Share

Bab 2 Rapuh

"Randu, Ibu tadi bilang nggak akan pulang," ucapku pada Randu yang baru pulang sekolah.

Adikku itu hanya mendengkus kasar. Dia masuk ke dalam kamar tanpa bicara, tetapi raut mukanya terlihat muram. 

Di rumah yang kami tempati tidak ada barang berharga yang bisa dijual. Ada ponsel milikku, namun nomorku yang tergabung dalam grup W******p sekolah Rahma dan Randu. Selama ini Ibu tidak mau tahu urusan sekolah anak-anaknya. Menjadi delima, haruskah aku menjual perangkat elektronik tersebut?

"Rahma, Mbak mau ke rumah Bude Yani dulu, ya. Titip Dewa."

"Iya, Mbak."

Mau tidak mau, aku memberanikan diri meminjam uang pada saudara Ibu. Aku mempercepat langkah kaki menyusuri gang sempit, sinar jingga kemerahan berarak di batas barat. 

Aku mengetuk pintu kayu beberapa kali. Tidak lama berselang, Bude Yani muncul dari balik pintu. Matanya tajam menatapku.

"Mau apa, Sinar? Pinjem uang?"

Ah, belum apa-apa aku sudah mendapatkan sambutan yang dingin. Aku membuang rasa malu sejauh mungkin.

"Iya, Bude. Ibuk pergi, katanya nggak akan pulang ... aku mau pinjam tiga puluh ribu," jawabku, gugup.

Perempuan paruh baya yang mengenakan daster motif bunga itu bersedekap. "Ibumu bisa buat pesta pernikahan. Uang dari mana?"

"Aku nggak tahu, Bude. Mungkin uang dari Pak Agus."

"Yuni itu memang gatel, doyan kawin cerai. Keluarga kalian hanya menyusahkan saja. Budemu ini juga orang ndak mampu, Sinar ...."

Aku tidak tahu harus berkata apa, aku akui selama ini Ibu juga sering meminta bantuan Bude Yani.

"Tunggu di situ."

"Iya."

Bude Yani masuk ke rumah, dia keluar lagi dengan membawa kantung plastik putih.

"Ini ada pepaya muda dan tahu. Dan, uang lima puluh ribu." Bude Yani mengulurkan uang dan kantong plastik.

"Terima kasih, Bude."

"Ibumu beneran minggat?"

Aku menganggukkan kepala. "Nomor ponselnya nggak aktif. Jadi, Ibu memang nggak akan pulang."

"Dasar gendeng Ibumu. Otaknya perlu dicelupi ke api," komentar Bude Yani, yang terlihat sangat geram. "Ya, sudah pulang sana."

"Iya, Bude. Terima kasih banyak."

Aku berjalan pulang ke rumah, sambil berpikir mencari pekerjaan. Tetapi, aku bingung dengan Dewa. Mana ada bekerja boleh bawa anak.

Dari arah berlawanan, aku melihat temannya Ibu yang bernama Mbak Narsih. Ini kesempatanku bertanya tentang Pak Agus.

"Sinar, Ibumu lama nggak kelihatan. Belum pulang dari Bandung?" tanya Mbak Narsih begitu jarak kami dekat.

"Ibu nggak akan pulang, Mbak."

"Maksudmu apa, Sinar?"

"Ibu pamitan nggak mau pulang. Ibu ingin bebas dari anak-anaknya," jelasku. "Mbak Narsih tahu tempat tinggal Pak Agus dan nomor ponselnya?"

"Wah, aku nggak tahu. Ibumu nggak pernah cerita tentang Agus. Aku duluan ya, Sinar ...."

Aku hanya mengulas senyum. Menghela napas panjang. Ibu kenal dengan Pak Agus sekitar dua bulan, kemudian memutuskan menikah. Aku pun tidak begitu kenal dengan lelaki berambut gondrong itu.

***

Randu menolak uang saku yang aku berikan. Sejak dua hari yang lalu, Randu jarang bicara. Dia pulang sekolah ketika hari beranjak gelap.

Selama dua hari pula aku menjadi buruh cuci, pekerjaan yang tidak perlu meninggalkan Dewa. Ada beberapa tetangga yang mau menggunakan jasaku di tengah laundry modern. Mungkin karena kasihan, karena berita Ibu tidak pulang sudah berkembang di seluruh gang-gang. Siapa yang tidak kenal dengan Yunita yang sering kawin cerai.

Siang ini, Bu Erna memintaku membersihkan halaman rumahnya yang luas. Rumput-rumput liar terlihat tumbuh subur.

"Dewa duduk di sini. Mbak mau bersihin rumput," ucapku seraya mengacak rambut Dewa. Bocah kecil itu mengangguk-anggukan kepalanya.

Aku tidak memedulikan terik matahari yang membakar kulit. Keringat membasahi pada kening, pelipis, leher, dan punggung. Aku mengedarkan pandangan, tinggal di ujung halaman. Dan, akan selesai sebelum sore.

Aku beristirahat sebentar, duduk di sebelah Dewa yang sedang coret-coret di atas buku. Fokusku teralih pada ponsel yang berbunyi lirih. Satu pesan masuk.

[Selamat siang, Ibu Yuni. Apa Ananda Randu dalam kondisi sehat? Karena hari ini tidak masuk sekolah.]

Randu tadi pagi pergi sekolah seperti biasanya. Dan, aku tidak tahu harus membalas apa.

Aku bergegas menyelesaikan pekerjaan. Upah sebesar enam puluh ribu aku terima dari Bu Erna. Perempuan itu juga memberikan dua kemasan biskuit pada Dewa. Yang tidak aku sukai adalah tatapan Bu Erna yang menyiratkan rasa kasihan. 

Tepat pukul empat sore aku sampai di rumah. Rahma sudah pulang sekolah, dia sedang mencuci piring di belakang. Kemudian dia berpamitan belajar kelompok di rumah Ayu.

Dengan perasaan khawatir, aku menunggu kepulangan Randu. Mengapa dia bolos sekolah? 

"Sinar!" Seseorang memanggilku.

Lekas aku berlari keluar. Ternyata Mbak Narsih.

"Randu dige bu ki orang. Di parkiran toko kue Danisa."

Aku berlari ke tempat yang dikatakan Mbak Narsih dengan menggendong Dewa di belakang. Napasku terengah-engah saat sampai di dekat toko kue. Aku melihat Randu yang babak belur, berjalan ke arahku. 

Saat aku bertanya mengapa ada orang yang menghajarnya, dia hanya diam. Berjalan terpincang-pincang melewatiku.

"Randu, apa yang terjadi ...?" Pertanyaanku hanya bagai angin lalu. Dan, aku hanya bisa berjalan di belakangnya. Menatap punggung kurus itu. Menatap kausnya yang sobek. 

Akan tetapi, begitu sampai di rumah. Aku mencecarnya dengan pertanyaan yang sama.

"Kamu bolos sekolah, kan ...?" Aku menurunkan tubuh Dewa.

Randu melempar tas ranselnya dengan kasar. Matanya tajam menusuk. Dia bercerita seharian menjadi tukang parkir, namun ada yang tidak suka dengan kehadirannya, yang dianggap mengambil lahan parkir orang lain.

"Aku ingin punya ponsel, Mbak. Aku ingin membantumu. Aku kasihan denganmu!" teriaknya. "Untuk apa sekolah, nggak penting."

"Randu, dengarkan aku ... biar aku yang putus sekolah tapi tidak denganmu dan Rahma. Kalian harus tetap sekolah!"

"Mbak Sinar, aku kasihan denganmu yang ke sana kemari mencari pekerjaan ...."

"Aku nggak apa-apa. Demi kalian. Kalian harus jadi orang sukses." Aku menangkup kedua pipi Randu yang lebam. "Ya? Berjanjilah tetap sekolah."

Randu menangis, aku paham mengapa dia bersedih. Di usia enam belas tahun, dia tidak punya ponsel. Bajunya itu itu saja, sepatunya pun sudah robek bagian depan.

"Jangan menyerah, Randu. Kita bisa melewatinya. Kita pasti bisa, Dek ...."

Aku menahan air mata yang hendak jatuh. Aku menyemangati Randu, tetapi aku sendiri sangat rapuh. Retak di setiap pembuluh nadi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ibunya egois.mementingkan diri sendiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status