruan dong!" sungutku sambil menarik lepas mukenanya.

"Kasar sekali, Mas? Cobalah  perbaiki caramu berkomunikasi," keluhnya sambil membuka mukena bagian bawah.  Eh, malah ceramah pula dia! Sejak kapan dia mulai berani menasehati segala?!

"Sudah! Nggak usah ceramah kamu!" sentakku sambil mendorong tubuhnya hingga terhempas ke tempat tidur. Astuti tak lagi membantah, tetapi kulihat matanya menyimpan kemarahan. Silakan kamu marah wahai istriku, emang kamu bisa apa? Seringaiku menyembul.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status