Perjalanan mereka terhenti saat melihat di lapangan sedang ada tanding basket. Dan tentu saja Lazia berhenti karena melihat ada Dicky disana.
"Kita kesana, yuk!" ujar Zia sembari memegang tangan Dewi.
"Iya-iya." sahut Dewi.
Mereka berdiri di pinggir lapangan, sembari menyemangati Dicky. Dicky malah terganggu oleh suara bising mereka. Hingga Fabio datang menghampiri Lazia dan berdiri disampingnya.
"Lo ngapain si ngikutin gue terus?" tanya Zia.
"Idih ... Siapa juga yang ngikutin lo," jawab Fabio sembari melihat kelapangan.
"Gue kerjain lo," batin Zia sembari tersenyum.
"Ayo Dicky semangat!" teriak Dewi.
"Hey," memanggil Fabio.
"Hey! Hello ..." Fabio tetap tidak menyautnya.
"Hey Fabio cowo aneh!" teriak Lazia kesal lalu menginjak kaki Fabio.
"Aw ... Sakit tau!" balas Fabio sembari memegang kakinya.
"Habisnya dari tadi gue manggil lo tau enggak!" dengan nada tinggi.
"Tapi, lupain aja. Gue punya tantangan buat lo," ujar Zia tersenyum.
"Hore!" kata Dewi bertepuk tangan saat Dicky memasukan bola.
"Apa?" tanya Fabio sembari melihat Dewi.
"Kalau lo bisa masukin bola itu," menunjuk basket "Gue bakalan nurutin semua perintah lo. Tapi, kalau lo enggak bisa, lo harus buka baju, sepatu dan celana. Terus lo lari-lari dilapangan, bilang lo itu gila,"
"Oh iya satu lagi, lo harus pergi dari kehidupan gue. Gimana, lo sanggup!" jawab Zia tersenyum menggoda.
"Ini beneran, kan! Lo enggak bohong!" ujar Fabio tersenyum sembari memegang pundak Zia. Zia kaget saat Fabio berkata seperti itu, seperti tidak takut.
"Iya gue enggak bohong," ucap Zia.
"Janji?" kata Fabio sembari mengulurkan jari kelingkingnya.
Melihat uluran tangan Fabio, "Iya ... Gue janji!" ketus Zia lalu mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari Fabio.
"Ok!" kata Fabio lalu berjalan memasuki lapangan.
"Ehk lo mau kemana?" tanya Zia teriak.
"Maksud gue itu pulang sekolah!"
"Lo, itu bukannya Fabio? Ngapain dia masuk lapangan?" batin Dewi kebingungan.
Semua siswa tertawa melihat Fabio berjalan dengan percaya diri masuk ke lapangan. Lalu merebut bola basket mereka. Setelah berhasil Fabio membawanya dekat dengan ring basket. Lazia sempat tertawa melihatnya. Hingga Fabio berbalik lalu melemparkannya kearah ring satunya lagi.
Jarang itu benar-benar sangat jauh. Bola itu melayang-layang di udara. Tidak ada suara siswa disitu, semua hening.Bugh!
Bola itu mendarat masuk dengan mulus kedalam ring. Seketika suara tepukan tangan, gemuruh siswa terdengar kuat sampai keluar gerbang sekolah. Beberapa siswa juga ada yang masih tidak percaya, termasuk Dicky dan Lazia.
"Wow!" ucap Dewi lambat lalu bertepuk tangan.
Lalu Fabio berjalan dengan angkuhnya kearah Lazia sembari tersenyum lebar.
"Gimana?" tanya Fabio tersenyum
"Gu-gue, gue," jawab Zia terbata-bata.
"Iya, gue apa," ujar Fabio tersenyum.
Dring!
Tiba-tiba lonceng masuk istirahat terdengar. Semua siswa berjalan pergi meninggalkan lapangan.
"Pulang sekolah, tunggu gue!" ujar Fabio tersenyum sembari menyentuh hidung mungil Zia lalu berjalan pergi.
"Gue benar-benar enggak percaya, dia bisa lakuin itu," batin Zia.
"Zia ayo kita masuk!" ujar Dewi sembari menarik tangan Zia.
Pulang sekolah tiba. Lazia langsung cepat-cepat berlari keluar dari sekolahnya, sebelum Fabio melihatnya. Lazia benar-benar takut, sampai Lazia beberapa kali menabrak siswa lain. Di gerbang sekolah Lazia langsung naik ke tukang ojol yang tadi sempat Lazia order di kelas, jam pelajaran.
"Ayo mas cepat!" ujar Zia sembari memukul pelan pundak ojol.
Tak lama kemudian Lazia sampai dirumahnya. Dan berjalan masuk kedalam kamarnya tanpa mengucapkan salam kepada Sopandi ayahnya. Yang saat itu sedang duduk di sofa.
"Untung aja gue berhasil kabur," ucap Zia sembari berbaring di kasur. Mengatur nafasnya, dan mengingat kejadian tadi di sekolah.
Sore pukul 17:44. Lazia keluar dari kamarnya lalu berjalan ke meja makan. Yang disana sudah ada Sopandi menunggunya untuk makan malam.
"Kayanya Fabio lagi nungguin gue di sekolah," batin Zia.
"Zia gue minta maaf, Zia!" ujar Fabio dengan nada tinggi dan Lazia berhenti sembari menangis tersedu-sedu."Gimanapun gue harus pergi.""Kenapa Fabio, Kenapa," lirih Zia dengan air mata yang tak kunjung berhenti."Di saat cinta datang dan lo harus pergi! Apa kita tidak bisa mencobanya terlebih dahulu? Setelah itu lo bebas mau pergi atau nggak.""Zia, hapus air mata lo. Lo jangan tangisi pria seperti gue," kata Fabio dengan nada dingin."Jika memang kita berjodoh, pasti Tuhan akan mempertemukan kita kembali dengan cara apapun.""Please Fabio jangan pergi," lirih Zia."Gue nyakin setelah nanti gue pergi. Lo pasti mendapatkan pria yang jauh lebih segalanya dari gue. Karena bagaimanapun gue harus pergi," kata Fabio yang membuat air mata Zia menetes cepat."Gue cuma pengen lo! Gue nggak mau yang lain Fabio, jadi please lo jangan pergi," pinta Zia."Kalau begitu, berikan alasan. Agar gue tetap bisa bertahan di sini," ujar Fabi
"Apa pentingnya ini buat lo," jawab Boby menatap sinis Zia. "Ini penting banget buat gue bob," kata Zia dengan nada sedih. "Pentingnya mana dia dengan Dicky?" tanya Boby cepat. "Gue emang suka sama Dicky, tapi itu dulu! Sebelum gue bertemu dengan dia, dia yang membuat hari-hari ku jadi berwarna," jawab Zia dengan mata berkaca-kaca. "Bob, please! Di mana Fabio sekarang." "Zia kayanya udah benar-benar mulai jatuh cinta sama Fabio, tapi kenapa dia baru sadar sekarang," batin Boby. "Kenapa lo diem Boby, ayo jawab di mana Fabio sekarang," ucap Zia dengan nada sedih. "Please!" Boby menghela nafas panjang lalu berjalan pergi masuk ke dalam kelas, "Lo bisa datang lagi sepulang sekolah dan gue akan kasih tau semuanya sama lo." Jam pulang pun terdengar. Saat Boby satu langkah dari pintu kelasnya, tiba-tiba salah satu temannya memanggil dan menunjuk ke arah belakang Boby. Saat Boby berbalik ia kaget, melihat Zia sedang jon
Malam berganti pagi. Hari ini Lazia benar-benar semangat, terlihat dari senyum lebarnya kepada Sopandi yang sedang berada di meja makan. Lazia mengambil beberapa roti lalu memakannya dengan senyum menggoda. Sopandi kaget kebingungan melihat tingkah laku putri bungsunya itu. Apa lagi pada hari senin ini, Lazia tampil lebih cantik."Ayah gimana Lazia, cantik nggak?" tanya Zia tersenyum."Kamu ke sekolah, ka!" ucap Sopandi menaikan sedikit intonasi suaranya."Iya-iya, lah ayah ... mau kemana lagi," kata Zia tersenyum."Baguslah," sahut Sopandi lemas."Bagaimana dinermu dengan Dicky tadi malam. Apa semuanya baik-baik saja?""Semuanya baik ayah, lancar!" jawab Zia tersenyum lalu memakan rotinya. Mendengar itu Sopandi hanya menghela nafasnya panjang.Bim, bim!"Dewi udah datang, Zia pergi dulu ya, ayah!" kata sembari menyalim tangan Sopandi.Di perjalanannya menuju sekolah, Lazia menceritakan Dicky kepada Dewi. Tentang kejadia
Setelah Fabio pergi mengejar Lazia, kini giliran Dicky untuk mengejarnya. Mereka joging di daerah komplek rumah Lazia, di sana ada sebuah taman besar yang biasa di pakai untuk lari pagi. Fabio dan Dicky berada di belakang Lazia, mengikuti semua gerakan Lazia, seperti peregangan dan pemanasan. Lazia hanya diam melihat mereka berdua, berharap salah satu dari mereka pulang. Setelah satu jam joging, Lazia merasa lelah dan beristirahat di sebuah kursi panjang yang berada di taman itu. Fabio dan Dicky langsung berlari menuju Lazia, sembari membawa botol minuman dingin. "Zia, lo pasti cape bangetkan!" ucap Fabio tersenyum sembari mengulurkan botol minuman. "Mendingan yang gue aja Zia," ujar Dicky tersenyum, lalu mengulurkan botol minumannya. "Mending yang gue aja Zia! Ini langsung gue ambil dari pabriknya," kata Fabio, lalu melihat sinis ke arah Dicky. "Lo jangan bohong, ya
"Enak 'kan," kata Dicky tersenyum."Iya, enak," balas Zia."Tapi ada sisa makanan di mulut lo!" ujar Dicky kemudian mengambil tisu yang ada di meja itu.Mengulurkan tangannya ke arah mulut Zia. Membersihkan sisa makanan yang bersarak di pinggiran mulut Zia. Dengan lembut dan penuh perasaan."Sebenarnya hati gue milih siapa? Kenapa perasaan ini beda dengan Fabio," batin Zia sembari melihat Dicky yang masih membersihkan mulutnya."Udah dong, malu di lihagin orang," ujar Zia tersenyum."Iya," sahut Dicky tersenyum."Oh iya Zia, nanti malam lo ada kegiatan nggak?""Kayanya nggak ada, si! Emangnya kenapa?" tanya Zia. Lalu meminum jus yang ada di mejanya."Gue mau ajak lo jalan-jalan. Yah ... sekedar liburanlah, besokan hari minggu," jawab Dicky."Boleh," ucap Zia tersenyum."Kalau gitu gue pulang dulu, ya! Gue mau siap-siap. Ingat nanti malam kita jalan," ujar Dicky."Iya ... " sahut Zia tersenyum."By." balas
"Gue bosen Zia ... gue pengen pulang!" rengek Fabio."Iya nanti, setelah lo sembuh," sahut Zia."Seharusnya na, Fabio itu nggak usah datang ke taman. Karena anak om pasti cuma mau ngerjain na, Fabio," sambung Sopandi tersenyum. Lalu melihat ke arah Zia."Nggak ayah! Zia beneran lupa, kalau Zia punga janji sama Fabio," cela Zia. Kemudian melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Kenapa lo senyum?""Emangnya kenapa?" tanya Fabio tersenyum."Om, Fabio nggak boleh senyum ya, om?""Boleh kok dan itu hanya untuk Zia seorang," kekeh Sopandi."Ayah ... " ketus Zia lalu melihat ke arah Fabio. Fabio hanya membalasnya dengan menaikan kedua alisnya sembari tersenyum."Na, Fabio udah makan?" tanya Sopandi."Belum om," jawab Fabio."Kenapa belum? Ini udah hampir jam dua loh. Kenapa belum makan juga," ujar Sopandi."Soalnya makanannya nggak enak om, rasanya hambar," sahut Fabio tersenyum."Berarti orang kaya lo itu,
Lalu Lazia menangis di dada Fabio, seperti sedang memeluknya. Menangis dengan kuat, berharap Fabio dengar dan bangun dari tidurnya."Lo nangis."Suara yang membuat Lazia kaget dan berhenti menangis. Lazia melepaskan pelukannya, lalu melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Siapa juga yang nangis!" cela Zia sebai melap air matan dengan tangannya."Udah, nggak bohong sama gue," ucap Fabio tersenyum."Nggak," kata Zia sembari memajukan bibirnya."Ya udah," balas Fabio."Oh iya, ngapain lo ke sini? Bukannya lo sekolah sekarang.""Gu-gue ... " jawab Zia terbata-bata. Sembari memikirkan kalimat apa yang selanjutnya ingin ia katakan."Gue apa," lanjut Fabio tersenyum."Ok! Gue ke sini, karena gue mau minta maaf sama lo. Gara-gara gue, lo jadi kaya gini," kata Zia dengan nada sedih."Maafin gue, ya!""Seharusnya lo nggak usah minta maaf Zia. Karena gue nggak pernah bisa marah sama lo. Gue di ciptain di
Lalu Lazia menangis di dada Fabio, seperti sedang memeluknya. Menangis dengan kuat, berharap Fabio dengar dan bangun dari tidurnya."Lo nangis."Suara yang membuat Lazia kaget dan berhenti menangis. Lazia melepaskan pelukannya, lalu melihat ke arah Fabio yang sedang tersenyum."Siapa juga yang nangis!" cela Zia sebai melap air matan dengan tangannya."Udah, nggak bohong sama gue," ucap Fabio tersenyum."Nggak," kata Zia sembari memajukan bibirnya."Ya udah," balas Fabio."Oh iya, ngapain lo ke sini? Bukannya lo sekolah sekarang.""Gu-gue ... " jawab Zia terbata-bata. Sembari memikirkan kalimat apa yang selanjutnya ingin ia katakan."Gue apa," lanjut Fabio tersenyum."Ok! Gue ke sini, karena gue mau minta maaf sama lo. Gara-gara gue, lo jadi kaya gini," kata Zia dengan nada sedih."Maafin gue, ya!""Seharusnya lo nggak usah minta maaf Zia. Karena gue nggak pernah bisa marah sama lo. Gue di ciptain di dunia, buat
"Oh ... waktu lo tunangan sama Fabio," ucap Dicky."Iya," kata Zia tersenyum."Jadi lo mau, gue maafin lo?" tanya Dicky tersenyum."Iya. Maafin gue," jawab Zia."Ok gue maafin lo. Tapi dengan satu syrat," ujar Dicky."Apa," sahut Zia tersenyum."Lo. Harus jadi pacar gue," ucap Dicky sembari melihat Zia."Pacar?" tanya Zia kebingungan."Maksud gue itu, pacar bohongan," jawab Dicky malu lalu melihat kembali ke depan."Oh ... ok." kata Zia.Akhirnya Lazia tiba di rumah Dicky. Rumah yang besar, serta tanaman bunga di sekelilingnya. Berjalan masuk ke dalam bersama Dicky. Dicky membawa Lazia menuju meja makan yang di sana sudah ada kedua orang tua Dicky."Katanya ulang tahun. Tapi, kok nggak rame," batin Zia. Lalu duduk di kursi tak jauh dari kedua orang tua Dicky."Lo tunggu di sini, ya! Gue mau ganti baju." ujar Dicky lalu berjalan pergi."Nama kamu siapa cantik?"Tanya wanita paruh baya. W