Share

Ibu, Jangan Tinggalkan Kami
Ibu, Jangan Tinggalkan Kami
Author: Stefani Wijanto

Bab 1 Sinar

Suara desahan terdengar dari kamar sebelah. Seakan menyusup pada dinding, kemudian menggema di kamar yang aku tempati. Ibuku kemarin menikah yang kelima kalinya dengan seorang lelaki bernama Agus. Lelaki tua yang mengaku sebagai juragan batik.

Aku menatap ketiga adikku yang masih terlelap. Dewa kecil yang berusia dua tahun nyenyak dalam dekapan Rahma, sedangkan Randu tidur di bawah beralaskan kasur lusuh dan tipis. Kami berempat terpaksa berbagi kamar. Biasanya aku dan Rahma tidur di kamar sebelah, kamar yang menguarkan irama menjijikkan pada pagi hari.

Perlahan kaki ini turun dari pembaringan, menyentuh ubin yang dingin. Lalu, melangkah keluar kamar. Aku tidak perlu memasak, karena ada sisa makanan pesta pernikahan. Tinggal dihangatkan.

Selesai menyiapkan sarapan yang aku tata di meja, aku bergegas mandi. Usiaku sembilan belas tahun, tetapi masih duduk di bangku kelas tiga sma. Karena sering putus sekolah.

Saat keluar dari kamar mandi, Ibu sudah berada di dapur membuat kopi. Perempuan berusia empat puluh tiga tahun itu menoleh, memandangku dengan senyum semringah. Senyum pengantin baru.

"Sinar, ibu akan berbulan madu ke Bandung. Kamu jaga adik-adikmu, ya ...." ucap Ibu dengan entengnya.

"Tapi, aku sekolah, Bu." Aku memprotes. Selama ini Ibu sering lalai sebagai orang tua, hanya memburu kesenangan sendiri.

"Cuma empat hari, bolos nggak apa-apa. Nanti ibu belikan oleh-oleh," sahut Ibu.

"Aku nggak butuh oleh-oleh, Bu!" Suaraku menggelegar. 

Akan tetapi, Ibu tidak peduli. Ibu meletakkan dua lembar uang seratus ribu di meja.

"Jangan membantah, Sinar. Dua hari lag ibu akan transfer uang lewat teman ibu," pungkasnya, lantas masuk ke kamar dengan membawa secangkir kopi.

Randu yang berdiri di bibir pintu kamar berkata, "Kita gantian jaga Dewa, Mbak. Besok giliranku. Bagaimana?"

Aku mengacak rambut dengan frustasi. Ibuku memang egois. Aku berharap, Ibu tidak hamil dengan suaminya yang sekarang. Aku dan Randu satu ayah. Ayah kami meninggal saat usiaku lima tahun. Sedangkan Rahma, anak ibu dari mantan suami ketiganya. Dewa dari mantan suami keempat.

"Biar Mbak saja yang jaga Dewa, " ujarku pada Randu.

Rahma berusia sebelas tahun, sedangkan Randu enam belas tahun. Kami sering berbagi kebahagiaan, lebih sering berbagi kepahitan.

***

Sekarang hari kelima, aku sudah kehabisan uang. Persediaan beras juga habis. Beberapa kali aku menelepon dan mengirim pesan pada Ibu, tetapi ponsel Ibu tidak aktif.

Amarah mulai menguasai, dada ini terasa sesak. Janji akan mentransfer uang, hanya janji semata.

"Mbak Sinar." Dewa menarik kausku. "Mau cilok, mau jajan ...." rengeknya.

"Bentar ya, tunggu Ibu," sahutku, mengusap kepalanya dengan lembut.

Ibuku bernama Yunita, pekerjaannya tidak tentu. Apa lagi penghasilannya, kadang aku membantu Ibu dengan bekerja di rumah Bu Henny yang memproduksi bakpo. Aku sudah merasa senang karena hampir setahun, tidak ada tanda-tanda ibu dekat dengan lelaki. Namun, semua tinggal angan.

Rahma terlihat dari ujung jalan, makin lama makin dekat. Keringat membasahi dahinya, kulitnya yang putih memerah.

"Mbak Sinar, aku lapar," keluh Rahma sembari duduk di sebelahku. "Mbak masak apa?"

"Oseng tempe," jawabku.

"Ini sisa uang saku." Rahma mengulurkan uang lima ribu.

Itu bukan sisa, tapi uang saku yang masih utuh. Rahma tidak menggunakan uang saku tersebut.

"Bekal nasi goreng sudah cukup mengisi perut," lanjutnya dengan senyum lebar.

Aku memandang Rahma, hatiku terasa terenyuh. Ingin sekali membahagiakan adik-adikku.

Ponsel keluaran lama milikku berdering. Nama Ibu menari-nari di layar perangkat elektronik tersebut.

"Halo, Buk."

"Sinar, bagaimana kabarmu?"

"Baik. Ibu kapan pulang? Kenapa ponsel Ibu tidak aktif?"

Ibu tidak segera menjawab, terdengar helaan napas dari ujung sana.

"Sinar ... Ibu nggak bisa pulang."

"Apa?"

"Kamu sudah besar, bisa menggantikan Ibu merawat adik-adik."

"Buk ...." 

"Ibu ingin bersenang-senang sebentar, tanpa kalian. Tanpa memikirkan kebutuhan kalian. Ibu bosan dengan kehidupan miskin," kata Ibu.

Ludahku terkelu mendengarnya.

"Sudah ya, Sinar. Jaga diri baik-baik ...."

"Nggak bisa gitu, Buk. Kami juga bosan hidup miskin! Kami nggak minta dilahirkan. Halo ... halo ...."

Aku menurunkan ponsel dari telinga. Melihat ponsel yang sudah menghitam. Ibu mematikan sambungan telepon. Aku mencoba menelepon nomor ponsel, tetapi tidak aktif.

Telapak tanganku membungkam mulut sendiri. Supaya teriakanku teredam. Kemudian, aku menangis. Gemuruh amarah, kecewa, dan benci berbaur di dada.

"Mbak Sinar, kenapa menangis?" Rahma bertanya.

Aku berpaling seraya mengusap air mata yang berjejak di pipi. "Nggak ada apa-apa ...."

Ternyata ibuku tidak hanya egois, Ibu juga tega. Tidak punya perasaan. Meninggalkan kami untuk bersenang-senang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status