Pada penasaran sama istri Bira, yaaa ....
Yasmen langsung beringsut masuk ke dalam selimut, setelah mengganti pakaiannya. Menunggu sang mami, yang masih berada di depan meja rias untuk melakukan ritual rutinnya di malam hari. “Yas.” “Ya, Mi?” Yasmen menatap lurus pada langit-langit kamar, dengan kedua tangan terlipat di atas perut. “Coba bayangin, misal … Raya ngasih jas, atau kemeja buat Byakta.” “Ngapain aku harus bayangin begituan.” Nada bicara Yasmen mendadak meninggi karena kesal. Kenapa juga sang mami harus menyinggung masalah seperti itu ketika sudah waktunya tidur. “Mami jangan aneh-aneh, deh.” “Jawab Mami dulu, Yas.” Nada bicara sang mami tetap tenang, dan terus saja mengoleskan krim malam di wajahnya. “Andai beneran, kamu marah apa nggak?” “Marah.” Tatapan Yasmen masih menerawang. “Aku pasti marah dan bakal datangin Raya. Aku mau semprot dia, biar nggak kegatelan jadi cewek!” “Misal lagi,” sang mami kembali memberi pertanyaan pada Yasmen. “Raya itu SPG mobil, terus lagi ngobrol sama Byakta karena suamimu itu m
“Papi sudah bilang sama ayah tadi malam, kamu pindah ke Palace High mulai senin.”“Ha?” Yasmen tidak jadi menyuapkan makanan ke dalam mulut. Ternyata, ucapan Bira tadi malam bukan isapan jempol belaka. Bahkan, pagi ini semua hal sudah fix, dan Yasmen tidak akan lagi satu kantor dengan Byakta. “Papi, serius? Aku betulan pindah ke Palace High?”“Iya.” Bira mengangguk sambil memelankan kunyahannya. “Papi juga sudah telpon Nando pagi tadi. Jadi, besok tinggal datangi dia aja kalau sudah sampai hotel.”Kedua bahu Yasmen merosot seketika. Ia meletakkan sendok yang berisi nasi kuning kembali ke piring dengan lesu. Mendengar dirinya akan pisah kerja dengan Byakta, semangat Yasmen langsung memudar.“Nggak jadi pindah, ya, Pi,” pinta Yasmen dengan nada memohon. Jika ia pindah ke Palace High, itu artinya Yasmen tidak akan bisa melihat Byakta secara langsung selama 12 jam lebih setiap harinya. “Aku tetap di Casteel High.”“Nggak bisa,” tolak Bira tetap melanjutkan sarapannya dengan santai. Sesung
Entah sudah berapa kali Yasmen menghela selama perjalanan ke kediaman Pras pagi itu. Ide yang terucap dari mulut sang mami, benar-benar membuat Yasmen tidak bisa berkutik dan membantah sama sekali. Terlebih saat Pras langsung menghubunginya, dan meminta Yasmen datang lebih pagi dari jam kantor seperti biasa.“Ayo keluar, Hun.”Sudah hampir lima menit mobil Byakta terparkir di pekarangan rumah Pras, tapi Yasmen sepertinya tidak berminat untuk keluar sama sekali.“Nggak mau.” Yasmen menggeleng sembari menunduk. “Aku nggak mau kerja sama ayah.”“Lain kali.” Byakta sedikit mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman yang masih menyilang di tubuh sang istri. “Kalau mau apa-apa itu di pikir bener-bener. Kalau lagi marah, lagi kesal, atau lagi ngambek, jangan langsung ngambil keputusan. Emosi kalau dituruti, ya, begitu. Rugi di kamu.”“Aku, tuh, nggak butuh diceramahin gini pagi-pagi.” Yasmen memegang handle pintu, tapi belum juga menariknya. “Harusnya disemangati, bukan diomelin.”“Yan
“Kamu bisa pergi ke kantor sekarang,” titah Pras pada Byakta saat masuk ke ruang kerjanya. “Dan jemput Yasmen sepulang kamu kerja.”Byakta mengangguk dan mulai berdiri, kendati hatinya masih diliputi banyak keraguan untuk pergi bekerja. Sudah 15 menit Byakta menunggu, tapi Yasmen belum kunjung datang untuk membawa secangkir kopi yang diminta oleh Pras. Byakta juga sudah memberi tahu Yasmen, tentang cara membuat kopi seperti yang diinstruksikan oleh Sinar. Berharap, istrinya itu bisa membuatnya dengan benar di hari pertamanya bekerja bersama Pras.“Saya, ke belakang sebentar, mau—”“Langsung pergi,” titah Pras sudah duduk di kursi kebesarannya yang belakangan ini sering digunakan oleh Qai bekerja ketika pulang kantor. Sebenarnya, Qai sudah memiliki meja kerja sendiri, tapi putranya itu lebih suka menggunakan meja Pras ketika sudah berada di rumah. “Kamu bisa kirim pesan sama Yasmen kalau mau pamitan. Biar nggak ada drama sama sekali.”Byakta mengangguk pasrah dan tidak berani membantah
Yasmen menghela setelah mencicipi kopi ketiga buatannya. Bibirnya mencebik, lalu berbalik menatap Sinar yang sedari tadi mengawasinya.“Nda, masih nggak enak,” keluh Yasmen lalu mengitari kitchen island untuk mendatangi Sinar yang duduk di stool bar. “Nggak sama, kayak kopi-kopi yang kadang aku minum di kafe.”“Ya, jelas beda, Yas, Yas.” Sinar meletakkan siku kirinya di meja kitchen island, lalu memangku wajah untuk menatap Yasmen yang berdiri di sebelahnya. Di satu sisi, sebenarnya Sinar menyukai pribadi Yasmen yang selalu ceria dan tidak datar seperti putrinya. Yasmen bisa diajak bercanda, dan tertawa lepas tanpa harus menjaga image seperti Mai yang terkadang membuat Sinar kesal. Namun, mau bagaimana lagi.Like father, like daughter.Meskipun begitu, Sinar tetap sangat bangga terhadap putrinya itu. Saking bangganya, kata pujian pun seolah habis hanya untuk seorang Mai.“Buruan bikin!” seru Sinar sambil menepuk lengan Yasmen. “Kamu bisa dihukum ayah, kalau ketahuan malas-malasan dan
Yasmen merangkak naik ke tempat tidur Mai, lalu merebahkan diri dengan senyap di atas sana. Kakak sepupunya itu sedang pergi ke dapur untuk mengambil makan siang, sementara Yasmen lebih memilih masuk ke kamar Mai untuk melihat Rara.Karena bayi mungil itu tengah terlelap di boks bayinya, Yasmen akhirnya memutuskan untuk berbaring saja. Melepaskan penat, akibat duduk terlalu lama dan tidak ada teman bicara. Sungguh, ini adalah hari yang paling membosankan, melelahkan, dan menyebalkan bagi Yasmen. Yang membuatnya lebih buruk lagi ialah, hidup Yasmen akan seperti ini untuk satu bulan ke depan, tanpa ada penawaran. Namun, ada banyak hal yang Yasmen dapatkan ketika bekerja bersama Pras. Pria itu tidak segan membeberkan semua kelemahan, kesalahan, dan keburukan Yasmen di depan mata. Selama ini, Pras memang selalu berterus terang, tapi tidak pernah sampai membuka semua “aib” Yasmen seperti pagi tadi.“Nggak makan siang kamu, Yas?” tanya Mai yang baru saja masuk ke kamarnya dengan membawa s
“Yasmen di kamar tamu, lantai dua belok kiri mentok.” Mai berujar datar, ketika melihat Byakta baru memasuki ruang keluarga. Setelahnya, Mai kembali menatap bayi mungilnya yang kini tengah berbaring di pangkuan. Karena bosan berada di kamar, maka Mai mengajak Rara ke ruang keluarga sambil menunggu kedatangan Raj.Tidak disangka, justru Byakta yang lebih dulu pulang dan bertemu dengannya di ruang keluarga. Yang membuat Mai masih memendam kesal pada Byakta hingga kini ialah, pria itu bisa menikahi Yasmen, tapi tidak memiliki keberanian untuk memperjuangkan dirinya dahulu kala.Rasanya, Mai kembali ingin mendaratkan telapak tangannya pada pipi Byakta dengan keras, untuk melepas rasa sakit hatinya.“Makasih.” Teringat dengan perkataan Pras, Byakta pun tidak berani berlama-lama memandang wajah cantik nan galak itu. Ia segera mengangguk, lalu segera pergi ke lantai dua sesuai dengan instruksi Mai barusan.Byakta tidak mengetuk pintu kamar tamu terlebih dahulu, karena ia yakin hanya ada Yasm
Hanya dengan sebuah bucket ayam goreng krispi dari restoran cepat saji, ditambah kentang goreng dan satu buah es krim, wajah murung Yasmen akhirnya bisa tersenyum kembali. Benar-benar seperti anak kecil, yang impiannya baru saja dikabulkan oleh kedua orangtuanya.“Ini semua buat aku?” Senyum Yasmen tersemat lebar saat semua makanan yang sudah dipesan Byakta berada di tangannya. “Boleh aku makan semua?”“Iya.” Antara kasihan, dan ingin tertawa saat melihat wajah polos Yasmen. Di antara sekian banyak makanan mahal yang ada di restoran mewah, Yasmen justru hanya bisa tersenyum lebar saat menatap tumpukan ayam krispi yang dibeli dari restoran cepat saji.“Aku makan sekarang, ya? Nggak usah nunggu sampai rumah, soalnya laper.”“Makanlah.” Byakta mengusap puncak kepala Yasmen sebentar, lalu kembali fokus dengan kemudinya. Mempercepat laju roda empatnya, agar segera sampai di rumah dan beristirahat.“Mas Bee makan jugalah.” Yasmen menyodorkan ayam goreng yang sudah dipotongnya tepat di depan