Share

Bab 4: Sesak dan Pedih

Penulis: NACL
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 21:53:29

Yasmin bersimpuh di hadapan Bram. Kenyataan ini terlalu kejam untuk diterima. 

Semantara dia berusaha bernapas di antara isak tangis yang tidak terbendung, Bram justru begitu mudah melangkah, melenggang pergi kembali ke ruang tamu.

Sarah meraih rambut Yasmin, menariknya kuat hingga wanita itu mendongak. “Dengar, Yasmin, jangan pernah ganggu Bram lagi! Kamu itu cuma rumput liar yang menghambat bunga untuk tumbuh!" 

"Bu—"

"Aku bukan Ibumu!" sentak Sarah, lalu menyeret Yasmin secara paksa keluar dari rumah. 

Ketika Sarah hendak menutup pintu, Yasmin mencoba menahan, tetapi raganya terlalu lemah. 

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Perlahan, Yasmin dengan wajah memerah karena tidak berhenti menangis sedari tadi, menyeret kakinya menjauh dari rumah mantan suami. Langkahnya tertatih di trotoar yang semalam menjadi saksi perjuangan menyelamatkan bayinya.

Beberapa orang melintas, menatapnya sesaat lalu berlalu pergi. Semua mengabaikannya. Dunia benar-benar tidak peduli pada keberadaannya. 

Tiba-tiba, tubuh Yasmin melemas dan jatuh di trotoar. Dia merasa dadanya begitu sesak, hingga memukul-mukulnya sambil terus menangis. Di saat itulah, Yasmin menyadari jika baju di bagian dadanya basah.

Rembesan ASI yang tidak diminum sang anak yang sudah tiada tercetak jelas di sana. "Nak, lihat… ini ASI Bunda banyak untuk kamu," lirihnya, semakin histeris bagai orang gila. "Untuk apa ASI ini, Nak, kalau kamu aja ninggalin Bunda?"  

Entah berapa lama Yasmin meratapi kemalangan yang bertubi. Dadanya yang semula sesak oleh peristiwa pahit, perlahan terasa lebih ringan.

Tidak tahu tempat yang akan dituju, tidak punya tempat untuk bermalam… satu-satunya tempat yang ada di pikiran Yasmin adalah makam sang anak.

Namun, saat Yasmin mencoba menyeberang jalan, pandangannya yang buram membuat dia tidak waspada. Lampu hijau untuk penyebarang telah berubah merah. Bertepatan dengan itu, sebuah mobil sedang melaju kencang.

Tadinya, Yasmin sudah pasrah jika tubuh ringkihnya dihajar mobil itu. Namun, saat dia membuka mata, ternyata mobil itu berhenti tepat di dekatnya. Bukan menyingkir, dia justru kembali meluruh di depan mobil itu.

“Kenapa Engkau tidak membiarkan aku mati, Tuhan….” protes Yasmin disertai derai air mata.

Orang-orang mulai melihat ke arahnya. Sekarang, Yasmin sudah benar-benar seperti orang gila yang mencoba mengakhiri hidupnya.

 “Astaga! Kamu… baik-baik saja?” Seorang wanita turun dari mobil yang nyaris menabrak Yasmin, dan menghampirinya. 

Yasmin spontan menggeleng. “Tabrak aja saya, Bu. Nggak ada gunanya lagi saya hidup di dunia ini….” Air mata Yasmin kembali berjatuhan.

"Apa yang kamu bicarakan?" Wanita itu berjongkok di hadapan Yasmin. Wajahnya sarat kemarahan, tetapi tangannya dengan lembut menggenggam tangan Yasmin yang dingin. "Kamu tidak boleh bicara seperti itu."

Wanita itu juga memapah tubuh lemah Yasmin untuk memasuki mobilnya. Ketika itulah, dia menyadari ada noda darah di baju Yasmin, persis di atas luka operasinya.

“Siapa namamu?” tanya sang wanita. Wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir. “Kamu baru saja menjalani operasi? Perutmu berdarah, kamu harus diobati!”

Lagi, Yasmin menggeleng. “Biarin aja, Bu. Biarin luka ini membusuk karena infeksi, agar saya bisa menyusul anak saya. Anak saya… satu-satunya harapan saya hidup sudah nggak ada.”

Wanita itu berdecak mendengar ucapan Yasmin. “Aku turut berduka untuk kehilanganmu, tapi, aku tidak bisa membiarkanmu begini.” Dia kemudian berbicara pada sopirnya, “Ke rumah sakit, Pak!”

Yasmin menolak, akan tetapi mobil itu tetap melaju sebagaimana perintah wanita yang menolongnya.

Lalu, ketika mobil itu sampai di sebuah rumah sakit yang tidak lain adalah tempat dia melahirkan sang anak… Yasmin kembali bersuara, “Bu, saya… tidak punya uang.”

Wanita itu menoleh cepat ke arah Yasmin dengan pandangan iba. "Aku Dokter Samantha. Tenanglah, aku yang akan mengobati kamu!" 

Samantha pun membawa Yasmin segera memasuki ruang periksanya. Selama Samantha mengobati dan bahkan menjahit ulang luka operasi Yasmin, wanita itu tidak bereaksi. Yasmin hanya memandang kosong pada dinding rumah sakit.

“Siapa namamu?” ulang Samantha, mencoba mendistraksi.

“Yasmin, Dokter,” sahut Yasmin dengan lemah. 

Samantha mengangguk samar, lalu membuka seluruh APD-nya ketika usai mengobati Yasmin. “Aku tau kehilangan itu berat, Yasmin. Apalagi, kehilangan anak. Tapi, menyusulnya juga bukan solusi. Aku yakin, bayimu pasti sedih jika melihat ibunya seperti ini. Yang dia inginkan, ibunya tetap hidup, berjuang!" 

Yasmin menoleh dan menatap Samantha dalam diam. Akal sehatnya membenarkan ucapan itu, tetapi dia tidak  merespons apa pun. 

“Kamu harus dirawat dulu beberapa hari, memastikan lukamu kering.” Samantha lalu membantu Yasmin untuk duduk di kursi roda, dan mendorong kursi itu ke ruang perawatan.

Saat melewati ruang NICU, tempat bayi-bayi yang butuh observasi lebih lanjut, Yasmin memanjangkan lehernya.

Dia masih membayangkan jika anaknya ada di sana… menunggu bundanya menjenguk dan memberinya ASI.

Samantha menunjuk salah satu inkubator yang berisi dua bayi. "Bayi kembar itu anak keponakanku," ujar Samantha, suaranya dipenuhi kepedihan. "Mereka lahir prematur di usia 28 minggu. Mereka butuh donor ASI untuk bertahan, karena memiliki alergi susu sapi.” 

Seketika, Yasmin menoleh ke arah Samantha. “Umm … ibunya?” tanya Yasmin dengan hati-hati. 

“Ibunya meninggal akibat komplikasi.” Ucapan Samantha membuat dada Yasmin tersayat-sayat.

Yasmin memandang pilu bayi-bayi itu. Nasibnya dan nasib bayi kembar itu sama. Mereka kehilangan cahaya hidup. Bedanya, Yasmin telah diberi akal untuk bisa bertahan… sementara dua bayi malang itu belum mengerti apa pun.

"Dokter …," panggil Yasmin dengan suara gemetar. "Apa aku … bisa bantu mereka? M-maksudku, bolehkah aku menyusui bayi-bayi itu?"

**

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Semoga ada keberuntungan menyapa Jasmin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Extra Chapter Yasmin Barra

    “Aduh … Mas, s–sakit, kamu di mana?” rintih Yasmin sambil memeluk perut buncitnya. Dia duduk di sofa dengan napas memburu. Saat ini Yasmin sendirian di rumah. Kezia dan Leo masih tinggal di London, akan kembali sekitar satu minggu lagi. Anak-anak sedang bersekolah, ditemani pengasuh. Mbok Inah yang seharusnya ada, entah ke mana. Mungkin sedang ke belanja. Sudah setengah jam Yasmin memanggil, tetapi tidak ada seorang pun muncul. Tangannya gemetar saat memegang ponsel dan kembali menekan kontak Barra. Tadi dia sudah mengirim pesan pada suaminya. Namun, hanya dibaca saja. Ya, dia tahu Barra memang sedang menjalani persidangan, tetapi … siapa lagi yang bisa dia hubungi? Ini seperti deja vu. Yasmin cepat-cepat menggeleng. Tidak, kali ini berbeda. Dia tidak sendiri. Dia punya Barra, anak-anak, dan orang-orang yang mencintainya. Dia hanya perlu menunggu sedikit lebih lama untuk sampai di rumah sakit. Telepon tersambung. “Sayang … aku baru selesai sidang. Kamu sudah makan?” Suara Barra te

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 172 : Dicintai Ugal-ugalan

    Mata Yasmin masih terpaku pada Boy dan Cleo yang duduk di pangkuan Kezia. Ada kekhawatiran samar dalam hatinya, saat dia harus jauh dari anak-anak. Rasanya baru kemarin dia takut kehilangan segalanya. Kini, diberi kesempatan seperti ini pun masih membuatnya takut terlalu bahagia dan kalau semua ini hanya mimpi."Mami serius jaga anak-anak sendirian?" Yasmin menatap dua anaknya yang sedang menyesap susu. Mereka duduk bersama Leo.Kezia mengangguk. "Mami dan anak-anak tunggu di rumah keluarga Papi. Kalian jalan-jalan saja." Satu tangan Kezia menyentuh perut Yasmin yang menyembul dan janin di dalamnya merespons."Makasih, Mi." Yasmin memeluk wanita itu. Dia meneteskan air matanya.Sungguh tidak menyangka bahwa hidupnya kini diberi banyak kebahagiaan yang melimpah ruah. Yasmin sangat menyukai kejutan dari suami dan mertuanya. Memang rencananya mereka pergi berdua ke London untuk babymoon. Namun, Yasmin bersikukuh anak-anak juga harus ikut. Baginya, kebahagiaan hanya utuh jika anak-anak jug

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 171 : Selalu Bersama

    Sambil memegang kertas hasil pemeriksaan dari rumah sakit, Yasmin melangkah mantap ke dalam rumah. Namun, langkah mantap itu tak seiring dengan debar jantungnya yang makin sulit terkendali. Ada keinginan untuk langsung menunjukkan hasilnya. Hanya saja entah kenapa, Yasmin merasa belum waktunya.Dari ruang tamu, dia melihat suaminya masih sibuk bekerja dan menelepon. Yasmin mengurungkan niatnya untuk mendekati Barra. Dia memilih berbalik, bergegas mandi, dan menemui kedua anaknya yang terlelap dalam damai. Yasmin mengecup mereka satu per satu, dadanya terasa sesak oleh rasa syukur dan kecemasan yang datang bersamaan.Baru saja keluar dari kamar Boy, Yasmin nyaris terpekik karena Barra tiba-tiba muncul dan mengejutkannya."Makan nasi goreng, yuk. Mau?""Mas lapar? Belum makan?" selidik Yasmin, agak geli dengan ekspresi Barra yang begitu bersemangat. Seolah-olah belum makan."Sudah. Tapi tiba-tiba mau makan nasi goreng sama kamu. Ayo." Barra langsung menarik tangan Yasmin menuju garasi.

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 170 : Tidak Wajar

    Barra, Boy, dan Cleo melongo melihat Yasmin sudah menghabiskan dua kotak es krim dalam waktu sepuluh menit.“Bunda?” panggil dua bocah seakan menyadarkan Yasmin yang terlalu lahap. Wanita itu langsung menjatuhkan sendok es dari tangannya. Dia hendak menyeka noda di bibir tipisnya, tetapi Barra lebih dulu melakukannya. Pria itu tersenyum.“Masing-masing punya satu, tidak ada yang merebut punyamu,” goda pria itu sambil meraih satu sendok es dari kotak ketiga yang dipesan Yasmin tadi.“Mas!”Yasmin menarik kotaknya cepat. Tidak terima jika Barra menyentuhnya sedikit pun. Entah kenapa, es krim ini terasa seperti penghiburan. Manisnya menenangkan, dinginnya membuat pikiran jeda sejenak dari tumpukan stres koas yang makin hari menyita tenaga. Apalagi akhir-akhir ini, tubuhnya terasa aneh—mudah lelah, emosinya tak stabil, dan kalau sudah lapar, rasanya mau menangis.Kedai es ini belakangan viral di media sosial dan ramai diperbincangkan di kalangan staf rumah sakit. Rasanya yang segar dari

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 169 : Merelakannya

    “Papi!” seru anak-anak yang baru saja keluar dari sekolah. Mereka saling berebut menghambur memeluk Barra di samping Audi putihnya.Boy dan Cleo diikuti oleh Yasmin. Wanita itu mendapat jatah libur hari ini. Dia menggunakannya untuk menjemput anak-anak di sekolah bersama Barra. Keduanya sangat antusias karena ayah dan ibunya membersamai.Tatapan hangat terpancar dari Yasmin yang mengamati bagaimana Barra kesulitan menggendong kedua anaknya. Ketika berhasil, mereka langsung mencium pipi Barra penuh sayang.“Cleo sayang Papi.”“Aku juga sayang Papi, tapi lebih sayang Bunda,” sahut Boy yang tidak mau mengalah. “Sini Bunda.” Anak itu melambaikan tangan.Yasmin mendekat dan memeluk keempatnya, lalu menggesekkan hidungnya di pipi lembut Boy.“Kita makan es krim, yuk. Bunda dari kemarin mau makan es strawberry tapi belum kesampaian,” akunya.“Ayo, Bunda. Cleo juga mau.” Jemari mungil Cleo menggenggam tangan Yasmin.Sementara Barra sesekali menatap ke kejauhan. Pria itu mengedipkan matanya per

  • Ibu Susu Bayi Kembar Pengacara Dingin   Bab 168 : Kesempatan

    “Mas Bram?” Suara Yasmin tertahan. Tubuhnya membeku melihat sang mantan yang tiba-tiba mendekat. Refleks, dia melangkah mundur, tapi Bram lebih cepat. Tangannya menahan lengan Yasmin sebelum dia sempat berlari.“Tolong, jangan pergi!” pinta Bram, suaranya meninggi. “Yasmin, beri aku kesempatan.”Yasmin tertawa sinis. “Kesempatan?” Dia menoleh ke arah satpam dan memberi isyarat agar pria itu dijauhkan darinya.Akan tetapi, Bram memberontak. Gerakannya liar, seperti orang kesetanan. Dia mengejar Yasmin yang kini berlari lebih cepat, langkahnya terhuyung karena panik menuju kamar Boy.“Pergi, Mas! Jangan ganggu aku lagi!” Yasmin mengibaskan tangannya, mencoba melepaskan diri dari bayangan masa lalu.“Aku cuma ingin ketemu Cleo. Anakku,” lirih Bram, langkahnya terhenti. Suaranya begitu pelan di tengah lorong panjang. Tatapannya sendu, memandang punggung mantan istri yang telah menjauh.Dalam benaknya, berputar kembali kenangan tujuh tahun lalu—saat pertama kali melihat Yasmin. Gadis desa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status