“Wait …” Tanpa canggung, Endy mengusap lengan Yasmen untuk beberapa detik. Ia pun terkekeh santai, saat melihat wajah syok dan kebingungan Yasmen dalam satu waktu. Namun, karena lawan bicaranya saat ini bukanlah sang ibu suri, maka Endy tidak perlu mengeluarkan effort yang terlalu besar. “Jangan diartikan ke mana-mana dulu.”“Terus, gimana maksudnya tadi?” tanya Yasmen dengan polosnya. “Mas Endy bilang friend with benefits, kan?”“Benefits dalam arti yang sebenarnya,” sahut Endy kembali terkekeh untuk sejenak. “Kalau proposalku tembus, kamu bisa minta apapun yang kamu mau. That’s why I said friend with benefits. Saling menguntungkan, kan?”“Ooh …” Bibir Yasmen akhirnya membulat dengan anggukan paham. Dalam situasi seperti sekarang, tentunya Yasmen tidak akan menolak jika disuguhi angin segar seperti ini. “Beneran aku bisa minta apa aja?”“Bener!”“Kalau permintaanku lebih besar dari nilai proposal yang tembus gimana?” Yasmen mengangkat sebelah alisnya, seolah menantang Endy. Memangnya
"Nanti aku kirim filenya dulu, biar kamu bisa baca dan pelajari nanti malam." Endy menghentikan mobilnya tepat lurus di depan pintu lobi Casteel High. Makan siang mereka barusan cukup berjalan lancar dan juga menyenangkan. Ternyata, sifat gadis itu sungguh berbanding terbalik dengan Mai yang selalu saja berkata dengan intonasi sinis kepadanya. Sementara Yasmen, gadis itu selalu terlihat ceria dan terbuka dengan hal apapun."Terus, besok siang aku ke sini lagi ngantar proposalnya ke kamu," tambah Endy.Kedua alis Yasmen mengerut sambil membuka sabuk pengaman dengan cepat. Yasmen tidak ingin membuat antrian panjang mobil di belakangnya. "Mas Endy mau ke sini lagi?"Endy mengangguk. "Iya, kita bisa makan siang lagi di tempat lain yang dekat-dekat sini. Gimana? Nggak papa, kan?"“Ya, nggak papa juga.” Yasmen bergegas menyampirkan tasnya di bahu, lalu membuka pintu mobil yang kacanya baru saja terbuka. “Ya udah, deh. Makasih traktirannya, ya, Mas. See ya!”Yasmen bergegas keluar lalu menut
Yasmen menguap. Semakin larut, tubuh Yasmen semakin diselimuti rasa lelah yang tidak terkira. Baru kali ini Yasmen hanya duduk di depan komputer dan mengerjakan sesuatu dari pagi, hingga malam menjelang. Bahkan, Yasmen tidak seperti ini ketika ia mengerjakan skripsi yang begitu memusingkan. Sebenarnya, bukan hanya Yasmen yang masih berada di kantor malam ini. Ada Byakta, Ratna dan dua orang karyawan lagi yang masih disibukkan dengan pekerjaannya. Sementara itu, dua karyawan lain dari divisi yang sama, sudah lebih dulu pulang karena pekerjaan mereka telah selesai. Tepat jam delapan malam, Yasmen melirik Byakta yang baru keluar dari ruangannya. Dengan lengan kemeja putih yang sudah tergulung rapi hingga sebatas siku, dan dasi yang sudah tertarik longgar, membuat Yasmen mendadak menelan ludah. “Kalian bisa pulang, dan besok saya kasih dispensasi setengah jam dari jam masuk kerja. Terima kasih.” Setelah Byakta masuk kembali ke ruangannya, semua staf yang masih berada di tempat segera m
Setelah mobil Bira semakin jauh dari pandangan, kedua bahu Yasmen langsung merosot gontai. Tubuhnya berputar 90 derajat, kemudian berjalan dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Sedikit menjauh dari Byakta, menuju mobil yang sebenarnya sudah berhenti di belakang mobil Bira sedari tadi.Tanpa menoleh lagi, Yasmen masuk ke dalam mobil yang pintunya baru saja dibuka oleh Kohar. “Makasih, Pak. Langsung pulang, ya. Tapi, jalannya pelan-pelan aja, biar tidurnya agak lamaan.”“Siap, Mbak.”Yasmen baru saja merangkak masuk dan hendak membaringkan tubuhnya, ketika suara Byakta begitu dekat terdengar di telinga. Lantas, Yasmen menoleh dan mendapati Byakta baru saja duduk tepat di sebelahnya lalu menutup pintu mobil.“Mas By! Ngapain di sini!”“Kamu nggak lihat aku lagi ngapain?” Byakta meletakkan tas kerjanya di kursi depan, lalu menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata“Iya tahu, tapi kenapa masuk mobilku?” Yasmen memutar tubuhnya untuk melihat Byakta. Rasa kantuk yang tadinya sudah mengga
“Hm, baru bangun.”Byakta berdecak saat melihat istrinya yang baru saja membuka mata. Sambil mengusap rambut basahnya, Byakta yang baru saja keluar dari kamar mandi itu segera menghampiri Yasmen. Ia berdiri di sisi ranjang dan masih sibuk menyapukan handuk kecil di kepala.Yasmen melirik datar pada Byakta. “Ayamku? Sama kentang?”Mengapa hal pertama yang ditanyakan Yasmen justru ayam dan kentangnya?“Berapa password hapemu?” Tidak ingin berbasa-basi dan terus merasa penasaran, Byakta segera mempertanyakan hal tersebut pada Yasmen.“Ayaaam!” Yasmen mendepak selimut yang membalut tubuhnya ke arah Byakta.“Password.”“Mas By!”“Yasmen.”“Maas!” Yasmen bangkit dan duduk dengan perasaan kesal. “Jangan bikin kesel! Ini sudah malam, aku mau makan, terus tidur!”“Yasmen.” Byakta menghela seraya menggantungkan handuk kecilnya di leher. “Kamu mau tidur lagi? Coba lihat ini jam berapa?”Yasmen mengerjap. Melirik pada pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah lima. Itu berarti, ia su
Byakta baru keluar dari ruangannya, saat ia melihat Yasmen berdiri kemudian berjalan sambil tersenyum menatap ponsel yang ada di genggaman. Gadis itu keluar dari ruang divisi HRD, dan terlihat terus melangkah menuju lift.Jam makan siang memang baru saja tiba. Jadi, mungkin saja Yasmen saat ini hendak pergi untuk makan siang. Namun, mengapa Yasmen tidak makan siang dengan teman satu divisinya. Gadis itu malah pergi seorang diri, dan tidak saling menunggu seperti staf yang lainnya.Byaka yang juga berniat pergi makan siang, akhirnya berdiri di samping Yasmen yang sudah berada di depan lift.“Bapak mau makan siang juga?” Sebenarnya, Yasmen sedikit terkejut ketika Byakta tahu-tahu ada di sampingnya. Namun, demi kata jual mahal yang terpaku di kepala, akhirnya Yasmen berusaha bersikap formal ketika mereka berada di kantor.Byakta berdecak karena kesal dengan ucapan Yasmen. Gadis itu seolah seperti bunglon. Sanggup bersikap formal dan terkesan dingin ketika di kantor, dan akan berubah 180
“Ya ampun, Princess! Jadi orang itu, jangan terlalu serius.”Apa semua keturunan Sagara memang tidak punya selera humor, pikir Endy. Dari Mai, Pras, dan sekarang Yasmen. Walaupun sifat Yasmen sungguh berbeda dengan May, tapi mereka sepertinya sama-sama tidak bisa diajak bercanda.“Nyante, Yas, nyante,” tambah Endy ikut berhenti, ketika langkah Yasmen berhenti lebih dulu.“Ihh!” Yasmen mendorong lengan Endy dengan kedua tangan. Ia menghentak kesal, kemudian berkata, “Aku baru aja nikah, masa’ sudah didoain jadi janda!”Endy terkekeh. Namun, tidak terlalu memikirkan apa yang diucapkan oleh gadis itu. Bagi Endy, semua yang dikatakannya di luar urusan pekerjaan, hanyalah bualan belaka.“Lagian, kamu baru nikah kenapa langsung masuk kerja, ha?” Endy tersenyum miring karena merasa ada yang salah dengan pernikahan Yasmen. “Nggak libur, atau pergi bulan madu?”“Issh!” Yasmen menendang kecil kursi yang baru saja ditarik oleh Endy untuknya. “Nggak usah tanya-tanya! Mending kita ngomongin kerjaa
“Nggak sopan!”Byakta bergeming dan tetap melajukan mobilnya dengan perlahan, untuk mencari tempat makan. Sedari tadi, mulut Yasmen itu tidak berhenti melempar protes untuk meluapkan kekesalannya.“Harusnya, Mas By ikut aja makan bertiga sama Mas Endy!” lanjut Yasmen. “Jangan tahu-tahu nyuruh aku pergi, terus pake ngancam telpon ayah sama enda. Gimana kalau aku telponin papi terus bilang kalau Mas By itu nggak profesional! Aku lagi bahas kerjaan sama Mas Endy, tapi disuruh pergi gitu aja! Harusnya, Mas By sudah bisa bedain antara urusan pribadi dan kerjaan.”“Dan harusnya, kamu juga sudah bisa bedain, mana yang boleh kamu lakukan di luar sana, dan mana yang nggak.” Akhirnya Byakta membuka mulut untuk berbicara. “Kamu juga harus bisa mikir, kalau pertemuan barusan nggak seharusnya terjadi. Apa yang harus dibahas? Kamu tinggal terima proposal, dan serahkan ke papi. Selesai.”“Cemburu, ya?” Yasmen memicing sambil mencondongkan tubuh pada Byakta. “Ayo tinggal bilang kalau Mas By cemburu!