Suara desahan terdengar dari kamar sebelah. Seakan menyusup pada dinding, kemudian menggema di kamar yang aku tempati. Ibuku kemarin menikah yang kelima kalinya dengan seorang lelaki bernama Agus. Lelaki tua yang mengaku sebagai juragan batik.
Aku menatap ketiga adikku yang masih terlelap. Dewa kecil yang berusia dua tahun nyenyak dalam dekapan Rahma, sedangkan Randu tidur di bawah beralaskan kasur lusuh dan tipis. Kami berempat terpaksa berbagi kamar. Biasanya aku dan Rahma tidur di kamar sebelah, kamar yang menguarkan irama menjijikkan pada pagi hari.
Perlahan kaki ini turun dari pembaringan, menyentuh ubin yang dingin. Lalu, melangkah keluar kamar. Aku tidak perlu memasak, karena ada sisa makanan pesta pernikahan. Tinggal dihangatkan.
Selesai menyiapkan sarapan yang aku tata di meja, aku bergegas mandi. Usiaku sembilan belas tahun, tetapi masih duduk di bangku kelas tiga sma. Karena sering putus sekolah.
Saat keluar dari kamar mandi, Ibu sudah berada di dapur membuat kopi. Perempuan berusia empat puluh tiga tahun itu menoleh, memandangku dengan senyum semringah. Senyum pengantin baru.
"Sinar, ibu akan berbulan madu ke Bandung. Kamu jaga adik-adikmu, ya ...." ucap Ibu dengan entengnya.
"Tapi, aku sekolah, Bu." Aku memprotes. Selama ini Ibu sering lalai sebagai orang tua, hanya memburu kesenangan sendiri.
"Cuma empat hari, bolos nggak apa-apa. Nanti ibu belikan oleh-oleh," sahut Ibu.
"Aku nggak butuh oleh-oleh, Bu!" Suaraku menggelegar.
Akan tetapi, Ibu tidak peduli. Ibu meletakkan dua lembar uang seratus ribu di meja.
"Jangan membantah, Sinar. Dua hari lag ibu akan transfer uang lewat teman ibu," pungkasnya, lantas masuk ke kamar dengan membawa secangkir kopi.
Randu yang berdiri di bibir pintu kamar berkata, "Kita gantian jaga Dewa, Mbak. Besok giliranku. Bagaimana?"
Aku mengacak rambut dengan frustasi. Ibuku memang egois. Aku berharap, Ibu tidak hamil dengan suaminya yang sekarang. Aku dan Randu satu ayah. Ayah kami meninggal saat usiaku lima tahun. Sedangkan Rahma, anak ibu dari mantan suami ketiganya. Dewa dari mantan suami keempat.
"Biar Mbak saja yang jaga Dewa, " ujarku pada Randu.
Rahma berusia sebelas tahun, sedangkan Randu enam belas tahun. Kami sering berbagi kebahagiaan, lebih sering berbagi kepahitan.
***
Sekarang hari kelima, aku sudah kehabisan uang. Persediaan beras juga habis. Beberapa kali aku menelepon dan mengirim pesan pada Ibu, tetapi ponsel Ibu tidak aktif.
Amarah mulai menguasai, dada ini terasa sesak. Janji akan mentransfer uang, hanya janji semata.
"Mbak Sinar." Dewa menarik kausku. "Mau cilok, mau jajan ...." rengeknya.
"Bentar ya, tunggu Ibu," sahutku, mengusap kepalanya dengan lembut.
Ibuku bernama Yunita, pekerjaannya tidak tentu. Apa lagi penghasilannya, kadang aku membantu Ibu dengan bekerja di rumah Bu Henny yang memproduksi bakpo. Aku sudah merasa senang karena hampir setahun, tidak ada tanda-tanda ibu dekat dengan lelaki. Namun, semua tinggal angan.
Rahma terlihat dari ujung jalan, makin lama makin dekat. Keringat membasahi dahinya, kulitnya yang putih memerah.
"Mbak Sinar, aku lapar," keluh Rahma sembari duduk di sebelahku. "Mbak masak apa?"
"Oseng tempe," jawabku.
"Ini sisa uang saku." Rahma mengulurkan uang lima ribu.
Itu bukan sisa, tapi uang saku yang masih utuh. Rahma tidak menggunakan uang saku tersebut.
"Bekal nasi goreng sudah cukup mengisi perut," lanjutnya dengan senyum lebar.
Aku memandang Rahma, hatiku terasa terenyuh. Ingin sekali membahagiakan adik-adikku.
Ponsel keluaran lama milikku berdering. Nama Ibu menari-nari di layar perangkat elektronik tersebut.
"Halo, Buk."
"Sinar, bagaimana kabarmu?"
"Baik. Ibu kapan pulang? Kenapa ponsel Ibu tidak aktif?"
Ibu tidak segera menjawab, terdengar helaan napas dari ujung sana.
"Sinar ... Ibu nggak bisa pulang."
"Apa?"
"Kamu sudah besar, bisa menggantikan Ibu merawat adik-adik."
"Buk ...."
"Ibu ingin bersenang-senang sebentar, tanpa kalian. Tanpa memikirkan kebutuhan kalian. Ibu bosan dengan kehidupan miskin," kata Ibu.
Ludahku terkelu mendengarnya.
"Sudah ya, Sinar. Jaga diri baik-baik ...."
"Nggak bisa gitu, Buk. Kami juga bosan hidup miskin! Kami nggak minta dilahirkan. Halo ... halo ...."
Aku menurunkan ponsel dari telinga. Melihat ponsel yang sudah menghitam. Ibu mematikan sambungan telepon. Aku mencoba menelepon nomor ponsel, tetapi tidak aktif.
Telapak tanganku membungkam mulut sendiri. Supaya teriakanku teredam. Kemudian, aku menangis. Gemuruh amarah, kecewa, dan benci berbaur di dada.
"Mbak Sinar, kenapa menangis?" Rahma bertanya.
Aku berpaling seraya mengusap air mata yang berjejak di pipi. "Nggak ada apa-apa ...."
Ternyata ibuku tidak hanya egois, Ibu juga tega. Tidak punya perasaan. Meninggalkan kami untuk bersenang-senang.
"Randu, Ibu tadi bilang nggak akan pulang," ucapku pada Randu yang baru pulang sekolah.Adikku itu hanya mendengkus kasar. Dia masuk ke dalam kamar tanpa bicara, tetapi raut mukanya terlihat muram. Di rumah yang kami tempati tidak ada barang berharga yang bisa dijual. Ada ponsel milikku, namun nomorku yang tergabung dalam grup WhatsApp sekolah Rahma dan Randu. Selama ini Ibu tidak mau tahu urusan sekolah anak-anaknya. Menjadi delima, haruskah aku menjual perangkat elektronik tersebut?"Rahma, Mbak mau ke rumah Bude Yani dulu, ya. Titip Dewa.""Iya, Mbak."Mau tidak mau, aku memberanikan diri meminjam uang pada saudara Ibu. Aku mempercepat langkah kaki menyusuri gang sempit, sinar jingga kemerahan berarak di batas barat. Aku mengetuk pintu kayu beberapa kali. Tidak lama berselang, Bude Yani muncul dari balik pintu. Matanya tajam menatapku."Mau apa, Sinar? Pinjem uang?"Ah, belum apa-apa aku sudah mendapatkan sambutan yang dingin. Aku membuang rasa malu sejauh mungkin."Iya, Bude. Ib
Aku memilih tidak melaporkan penganiayaan terhadap Randu. Karena tersiar kabar ketua preman-preman itu berteman dengan para pejabat. Aku yang hanya perempuan miskin lebih memilih keselamatan adik-adikku. Malam sudah cukup larut, aku masih menjahit seragam Randu yang sobek pada bagian punggung. Setiap telusuran jarum bagai menyayat hati. Aku berhenti sejenak, mengamati lampu yang sekarat, kadang menyala kadang padam. Aku memutuskan tidak meneruskan menjahit, akan kulakukan esok hari saja. Lalu, merebahkan tubuh di sebelah Rahma yang sudah terlelap. Baru memejamkan mata, mendadak tubuhku menggigil kedinginan. Selimut tipis tidak mampu menhalau rasa dingin. Rasa pusing mulai menyerang. Suhu badanku meningkat. "Aku nggak boleh sakit, nggak boleh sakit ...." lirihku gemetaran seraya meraih botol minyak kayu putih. Membaluri tengkuk, perut, dan telapak kaki, setelah itu meringkuk kembali di balik selimut. Memejamkan kedua mata, mencoba tidur.Aku terbangun ketika langit sudah biru keung
Aku membuka lemari pakaian Ibu. Tercenung sebentar, bergulat dengan keraguan. Haruskah aku membuang barang-barang yang berkaitan dengan Ibu? "Ini kardusnya, Mbak." Randu menaruh kardus cokelat berukuran besar di dekat kakiku. "Anggap saja, Ibu sudah meninggalnya ...." imbuhnya."Randu ....""Lagi pula semua pakaian itu sudah jelek-jelek. Yang bagus sudah dibawa liburan ke Bandung," ucap Randu, sinis. Dia kemudian keluar kamar.Aku menarik napas dalam-dalam. Mengembuskan satu-satu. Aku mulai memilih baju yang memang sudah tidak layak. Ada rasa terenyuh saat mendapati pakaian Ibu banyak yang robek. Namun, seketika perasaan itu lenyap. Berganti dengan perasaan kecewa karena diabaikan dan ditinggalkan.Saat memindahkan pakaian ke dalam kardus, selembar kertas jatuh di ubin. Aku merundukkan badan dan mengambilnya. Tenyata bukan kertas, melainkan foto lama. Foto keluarga.Akan tetapi, aku hanya mengenali satu orang dari empat orang yang ada di dalam foto. Itu Ayah sewaktu muda, mirip denga
"Tunggu." Aku menggapai tangannya. "Tunggu, Pak Agus ...."Lelaki itu mengibaskan tanganku dengan kasar. Wajahnya semasam cuka."Ibu mana?" tanyaku dengan napas yang terengah. "Kapan kalian--""Ibumu dan aku memutuskan berpisah, Sinar," ucap Pak Agus memotong ucapanku. "Sudah, jangan ganggu aku lagi. Ibumu masih di Bandung. Cari saja ke sana.""Pak, tahu nomor ponsel Ibu?""Ibumu gonta-ganti nomor ponsel seperti gonta-ganti suami," jawabnya sinis. "Untung aku tidak mau nikah sah, hanya siri."Aku hanya bisa memperhatikan Pak Agus yang berjalan menjauh. Makin lama makin mengecil, dan hilang ditikungan gang.Kedua kakiku pun melanjutkan langkah dengan gontai. Pertanyaan hilir mudik di kepala. Mengapa baru satu bulan sudah berpisah? Lalu, di mana keberadaan Ibu? Apakah kami berempat memang sudah dilupakan untuk selamanya?Sampai di rumah aku menurunkan Dewa. Lantas duduk di bangku panjang di teras. Meluruskan kaki yang lelah. Aku mengamati Randu yang sedang memilah barang rongsokan."Aku
"Ibu nggak pergi ke pesta?" tanyaku pada Bu Rena yang sedang membaca novel. Sebenarnya aku sedang mencari tahu jam berapa pestanya dimulai.Perempuan itu menoleh, memandangku dari balik kacamatanya. "Pesta apa, Sinar?""Oh, itu kemarin, saya dengar ada teman Ibu yang menikah," jawabku, lalu menyunggingkan senyum kaku. Pandangan Bu Rena kembali pada buku. "Malas," ujarnya singkat."Oh, karena malam ya, Bu?" Aku mengelap kaca dengan cepat. Berharap ada informasi."Pestanya siang ini. Aku lebih baik tidur, daripada datang ke pesta .... Aku tidak suka Hendi, dia agak arogan," ungkap Bu Rena. "Lagi pula kami tidak berteman."Aku tidak bertanya lagi. Menatap kaca jendela di hadapanku. Aku penasaran dengan sosok istri Hendi dan aku harus mendatangi pesta. "Sinar, ada beras lima kilo dan gula pasir di kantong plastik ungu. Ada di dapur, bawa saja kalau pulang," ucap Bu Rena."Saya bawa besok saja, Bu. Soalnya hari ini saya disuruh Bude saya mampir ke pasar, beli terigu." Aku berbohong, tida
"Aku ingin bicara dengan kalian." Ibu mendorong tubuh Rahma dengan pelan, kemudian duduk di kursi. Ibu sama sekali tidak menanyakan kabar kami. Aku melihat Ibu seperti nyonya kelas atas yang angkuh. Aku tetap berdiri, begitu pun dengan Randu, yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu kamar. Hanya Rahma yang ikut duduk."Ini untuk kalian," ucap Ibu, meletakkan amplop cokelat di atas meja. "Uang dua puluh juta. Cukup, kan?""Cukup untuk melunasi hutang Ibu," sahutku."Baguslah kalau begitu." Ibu menatapku tajam. "Sinar, jangan pernah datang ke rumah dan mengaku sebagai anakku. Aku bukan Yunita yang dulu.""Ibu datang hanya untuk mengatakan itu?" Aku mengusap air mata yang jatuh di pipi."Ya. Karena aku sudah punya kehidupan baru." Ibu beranjak dari kursi. "Aku pergi dulu.""Pergi dan jangan pernah kembali, Bu!" Aku beteriak keras, menggema di ruangan sempit.Ibu keluar rumah seolah tanpa beban dan rasa bersalah. Rahma berlari menyusul Ibu. "Rahma!" panggilku, tetapi Rahma tidak
Aku menaruh uang sejumlah lima belas juta di atas meja. Bu Kumala mengambilnya dan mulai menghitung uang. Selesai menghitung uang, Bu Kumala mengembalikan sertifikat rumah. "Aku dengar, ibumu sudah menikah dengan orang kaya," ucapnya."Saya nggak tahu tentang itu," sahutku, mendekap sertifikat rumah."Mungkin, keinginan ibumu sudah terwujud, Sinar. Yakni menikah dengan pria kaya raya," imbuh Bu Kumala. "Ibumu akan berhenti berburu kali ini."Kata-kata Bu Kumala cukup menyakitkan, seolah ibu sedang mencari mangsa. Tetapi, kenyataannya memang seperti itu."Sungguh disayangkan, Yuni mengabaikan kalian. Semoga kalian berempat menjadi anak-anak yang sukses.""Aamiin. Saya permisi dulu, Bu."Aku bergegas melangkah keluar dari rumah besar Bu Kumala. Menyeberangi jalan besar, kemudian menyusuri gang.Seperti biasa, Randu berada di teras rumah. Berkutat dengan barang-barang bekas. Dewa kecil ikut membantu kakaknya, walaupun sering salah."Randu ...."Randu menoleh, dia memandang sertifikat ru
Aku meregangkan tubuh yang terasa lelah sekali seusai mengangkat perabot katering ke dalam mobil box. Dan, yang paling aku tunggu adalah upah yang diberikan pada waktu terakhir. Waktu sudah bergeser cukup larut saat semua pekerjaan selesai. Aku menyempatkan duduk di kursi taman untuk istirahat sejenak. Mengganti sepatu kebesaran dengan sandal jepit. "Kenapa kamu masih di sini? Tuh, yang lain sudah pada pulang." Aku menoleh. "Eh, Nyonya lagi ... ini juga mau pulang," sahutku seraya memasukkan sepatu ke kantong plastik. "Aku akan memberikan uang, tetapi jangan muncul dihadapanku," pinta Ibu dengan arogan. "Uang?" Aku beranjak dari duduk, berdiri berhadapan dengan Ibu. "Saya nggak butuh uang dari Anda, Nyonya. Terima kasih banyak. Satu lagi, jangan mengatur saya." "Dengan uang kita bisa mendapatkan apa pun, Sinar." "Dan, uang juga bisa membuat nurani seorang Ibu terbakar. Menyisakan ketamakan." "Keras kepala." Geram Ibu. "Aku bisa mencukupi kehidupan kalian, Sinar. Kamu nggak usa