Share

03

"Dimana Rani ? Aku harus menemuinya sekarang."

Pria berwajah tampan dan mempunyai rahang tegas itu bertanya dengan mata yang berkilat marah. Bagaimana dia tidak marah, rencana bulan madunya harus gagal total gara-gara ancaman Rani.

"Dia tidak ada di sini, Az."

"Lalu di mana? Bukankah aku menyuruhmu untuk menjaganya agar tidak kabur?"

Wajah pria itu terlihat sangat marah. Matanya semakin tajam mengintimidasi sang sahabat. Ron seperti tidak mengenal Azlan sama sekali.

"Kau benar-benar tidak punya hati pada wanita itu. Kena-"

"Minggir ! Aku mau melihatnya." Azlan mendorong Ron agar menjauh dari pintu kamar yang digunakan untuk menyekap Rani.

Brak.

Pintu langsung terbuka sempurna.

Azlan mengedarkan matanya ke seluruh penjuru kamar. Namun, dia tidak menemukan Rani ada di sana. Dengan wajah memerah, Azlan segera keluar. Tatapan tajam bak mata elang itu mengarah ke Ron Ibrahim. Tersangka utama hilangnya Rani. Azlan tidak akan memberikan toleransi apapun pada Ron, jika Rani benar-benar pergi dari tempat itu. Apalagi sampai terbukti bahwa Ron ikut andil dalam kaburnya Rani.

"Aku sudah bilang, Rani tidak ada di sana."

Tanpa rasa bersalah Ron memberikan pembelaan untuk dirinya sendiri. Tentu saja sebelum Azlan, si muka menyebalkan itu memuntahkan lahar panas amarahnya.

"Dimana dia?" Kali ini Azlan bertanya dengan nada rendah meskipun masih terdengar geram.

Ron Ibrahim tertawa. Dia menatap netra setajam elang itu dengan sedikit keberanian.

"Mengapa harus semarah itu, Bro? Dia sudah menanda tangani surat itu. Kamu tenanglah."

Azlan masih tidak tergoyahkan oleh ucapan Ron, menurutnya Ron hanya buang-buang waktunya saja.

"Kau mencari surat kontrak itu kan?"

"Apa maksudmu?"

"Kau hanya butuh surat kontrak itu untuk mengikat Rani, tidak perlu orangnya ada atau tidak ada. Dalam surat kontrak itu tertulis jam kerja untuk Rani. Bahkan menemanimu termasuk dalam jam kerja."

Azlan terdiam.

"Lalu untuk apa kamu datang ke sini? Untuk memberikan penjelasan seperti katamu tadi malam? Memberikan penjelasan yang seperti apa?"

"Jaga batasanmu, Ron !" Hardik Azlan.

"Aku selalu menjaga batasanku, aku hanya bicara fakta saja. Surat kontrak itu berlaku efektif mulai besok hari Senin, sekarang hari Sabtu. Dia bebas pergi kemanapun dia mau."

Azlan mengepalkan tangannya. Entah kenapa kepergian Rani tanpa memberinya kabar, membuatnya ketakutan setengah mati. Bagaimana kalau gadis itu bunuh diri ? Batinnya bertanya-tanya sendiri.

"Selamat datang Tuan Azlan yang terhormat."

Tiba-tiba suara yang dirindukannya itu menyapa dengan sopan di rungu Azlan Bagaskara. Azlan menoleh. Rani, istri palsunya sekarang berada di hadapannya. Mata sembab wanita itu membuktikan bahwa ada banyak kesedihan dan rasa sakit yang dia sembunyikan. Namun, sebuah senyum tipis lebih tepatnya senyum sinis terlukis jelas di bibirnya.

"Persiapkan dirimu! Kita akan bertemu istriku sekarang !"

Hanya jawaban itu yang Rani terima. Sebuah perintah yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dia terima. Tidak ada lagi suara lembut dan sikap hangat yang ditunjukkan oleh Azlan.

Rani tidak membantah sedikitpun, hanya melemparkan lirikan lewat ekor matanya ke arah Ron. Wanita itu bergegas masuk ke dalam kamar tanpa mengucap sepatah katapun.

"Semoga kamu tidak menyesal." Kata Ron kepada Azlan membuat pria itu kembali menatap tajam pada sahabat sekaligus salah satu orang kepercayaannya. Hanya Ron yang berani terang-terangan memberi komentar tentang hidupnya. Biasanya Ron akan mendukung apapun yang dia lakukan. Namun, kali ini Ron memilih berseberangan dengannya.

Tidak berapa lama Rani keluar dengan pakaian yang lebih rapi. Wanita yang telah menjadi kekasih seorang Azlan Bagaskara selama lima tahun itu terlihat cantik dan segar. Azlan segera menarik Rani untuk keluar dari rumah itu.

"Tolong lepaskan tangan saya!" Azlan menoleh, tidak biasanya sang kekasih menolak genggaman tangannya. Azlan terlihat tidak suka dengan sikap Rani. Baginya, suka tidak suka Rani harus mau menuruti keinginannya. Bukankah sudah cukup selama lima tahun ini dia memberikan perhatian pada wanita itu? Ah, dimana mana wanita itu selalu menyebalkan.

"Apa Anda sama sekali tidak mendengar ucapan saya, Tuan Azlan?"

Rani menghempaskan tangannya dengan kasar. Pegangan tangan Azlan pun terlepas. Setelah itu Rani melangkah terlebih dahulu. Dia tidak mau berjalan bersama dengan Azlan. Sepanjang perjalanan mereka tidak saling bicara. Dua sejoli yang dulunya selalu tampil sempurna kini sudah berubah menjadi dua orang asing yang tak saling kenal hanya dalam hitungan jam.

Kediaman Bagaskara.

Rani akan mengingat dengan kuat hari ini. Kalau perlu dia akan memahatkan semua urutan kejadian hari ini di setiap sudut hati. Merasakan perihnya sayatan dan juga asinnya air mata. Dia akan mengingat setiap detail rasa sakit yang ditorehkan oleh keluarga terpandang Bagaskara.

Lihatlah, bagaimana Adi Bagaskara dan Selin Bagaskara duduk santai menikmati secangkir americano. Mereka terlihat bahagia tanpa beban, mereka juga tidak menunjukkan rasa penyesalan sedikitpun saat Rani sampai di tempat itu. Rani terasing dalam rumah yang seminggu lalu masih menerimanya dengan begitu hangat. Namun, sebagai anak muda yang baik, Rani menyapa terlebih dulu kedua mantan calon mertuanya.

"Selamat siang Om, Tante," sapa Rani.

Dua orang itu hanya menoleh sesaat dengan wajah yang begitu sinis. Rani cukup tahu diri. Dia memilih duduk di depan dua orang yang katanya sedang menunggunya itu. sementara Azlan berlalu menuju kamarnya di lantai atas.

"Apa kamu tahu kenapa kamu dibawa ke sini?"

Rani enggan menjawab. Dia tidak perlu lagi menjawab pertanyaan itu, bukan? Pertanyaan yang hanya akan menyudutkannya, sekalipun dia sudah menjawab dengan benar.

Kekuasaan memang selalu menang dimana-mana. Bagaimana dia mengombang ambingkan orang kecil seperti dirinya hingga karam di tengah lautan air mata dan putus asa.

"Menantuku yang cantik ingin berkenalan denganmu."

Pada akhirnya sebuah pengakuan itu keluar juga dari mulut Selin Bagaskara. Wanita yang selama ini bertopeng malaikat di depannya. Tidak masalah. Rani sudah bersahabat dengan rasa sakit itu sendiri.

"Menantu yang mana, Nyonya?"

Rani mengutuk dalam hati, kenapa pertanyaan bodoh itu sampai keluar begitu saja.

"Pertanyaan yang bagus sekali. Siapa lagi menantu keluarga Bagaskara kalau bukan Angela Parker,' jawab Selin dengan pongah.

"Tetapi sangat disayangkan sekali, Anda menyembunyikan menantu hebat Anda itu."

Balasan dari Rani tentu saja membuat keduanya terdiam. Adi Bagaskara mengepalkan tangannya, sementara Selin memilih menatap tajam pada Rani. Rani terkekeh meski pada akhirnya air mata yang sejak tadi ditahannya harus keluar juga.

"Tak apa, memang aku yang terlalu bodoh. Kupikir ketulusan itu nyata. Namun seiring berjalannya waktu aku menyadari itu hanyalah bayangan di air yang tenang. Terlihat indah namun semu."

"Bagus sekali kamu menyadari posisimu, kami akan membayarmu dengan mahal atas kasus pemakaian identitas ini."

Adi Bagaskara bertepuk tangan melihat ketegaran mantan calon menantunya. Lebih tepatnya menantu yang pura-pura diakuinya.

"Aku kira Ron sudah menjelaskan semuanya kepadamu. Jadi aku tidak perlu mengulanginya lagi."

Rani mengangguk. Mau seperti apapun dia berlari, dia belum punya modal untuk bertahan hidup di luar sana. Jadilah mulai hari ini dia akan sekuat tenaga di rumah ini. Seperti perjanjian yang tertulis di surat kontrak. Tetapi dalam kontrak itu tertulis bahwa perjanjian berlaku mulai hari Senin besok.

Sebenarnya hati Rani bertanya-tanya tentang Angela Parker. Apakah dia mengenal perempuan itu atau tidak. Rasanya tidak sabar untuk bertemu dengan wanita pecundang itu.

Mereka terdiam cukup lama, hingga sebuah suara cempreng mengagetkan Rani.

"Apa kabarmu Deswita Maharani?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status