Pagi itu, Naya Savira memutuskan untuk sarapan di warung Bu Tatik yang kebetulan dekat rumahnya. Tempat ini sudah lama menjadi pilihan langganan ayahnya, tempat mereka sering mampir meski dalam keadaan keuangan yang tak selalu stabil.
"Eh, Naya! “Mau ngelunasin hutang yang menumpuk apa, Nak?” tanya pemilik warung dengan sinis, sambil memandang Naya yang sedang menyusun uang di meja.
Seketika, wajah Naya berubah mendung. " Ya, Saya kesini ingin bayar hutang, Bu! Ini uang hasil kerja keras saya, dan juga buat ayah kalau nanti makan di sini!" kata Naya, dengan nada sedikit geram, menunjukkan beberapa lembar uang.
"Uang hasil kerja keras? Kerja keras dari mana? Nanti kalau sudah sukses, bilang saja," cibir pemilik warung itu.
"Nanti kalau saya punya suami orang kaya, saya borong warung ibu kalau bisa ya aku beli tanah ples warung ibu biar gak bisa jualan lagi," jawab Naya sambil setengah bercanda, menyembunyikan rasa kesalnya.
Pemilik warung hanya mencibir, tapi Naya tetap melanjutkan makan pagi dengan cepat, siap untuk kembali ke tugasnya.
Setelah selesai sarapan, Naya segera menuju rumah Raka Wijaya, majikannya. Hari itu, dia kembali untuk mengasuh putri kecil Raka, Chelly. Dia sudah merasa kenyang, namun hatinya masih penuh pertanyaan tentang apa yang akan dia hadapi di rumah besar itu.
"Pak Raka belum berangkat kerja?" tanya Naya, saat melihat Raka sedang duduk sambil memangku Chelly.
"Bagaimana mungkin? Saya mau siap-siap saja ditangisi Chelly. Gak tega lihat nya kalau terus-terusan nangis kalau aku tinggal. Lagipula, kamu baru datang, dan saya pikir kamu lebih baik tinggal di sini untuk menjaga putri saya setiap saat!" jawab Raka dengan nada datar.
Naya sedikit terkekeh. "Terus bagaimana dengan Ayah saya gak ada yang masakin, Pak," jawabnya.
"Emang Ibumu kemana?" tanya Raka.
"Ibu ku, sudah meninggal 5 tahun yang lalu karena sakit keras, Pak," jawab Naya singkat namun terlihat sedih.
Raka terdiam, hanya bisa mengangguk, dan akhirnya menyerahkan Chelly pada Naya. Mau bersiap-siap ujarnya sambil beranjak.
Naya pun mulai merawat Chelly dengan penuh perhatian. Namun, saat Raka sudah keluar dari ruangan, Naya memanggilnya kembali.
"Pak, soal waktu itu berarti…" Naya memulai.
"Kenapa?" tanya Raka, tampak sedikit bingung.
"Bapak dulu pasti sering selingkuh, ya?" tanya Naya dengan nada yang tidak begitu yakin, tetapi serius.
Raka menatapnya dengan heran. "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"
"Tapi kata orang pria yang memiliki dada berbulu itu cenderung suka peselingkuh. Bahaya loh, Pak!" Naya melanjutkan dengan khawatir.
Raka hanya terkekeh. "Kenapa kamu berpikir seperti itu?" katanya, lalu pergi tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
Naya hanya bisa merenung. "Ish, jawab dong, Pak!" gerutunya.
Chelly yang sedang digendong Naya malah tertawa, seakan ikut menikmati ketegangan yang terjadi di sekitar mereka.
"Senang sekali kamu tertawa, Nak. Semoga kelak kamu gak jadi seperti ayahmu jutek sekali orang nya," Naya bergumam sambil tersenyum lemah.
Di sisi lain, Raka yang berada di ruang kerjanya, entah mengapa merasa tidak nyaman.
Tiba-tiba, seorang wanita bahkan masuk dengan senyum menggoda.
Dia mengenal wanita itu! Maria Merta, seorang supermodel terkenal yang juga menjadi bagian dari masa lalunya.
"Maria…" ucap Raka terkejut.
"Apa kabar, Raka? Aku sangat merindukanmu!" ucap Maria dengan suara manja.
Wajah Raka tampak canggung, risih dan ia cepat-cepat bertanya. "Ada apa kamu datang ke sini mencari ku?"
Maria tidak langsung menjawab, sebaliknya hanya mengelus punggung Raka. "Aku pikir sudah waktunya aku kembali. Aku butuh seseorang, dan aku pikir, seseorang itu ada di kamu. Ayo kita kembali bersama!"
Raka terdiam. Hatinya masih diliputi kebingungannya. Setelah pernikahannya yang dulu berakhir tragis, Maria adalah satu-satunya wanita yang pernah membuatnya menangis. Sekarang, dia kembali datang ke hidupnya, menawarkan kemungkinan untuk kembali bersama?
"Aku masih mencintaimu, Raka," ucap Maria dengan penuh penyesalan.
Raka menghela napas. "Aku bukan seperti dulu lagi. Sekarang, aku sudah punya keluarga. Aku seorang ayah, dan itu bukan hidup yang kamu inginkan, Maria."
Maria memandangnya dengan tatapan lembut. "Aku tak peduli dengan itu semua, Raka. Kebahagiaan itu cuma ada di sini, bersamamu. Aku ingin kembali, dan aku rasa kamu pun masih mencintaiku."
Raka menunduk, perasaannya bercampur aduk.
Cinta pertama memang tidak mudah untuk dilupakan, tapi saat ini, ia sudah berbeda. Ia tidak bisa kembali ke masa lalu.
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."