Yasmin bersimpuh di hadapan Bram. Kenyataan ini terlalu kejam untuk diterima.
Semantara dia berusaha bernapas di antara isak tangis yang tidak terbendung, Bram justru begitu mudah melangkah, melenggang pergi kembali ke ruang tamu.
Sarah meraih rambut Yasmin, menariknya kuat hingga wanita itu mendongak. “Dengar, Yasmin, jangan pernah ganggu Bram lagi! Kamu itu cuma rumput liar yang menghambat bunga untuk tumbuh!"
"Bu—"
"Aku bukan Ibumu!" sentak Sarah, lalu menyeret Yasmin secara paksa keluar dari rumah.
Ketika Sarah hendak menutup pintu, Yasmin mencoba menahan, tetapi raganya terlalu lemah.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Perlahan, Yasmin dengan wajah memerah karena tidak berhenti menangis sedari tadi, menyeret kakinya menjauh dari rumah mantan suami. Langkahnya tertatih di trotoar yang semalam menjadi saksi perjuangan menyelamatkan bayinya.
Beberapa orang melintas, menatapnya sesaat lalu berlalu pergi. Semua mengabaikannya. Dunia benar-benar tidak peduli pada keberadaannya.
Tiba-tiba, tubuh Yasmin melemas dan jatuh di trotoar. Dia merasa dadanya begitu sesak, hingga memukul-mukulnya sambil terus menangis. Di saat itulah, Yasmin menyadari jika baju di bagian dadanya basah.
Rembesan ASI yang tidak diminum sang anak yang sudah tiada tercetak jelas di sana. "Nak, lihat… ini ASI Bunda banyak untuk kamu," lirihnya, semakin histeris bagai orang gila. "Untuk apa ASI ini, Nak, kalau kamu aja ninggalin Bunda?"
Entah berapa lama Yasmin meratapi kemalangan yang bertubi. Dadanya yang semula sesak oleh peristiwa pahit, perlahan terasa lebih ringan.
Tidak tahu tempat yang akan dituju, tidak punya tempat untuk bermalam… satu-satunya tempat yang ada di pikiran Yasmin adalah makam sang anak.
Namun, saat Yasmin mencoba menyeberang jalan, pandangannya yang buram membuat dia tidak waspada. Lampu hijau untuk penyebarang telah berubah merah. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil sedang melaju kencang.
Tadinya, Yasmin sudah pasrah jika tubuh ringkihnya dihajar mobil itu. Namun, saat dia membuka mata, ternyata mobil itu berhenti tepat di dekatnya. Bukan menyingkir, dia justru kembali meluruh di depan mobil itu.
“Kenapa Engkau tidak membiarkan aku mati, Tuhan….” protes Yasmin disertai derai air mata.
Orang-orang mulai melihat ke arahnya. Sekarang, Yasmin sudah benar-benar seperti orang gila yang mencoba mengakhiri hidupnya.
“Astaga! Kamu… baik-baik saja?” Seorang wanita turun dari mobil yang nyaris menabrak Yasmin, dan menghampirinya.
Yasmin spontan menggeleng. “Tabrak aja saya, Bu. Nggak ada gunanya lagi saya hidup di dunia ini….” Air mata Yasmin kembali berjatuhan.
"Apa yang kamu bicarakan?" Wanita itu berjongkok di hadapan Yasmin. Wajahnya sarat kemarahan, tetapi tangannya dengan lembut menggenggam tangan Yasmin yang dingin. "Kamu tidak boleh bicara seperti itu."
Wanita itu juga memapah tubuh lemah Yasmin untuk memasuki mobilnya. Ketika itulah, dia menyadari ada noda darah di baju Yasmin, persis di atas luka operasinya.
“Siapa namamu?” tanya sang wanita. Wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir. “Kamu baru saja menjalani operasi? Perutmu berdarah, kamu harus diobati!”
Lagi, Yasmin menggeleng. “Biarin aja, Bu. Biarin luka ini membusuk karena infeksi, agar saya bisa menyusul anak saya. Anak saya… satu-satunya harapan saya hidup sudah nggak ada.”
Wanita itu berdecak mendengar ucapan Yasmin. “Aku turut berduka untuk kehilanganmu, tapi, aku tidak bisa membiarkanmu begini.” Dia kemudian berbicara pada sopirnya, “Ke rumah sakit, Pak!”
Yasmin menolak, akan tetapi mobil itu tetap melaju sebagaimana perintah wanita yang menolongnya.
Lalu, ketika mobil itu sampai di sebuah rumah sakit yang tidak lain adalah tempat dia melahirkan sang anak… Yasmin kembali bersuara, “Bu, saya… tidak punya uang.”
Wanita itu menoleh cepat ke arah Yasmin dengan pandangan iba. "Aku Dokter Samantha. Tenanglah, aku yang akan mengobati kamu!"
Samantha pun membawa Yasmin segera memasuki ruang periksanya. Selama Samantha mengobati dan bahkan menjahit ulang luka operasi Yasmin, wanita itu tidak bereaksi. Yasmin hanya memandang kosong pada dinding rumah sakit.
“Siapa namamu?” ulang Samantha, mencoba mendistraksi.
“Yasmin, Dokter,” sahut Yasmin dengan lemah.
Samantha mengangguk samar, lalu membuka seluruh APD-nya ketika usai mengobati Yasmin. “Aku tau kehilangan itu berat, Yasmin. Apalagi, kehilangan anak. Tapi, menyusulnya juga bukan solusi. Aku yakin, bayimu pasti sedih jika melihat ibunya seperti ini. Yang dia inginkan, ibunya tetap hidup, berjuang!"
Yasmin menoleh dan menatap Samantha dalam diam. Akal sehatnya membenarkan ucapan itu, tetapi dia tidak merespons apa pun.
“Kamu harus dirawat dulu beberapa hari, memastikan lukamu kering.” Samantha lalu membantu Yasmin untuk duduk di kursi roda, dan mendorong kursi itu ke ruang perawatan.
Saat melewati ruang NICU, tempat bayi-bayi yang butuh observasi lebih lanjut, Yasmin memanjangkan lehernya.
Dia masih membayangkan jika anaknya ada di sana… menunggu bundanya menjenguk dan memberinya ASI.
Samantha menunjuk salah satu inkubator yang berisi dua bayi. "Bayi kembar itu anak keponakanku," ujar Samantha, suaranya dipenuhi kepedihan. "Mereka lahir prematur di usia 28 minggu. Mereka butuh donor ASI untuk bertahan, karena memiliki alergi susu sapi.”
Seketika, Yasmin menoleh ke arah Samantha. “Umm … ibunya?” tanya Yasmin dengan hati-hati.
“Ibunya meninggal akibat komplikasi.” Ucapan Samantha membuat dada Yasmin tersayat-sayat.
Yasmin memandang pilu bayi-bayi itu. Nasibnya dan nasib bayi kembar itu sama. Mereka kehilangan cahaya hidup. Bedanya, Yasmin telah diberi akal untuk bisa bertahan… sementara dua bayi malang itu belum mengerti apa pun.
"Dokter …," panggil Yasmin dengan suara gemetar. "Apa aku … bisa bantu mereka? M-maksudku, bolehkah aku menyusui bayi-bayi itu?"
Setelah ASI-nya dipastikan cocok, Yasmin dibawa ke ruang NICU. Dia menatap bayi kembar yang terbaring di dalam inkubator. Tubuh mereka lebih kecil di antara bayi lainnya. Napas tersengal, dan kulit transparan dengan urat-urat halus terlihat samar. ASI Yasmin telah diperah. Perawat juga telah memasukkan ASI tersebut ke dalam selang. Saat cairan hangat itu masuk, gerakan bayi yang semula gelisah, perlahan melemah dan napasnya lebih tenang. Yasmin menempelkan jarinya ke kaca inkubator, "Minumlah, Nak. Bunda di sini." Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan. "Sedang apa kamu di sini?!" Yasmin terlonjak. Dia menoleh dengan mata membesar. Tepat di belakangnya, berdiri seorang pria dengan tatapan tajam dan ekspresi dingin. Seketika Yasmin menegang dan bertanya dalam hati, ‘Siapa dia?’Tatapan pria di hadapannya begitu tajam dan intimidatif, bagai katana yang menusuk tanpa ampun. Membuat udara dalam ruangan terasa berat dan menekan dada Yasmin hingga napasnya terasa sesak."Kenapa diam
“Apa kamu sengaja melakukannya?!” sarkas Barra sembari melempar tatapan tajam. Seketika Yasmin mendongak dengan mata menyipit. Dia terlalu fokus menyusui dua bayi kembar dalam dekapannya untuk memahami maksud pria itu. “Apa maksud, Bapak?” tanyanya dengan suara sangat pelan, khawatir mengganggu dua bayi yang mulai terlelap. Barra menyeringai sinis. Jari telunjuk pria itu terangkat dan menunjuk langsung ke bagian dada Yasmin yang sedikit terbuka. Meskipun begitu, manik cokelatnya tidak berpindah fokus. “Bukankah itu trik murahan? ” Yasmin seketika menunduk, tetapi dia tidak bisa menutupi bagian dadanya karena kedua tangannya sedang menopang tubuh mungil bayi-bayi itu. Kata-kata Barra sungguh menusuk telinganya seperti duri yang mencabik kepercayaan dirinya. Demi Tuhan, tidak pernah terlintas sedikit pun niat buruk seperti yang dituduhkan pria itu. Bahkan ketika dia menyadari siapa ayah dari bayi kembar ini. “Maaf, Pak,” cicit Yasmin, berusaha menahan suaranya. Barra tidak meresp
Pagi itu, Yasmin terbangun lebih awal untuk memerah ASI. Dia melakukannya dengan sepenuh hati, memperhatikan setiap tetes yang mengalir ke dalam botol kaca. Namun, di saat botol kaca hampir penuh, tangannya mulai gemetar dan pandangan wanita itu sedikit kabur, serta tubuhnya terasa limbung.“Hampir saja …,” lirihnya ketika botol itu hampir terlepas dari genggamannya.Setelah beberapa hari menjadi ibu susu Boy dan Cleo, tenaga Yasmin nyaris terkuras habis. Rasa lapar selalu menguasai perutnya dengan kejam. Dia berniat membawa ASI itu ke NICU sebelum arapan.Atas permintaan Barra, Yasmin masih ditempatkan di kamar rawat rumah sakit itu.Akan tetapi, saat melangkah gontai di lorong panjang, mata hitamnya menangkap sosok yang membuat jantungnya mencelos.Langkahnya terhenti. Nafasnya tercekat. Tangannya meremas tas berisi botol ASI, seolah itu bisa menjadi perisai dari luka lama yang kembali menganga.“Heh! Kamu Yasmin &
Yasmin membuka mata perlahan. Kepalanya berdenyut dan tubuhnya terasa begitu hampa. Pandangan wanita itu masih buram saat dia mencoba memindai sekeliling ruangan.Tangan kanan Yasmin terasa perih, tetapi saat matanya mulai fokus, dia melihat perban yang kini melilit luka di sana.“Akhirnya sadar juga.”Suara berat itu terdengar sinis di sampingnya. Yasmin sontak menoleh dan mendapati Barra berdiri di sisi ranjang.Mata pria itu tajam dan dingin seperti sebelumnya, tetapi Yasmin melihat ada sesuatu yang lain kali ini, kerah kemeja putih Barra bernoda darah.Jantung Yasmin berdegup lebih cepat.Darah? Apakah itu darahnya? Atau … darah siapa? Teris kenapa Barra tidak membersihkannya? Kenapa pria itu terlihat begitu tenang dengan noda merah di bajunya? Berbagai pertanyaan berputar di benak wanita itu, tetapi dia tidak berani mengucapkannya.“Maaf … dan makasih, ya, Pak. Sudah bantu saya,” ucap Yasmin lirih, suaranya benar-benar tenggelam dalam ketegangan yang memenuhi atmosfer ruangan ini
Yasmin meringis merasakan cengkeraman itu tambah kuat, bahkan kuku-kuku tajam seseorang di hadapannya menekan kulitnya hingga nyeri. Jantung Yasmin berdegup kencang dan napasnya tercekat. Ketika mendapat tatapan begitu menusuk, seakan-akan menguliti dirinya dari atas ke bawah.“Maaf, Ibu siapa? Kenapa memegang tangan saya seperti ini?” Yasmin berusaha mengendalikan suaranya, meskipun bergetar karena ketakutan yang tidak bisa dia sembunyikan.Wanita itu mendecakkan lidah, seolah mendengar pertanyaan yang menggelikan. “Ada apa kamu menemui Boy dan Cleo? Apa kamu mau menculik mereka?”Jantung Yasmin seolah berhenti berdetak. Apa … yang baru saja dia dengar? Tenggorokannya terasa kering, kosakatanya mendadak menghilang. Tidak Barra, tidak orang ini sama-sama menuduhnya.Wanita itu masih menatap Yasmin dengan sorot mencemooh, seolah Yasmin hanyalah seseorang yang tidak pantas berada di dekat bayi kembar itu. “Kamu tidak bisa mengelak? Karena yang aku bilang memang benar.” Wanita itu meny
“Apa kamu tidak waras, hem?”Suara berat itu merasuk tajam ke dalam telinga Yasmin, mengguncang kesadarannya. Tubuh wanita itu seketika kaku, dan udara terasa makin dingin menusuk kulit. Kata-kata itu terdengar familiar, tetapi … ada sesuatu yang berbeda kali ini. Aroma parfum asing menguar, menusuk indera penciumannya.Yasmin mengerjap, mata bulatnya yang masih setengah sadar menatap sosok tinggi menjulang di hadapannya. Tidak! Ini salah!Seingatnya, Bram tidak setinggi ini. Bram juga jarang sekali memakai celana bahan hitam pekat seperti pria ini.Jantung Yasmin berdetak tambah kencang. Ada yang tidak beres. Dengan perasaan waswas, dia mendongak … dan langsung bertemu dengan tatapan dingin sepasang mata cokelat.“P—Pak Bara?” gumamnya dengan bibir gemetar.Seolah-olah ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras, membuat napas Yasmin tercekat. Ini bukan Bram! Ini … Bara, dan dia baru saja mempermalukan dirinya sendiri.Untuk beberapa saat, Yasmin hanya bergeming, pikirannya mas
"Selamat, Boy dan Cleo sudah cukup kuat untuk pulang."Suara lembut Dokter Samantha seharusnya membawa kebahagiaan, tetapi bagi Yasmin, kata-kata itu justru terasa menyesakkan.Dia menatap bayi kembar yang terlelap damai dalam inkubator. Mereka terlihat sehat, lebih berisi setelah sebulan ini menyusu darinya setiap hari. Namun, satu hal kini menghantam kesadarannya.Mereka akan pulang. Maka itu berarti … dia harus ikut.Dada Yasmin berdebar kencang. Dia menoleh ke arah Barra yang berdiri tepat di sampingnya, berharap pria itu memberinya pilihan terbaik. Namun, yang dia temukan hanyalah tatapan dingin dan perintah singkat.“Kamu ikut!”Ucapan itu menunjukkan bahwa Yasmin tidak memiliki ruang untuk menolak. Bahkan ketika Boy dan Cleo digendong oleh babysitter, Yasmin hanya bisa mengawasi dengan cermat, memastikan mereka nyaman.“Tugasmu hanya menyusui mereka, bukan merawat mereka!” tegas Barra lagi, lalu b
Cindy menunduk sambil menyeka air matanya, tetapi Yasmin bisa melihat ada senyum kemenangan tersungging di wajah wanita itu.Mungkinkah ini sebuah pertanda bahwa dia harus pergi? Pengakuan Cindy benar-benar memojokkannya.Saat Yasmin berjalan di belakang Barra, dan hendak masuk ke dalam ruangan, Cindy menatapnya intens dengan seringai halus, jemari panjang yang dihiasi kuku cantik melambai anggun.“Cepat, Yasmin!” perintah Barra, suaranya tajam.Yasmin buru-buru melangkah masuk, tetapi rasa dingin yang menjalar di tengkuknya tak kunjung hilang.Di dalam ruangan, Yasmin berdiri kaku di hadapan Barra. Jantungnya berdetak begitu kencang, mungkin saja pria itu bisa mendengarnya.Tatapan Barra kosong. Dingin. Tak terbaca.Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. "Nomor rekeningmu."Yasmin membelalak. Seolah-olah baru saja mendengar sesuatu yang tidak masuk akal.“Maksud Bapak apa, ya?” tanyanya dengan hati-hati, bersiap dimarahi kapan saja.“Gaji untukmu,” ujar Barra datar, jemarinya saling
Belum juga reda sesak di dada akibat mengetahui penyebab kematian sang istri, kini Barra kembali dikejutkan oleh satu berkas yang sempat dia minta beberapa waktu lalu. Dia mendesah lelah, menyandarkan tubuh ke kursi kerja. Kesibukan menangani kasus Yasmin, ditambah tumpukan perkara dari klien-klien lain, membuatnya abai. Rekam medis itu seharusnya sudah dia buka sejak dulu.Tanpa sengaja, saat emosi melanda, berkas itu terbuka. Barra hampir menutupnya, tetapi kalimat di halaman pertama membuat alisnya bertaut dan rasa ingin tahunya terpacu. Mau tidak mau, dia membaca lebih rinci.Mata cokelatnya bergerak cepat dan cemas mengikuti baris demi baris catatan medis.Barra mendengkus. “Pantas saja dia tega bunuh Berliana,” gumamnya penuh amarah. “Mereka bukan saudara kandung .…”Di situ tertulis jelas, Cindy tidak memiliki hubungan darah langsung dengan Berliana. Fakta itu menghantam Barra bagai palu godam. Tidak hanya itu, dia juga menemukan catatan bahwa delapan tahun lalu, Cindy pernah m
Yasmin berjalan mondar-mandir di teras rumah. Setelah makan malam dan menyusui si kembar hingga mereka terlelap, perasaannya makin tak menentu. Barra—pria itu—tak kunjung pulang. Entah apa yang terjadi. Menghubungi Barra percuma saja, sebab tidak pernah diangkat. Pesan-pesan yang dikirim ke Bahtiar pun sama, tidak ada balasan."Apa dia baik-baik saja?" gumam Yasmin. Tatapannya berkali-kali tertuju ke arah pintu pagar yang tertutup rapat. Dia menanti, dalam dingin yang makin menusuk kulit seiring malam tambah larut.Kezia sudah beberapa kali keluar, membujuk agar Yasmin masuk. Namun, Yasmin bergeming. Seolah tubuhnya terpaku di teras itu, sulit beranjak, menunggu kehadiran seseorang.Akhirnya, pukul sebelas malam, pagar tinggi di depan rumah bergeser pelan, bergerak terbuka. Lampu sorot dari mobil perlahan menyapu halaman. Yasmin menahan napas, berharap yang datang adalah Barra.Benar. Rubicon putih itu masuk dan berhenti tepat di hadapan Yasmin. Namun, alih-alih lega, matanya membulat
“Mas yakin mau pergi sendirian?” tanya Yasmin, tepat saat Barra membuka pintu mobil untuknya, mempersilakan wanita itu turun.Setelah mengetahui beberapa fakta menarik tentang Cindy, pria itu memutuskan mengantar Yasmin pulang sebelum menuju kantor polisi.“Ya. Kamu tunggu di rumah. Main saja sama anak-anak,” kata Barra yang mencoba mengukir senyum. Meskipun Yasmin tahu pria itu sedang menahan sesuatu, tetapi demi menenangkan hati sang wanita, dia memaksakannya.Yasmin mengangguk perlahan. Keputusan Barra itu tidak bisa diganggu gugat.Sebelum pergi, pria itu merangkum lembut pipi Yasmin, lalu melabuhkan kecupan dalam di kening wanita itu. Ibu jarinya membelai pipi sang wanita dengan pelan.“Hati-hati, Mas. Umm … jangan sampai terpancing emosi,” pesan Yasmin, intonasinya lirih dan mengandung kecemasan. Namun, Barra tidak menanggapi.Pria itu langsung berlalu setelah mengecup kening Yasmin. Rubicon putihnya melaju dengan cepat, membuat sang wanita dilanda kegelisahan.Bahkan dia menghu
“Eh, aku pikir Mas Barra mau pulang duluan,” ucap Yasmin sambil tersenyum lebar, deretan gigi putihnya tampak jelas.Barra tidak membalas. Hanya desisan kecil terdengar dari mulutnya, dan rahangnya mengeras. Tatapan tajam bagai elang menyapu sekeliling Yasmin, seolah mencari seseorang yang bersembunyi.“Di mana Bagas? Tadi kamu sempat menyapanya?” tanya Barra dengan intonasi tajam. Dia melangkah makin dekat hingga Yasmin reflek mundur setapak. Senyumnya perlahan memudar, berganti raut gugup.Yasmin menggeleng pelan. “Ti—tidak,” jawabnya singkat.Tatapan Barra makin tajam. “Kamu bohong?” gumam pria itu, tetapi agak menekan. Napas yang diembuskan terdengar kasar, dan tanpa aba-aba, tangannya mencengkeram pergelangan tangan Yasmin. Lalu menyeretnya keluar menuju area parkir.“Umm … maaf, Mas. Aku cuma tidak suka Mas Barra kelihatan cuek kayak tadi,” suara Yasmin lirih, dia mencoba menenangkan suasana. “Aku minta maaf, ya. Aku tahu aku salah.”Barra hanya menggumam singkat, “Hmm.” Lalu di
“Aku juga,” ungkap Barra sambil menoleh sejenak pada Yasmin.Jawaban yang tak terduga itu membuat jantung Yasmin berdebar tidak keruan. Napasnya tersendat, tetapi sorot matanya sulit berpaling dari wajah Barra yang tampak begitu tenang, hingga membuatnya gugup.“Maaf, ya, Mas. Saya—”“Bukan masalah, aku suka,” sela Barra. Tangan pria itu tiba-tiba meraih jemari Yasmin yang berada di pangkuannya.Seketika Yasmin terkesiap, otaknya memerintah untuk menarik diri, tetapi tubuhnya justru membatu. Apa-apaan ini?Sentuhan itu hangat dan membius. Tidak munafik—relung hatinya bergetar pelan. Jujur, ada rasa nyaman. Bahkan senang, seperti disentuh lembut dari dalam.Genggaman itu tidak terlepas sampai Rubicon putih yang mereka tumpangi tiba di area kampus. Lebih dari itu, Barra justru turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Yasmin.Dia tercengang. Bukan cuma karena Barra bersikap begitu manis, tetapi perutnya terasa geli seakan penuh kupu-kupu yang beterbangan.“Ayo, masuk,” ajak Barra san
Mata Yasmin mengerjap beberapa kali. Dia sudah berguling di atas kasur, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan ucapan Barra barusan. Bahkan tangannya refleks menyentuh pipi yang terasa panas. Ini tidak wajar! Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mulai membuka perasaannya lagi?Bukankah ini terlalu cepat?“Apa Mas Barra serius, ya?” gumam Yasmin, lalu menarik napas dalam-dalam sambil menatap langit-langit kamar dengan cahaya temaram.Akibat tak kunjung bisa tidur, dia turun dari ranjang. Langkahnya pelan saat menghampiri dua bayi kembar yang tampak nyenyak di dalam boks. Setelah kenyang menyusu, mereka terlelap tanpa gelisah. Justru Yasmin yang kini terserang insomnia.Tubuhnya terasa hangat, seperti demam ringan. Namun, dia enggan menyalakan pendingin ruangan. Dia memilih keluar, ke balkon. Berharap udara malam bisa menenangkan pikiran. Dari sana, iris hitamnya menangkap sosok pria yang baru saja memasuki Rubicon putih.Entah ke mana pria itu akan pergi.Rasa penasaran membuatnya
Sungguh, Yasmin tidak menyangka akan mendapat kunjungan tak terduga ini. Matanya langsung basah, tubuh bergetar, dan langka tertahan di tempat. Dia tidak sanggup mendekat hingga tamu itu menghampiri lebih dulu—memeluknya begitu erat, seolah menolak dilepaskan.“Akhirnya … aku bisa bertemu denganmu lagi, Yasmin.” Suara itu terisak, emosi yang lama tertahan.Yasmin menggigil dalam dekapan hangat itu, lalu dengan tangan gemetar, dia membalas pelukan tersebut.“Iya, Dokter … saya juga senang,” balasnya pelan, dan akhirnya menangis di bahu Samantha.“Mereka jahat, tidak mengajakku pergi. Kalau saja aku tahu, pasti aku ambil cuti dan ikut.” Tatapan Samantha pun melayang tajam ke arah Barra dan Kezia yang berdiri tak jauh dari Yasmin.“Maaf, Dokter. Menunggu lama, ya? Ayo masuk, aku punya oleh-oleh.” Yasmin melepaskan pelukan mereka, lalu mengusap air matanya sambil tersenyum kecil.Samantha mengangguk. Dia merangkul bahu Yasmin dan keduanya berjalan ke ruang tamu. Barra, Kezia, juga Leo meny
Pada akhirnya … setelah Boy dan Cleo terlelap, Yasmin pun turut terbuai dalam mimpinya malam ini. Dia bahkan menikmati kehangatan dari selimut yang menutupi tubuhnya.Ya, Barra bukannya membangunkan dan meminta Yasmin pindah. Justru pria itu membiarka tetap di sana, menikmati pemandangan hangat di sampingnya. Sebuah senyum mengembang perlahan di wajah Barra. Dia menyapu pelan kening Yasmin, menyingkirkan helaian rambut yang jatuh sembarangan.Pandangan Barra kemudian bergeser pada dua bayi kembar yang tidur menempel di sisi Yasmin. Seolah keduanya enggan berjauhan dari wanita itu.Dia mengecup lembut dahi Boy, lalu saat hendak menempelkan ciuman serupa pada Cleo, gerakannya terhenti di udara. Namun, Barra menepis pikirannya. Dia tidak mau merusak momen damai ini.“Bantu Papi bujuk Bunda, ya,” bisiknya lembut di telinga Cleo.Setelah itu, pria itu ikut terlelap di samping Cleo, dan tubuhnya menghadap Yasmin.Pagi harinya, Yasmin masih tertidur pulas, sementara Barra telah terbangun leb
Tidak!Ini salah. Mana mungkin seorang majikan terus mendekat seperti ini kepada pekerjanya?Yasmin tahu dia harus segera menjauh. Tubuhnya beringsut perlahan ke sisi kursi besi. Namun, baru saja tangannya menyentuh besi dingin di samping, dan tubuhnya sedikit terangkat, tangan hangat pria itu merangkum wajahnya, lalu sesuatu yang lembap dan lembut menyentuh keningnya.Hangat dan menenangkan. Yasmin membeku dibuatnya.Sudah pernah menikah, tetapi Yasmin belum sekalipun merasakan sentuhan sehalus dan setulus ini. Bukan nafsu, bukan pura-pura. Rasanya seperti … penerimaan."Mas...," gumamnya. Kepala Yasmin terangkat, dan manik hitamnya bertemu dengan sorot cokelat milik pria itu. Penuh cahaya yang memantulkan kerlip lampion dari kejauhan.Sebelum Yasmin sempat bertanya apa maksud semua ini, Barra lebih dulu bicara. "Bisa kenal lebih dekat?"Yasmin hanya bisa berkedip dengan mata yang membulat. Ini terlalu cepat. Sentuhan itu barusan … maksudnya apa? Lalu ucapan ini? Satu hal pasti—Barra