Share

Cemburu?

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-06-26 21:50:39

Rafasya mengejar Kania sampai ke pintu depan. Napasnya sedikit memburu, tapi ia tetap memaksa suaranya terdengar tegas.

"Aku antar, Kania!"

Tangannya dengan cepat menggenggam tangan Kania, tapi hanya sekejap sebelum wanita itu melepaskannya dengan gerakan tegas.

Kania tersenyum, getir. Senyum yang bukan lagi manis seperti dulu, tapi penuh luka dan ketegaran.

"Selama tujuh tahun, Rafa .…" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk memukul hati lelaki itu, "Kamu bahkan tidak pernah mau mengantarku, bahkan ketika aku memohon. Jadi sekarang kenapa? Untuk menarik simpatiku? Untuk menebus semuanya dalam satu pagi?"

Rafasya terdiam. Kalimat Kania seperti pisau tumpul yang dipaksakan masuk ke dadanya, perlahan, menyakitkan.

"Tidak perlu, Rafa. Bukankah kamu sendiri yang bilang, jadi perempuan itu harus mandiri dan independen? Tidak perlu merepotkan suami?"

Sekali lagi, Rafasya dipaksa menelan ludahnya sendiri—kalimat yang dulu ia ucapkan dengan sombong kini kembali padanya sebagai hantaman keras. Kata-kata itu berubah menjadi pengingat betapa selama ini ia telah gagal menjadi rumah bagi Kania.

Jawaban-jawaban dari Kania terasa dingin, tapi setiap katanya menembus dinding hatinya yang mulai runtuh.

"Tapi … mulai hari ini aku akan mengantar jemputmu," kata Rafasya akhirnya, lirih tapi bersungguh-sungguh.

Kania menghela napas panjang. "Aku bisa sendiri. Lagi pula, itu mobilku, sudah dibawa pulang, bukan?" Ia menunjuk ke arah mobil putih yang terparkir di halaman.

Rafasya menggeleng pelan. "Aku yang akan antar."

Kania melirik jam di pergelangan tangannya. Daripada berdebat lebih lama dan membuang waktunya, ia akhirnya mengangguk singkat.

"Ya sudah. Tapi cepat. Aku nggak mau terlambat."

Rafasya mengangguk cepat, lalu berjalan menuju kemudi dengan penampilan yang tidak seperti biasanya. Ia hanya mengenakan kaos dan celana di bawah lutut—terlihat santai, sangat berbeda dari citranya sebagai pria yang selalu rapi dan perfeksionis.

Kania sempat memperhatikannya sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Ia duduk di kursi penumpang, menatap ke luar jendela sepanjang jalan. Hening.

Tak ada musik. Tak ada percakapan. Hanya suara mesin mobil dan detak jantung yang terlalu keras di dada Rafasya.

Setibanya di rumah sakit, Kania membuka pintu tanpa menoleh.

"Terima kasih, tapi kamu nggak perlu jemput. Aku bisa pulang sendiri."

Rafasya menahan napas. "Kania … bisa kita bicara nanti malam? Aku cuma ingin memperbaiki semua."

Kania akhirnya menoleh. Tatapan matanya sayu tapi tegas.

"Beberapa hal, Rafa nggak cukup hanya diperbaiki. Kadang, satu-satunya jalan adalah melepaskan."

Ia lalu berjalan masuk ke gedung, meninggalkan Rafasya yang kembali sendirian—dengan hatinya yang belum sembuh, dan penyesalan yang makin menumpuk.

Hari ini, Rafasya memang tidak berniat pergi ke kantor. Sejak pagi pikirannya tidak tenang—terus dipenuhi bayangan Kania yang perlahan menjauh darinya. Entah karena ingin memperbaiki keadaan, atau sekadar mengikuti naluri, ia akhirnya memutuskan untuk menyusul Kania ke rumah sakit tempat istrinya bekerja.

Ia duduk lama di dalam mobil, menatap gedung rumah sakit itu tanpa ekspresi. Dulu, gedung ini hanya sebatas bangunan biasa baginya. Tapi hari ini, tempat itu seolah menyimpan rahasia tentang wanita yang perlahan kehilangan cintanya padanya.

Dengan langkah pelan, Rafasya masuk ke lobi. Ia bahkan tidak tahu di mana tepatnya Kania bertugas. Yang ia tahu, Kania kini seorang dokter spesialis setelah menamatkan pendidikan lanjutnya. Dan selama ini, ia memang tak pernah ikut campur. Menurutnya, selama Kania tidak merepotkannya, itu sudah lebih dari cukup. Masalah biaya? Ia yang tanggung, tanpa pernah benar-benar bertanya: apa Kania bahagia?

Ia menghampiri satpam dan bertanya sopan. Setelah beberapa saat, satpam itu menunjukkan arah ruang praktik Kania.

Saat menyusuri lorong rumah sakit, Rafasya memperhatikan betapa panjang antrean di luar ruangan itu. Ia sempat tercengang—rupanya pasien Kania cukup banyak. Bahkan sangat banyak.

Ia duduk di ujung kursi tunggu, memperhatikan orang-orang yang keluar masuk ruangan. Wajah-wajah pasien dari berbagai usia, dari anak-anak hingga orang tua. Semua tampak percaya dan nyaman saat keluar dari ruangan itu. Rafasya mengamati, menanti entah untuk apa.

Beberapa menit kemudian, matanya menangkap sosok pria berpakaian jas dokter berjalan menuju ruangan Kania. Pria itu membawa sebuah paper bag—bungkus yang tampaknya bukan bawaan rumah sakit, tapi lebih personal. Mungkin makanan. Mungkin hadiah.

Pria itu mengetuk pintu ringan, lalu masuk tanpa ragu.

Rafasya menegang. Dahinya berkerut. Siapa dia? Teman kerja? Atau sesuatu yang lebih? Ia mencoba menepis pikiran itu, tapi otaknya justru semakin ramai oleh kemungkinan-kemungkinan tak diinginkan.

Sepuluh menit berlalu. Pintu ruangan masih tertutup. Pria itu belum keluar.

Perasaan Rafasya mulai kacau. Ada rasa asing yang membakar dadanya perlahan. Cemburu—emosi yang selama ini nyaris tak pernah ia rasakan, kini menggerogoti pikirannya dengan rakus.

Ia berdiri, lalu berjalan mendekat ke ruangan Kania. Tangan kirinya mengepal, kanan hendak mengetuk pintu, tapi tak jadi. Ia hanya berdiri di depan pintu itu. Diam. Menanti. Hatinya berteriak, tetapi logikanya menahan.

Tiba-tiba pintu terbuka.

Dokter pria itu keluar sambil tertawa kecil, lalu berkata, "Terima kasih, Kania Nanti kalau sempat kita makan siang bareng ya."

Kania di dalam ruangan hanya tersenyum kecil sambil mengangguk.

Pria itu menoleh, terkejut melihat Rafasya berdiri tepat di depan pintu. Keduanya saling tatap sejenak.

"Eh, maaf. Anda mau masuk?" tanya pria itu sopan, sedikit bingung.

Rafasya tidak langsung menjawab. Matanya menatap dalam ke ruangan, melihat Kania berdiri di belakang meja kerjanya dengan jas putih, wajahnya tenang tapi jelas tak menyangka melihat Rafasya di sana.

"Ya," ujar Rafasya akhirnya. "Saya mau bicara sebentar dengan istri saya."

Pria itu sedikit mengangguk, lalu pamit sopan sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.

Kania menatap Rafasya, ekspresinya datar. "Kenapa kamu ke sini?"

Rafasya masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya. Suasana hening kembali menguasai ruangan. Bau antiseptik menyatu dengan aroma kopi yang masih mengepul di meja Kania.

"Aku cuma ingin melihatmu bekerja hari ini."

Kania menyandarkan tubuh ke kursi, menatapnya lama. "Kamu sudah melihat, kan?"

Rafasya menarik napas dalam. "Siapa tadi?"

"Rekan sejawat. Namanya dr. Adrian. Kami satu angkatan waktu ambil spesialis."

Jawaban Kania lugas. Tanpa keraguan. Tapi bagi Rafasya, justru kejujuran itu yang menampar.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita ada dia?"

Kania mengangkat alis. "Kenapa aku harus cerita pada seseorang yang bahkan tidak tahu aku tugas di lantai berapa?"

Kata-kata itu mengunci mulut Rafasya. Ia hanya berdiri diam, menahan napas.

"Dulu kamu tidak pernah peduli, Rafa. Sekarang ketika ada orang lain yang memperhatikanku, kamu mulai merasa terganggu? Terlambat. Perhatian itu … bukan barang yang bisa kamu beri hanya saat kamu merasa kehilangan."

Belum sempat Rafasya meresapi seluruh ucapan Kania, pintu kembali diketuk. Seorang satpam muncul, membawa sebuket bunga mawar putih yang masih segar, dibalut pita satin dengan kartu kecil yang terselip di tengahnya.

"Ini untuk dr. Kania. Dari dr. Adrian," ucap satpam itu sambil menyerahkannya dengan sopan.

"Terima kasih, Pak," kata Kania singkat, lalu menerima bunga itu sambil tersenyum tipis.

Senyum itu bukan senyum bahagia yang meledak-ledak, tapi juga bukan senyum canggung. Ada ketenangan dan penerimaan. Seolah hal itu bukan pertama kalinya terjadi.

Rafasya menyaksikan semuanya dari tempatnya berdiri. Matanya tak berkedip menatap buket bunga itu dan senyum itu. Dada yang tadi hanya panas, kini mulai terasa sempit.

Beberapa detik ia terdiam. Hingga akhirnya ia berkata, suaranya rendah namun tajam.

"Apakah wajar seorang teman sejawat memberikan sebuket bunga?"

Kania menoleh dengan tenang. Tatapannya datar, tapi penuh arti.

"Kamu sedang bertanya sebagai suami atau sebagai pria yang baru merasa kehilangan?"

Pertanyaan itu membuat ruang menjadi dingin. Sunyi. Tegang.

Rafasya menatap bunga itu, lalu kembali menatap istrinya. "Jawab saja, Kania."

Kania bangkit dari duduknya, menaruh bunga itu ke dalam vas kosong yang memang biasa ia gunakan di sudut meja.

"Kalau kamu dulu pernah bertanya tentang hari-hariku, mungkin kamu tahu ini bukan pertama kalinya aku dapat bunga. Tapi kamu bahkan tidak pernah tahu apa warna bunga favoritku, Rafa."

Rafasya membalas tajam, tapi suara tetap dijaga agar tidak meledak.

"Jadi kamu menikmati perhatian dari pria lain? Dari Adrian?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istana Yang Ternoda   Epilog

    Sore itu, langit berwarna keemasan. Di taman belakang rumah, keluarga Kania berkumpul di bawah pohon besar yang rindang. Meja panjang dipenuhi makanan kesukaan keluarga, dan di tengahnya ada dua kue kecil dengan lilin berbentuk angka 22.Kania menyalakan lilin itu dengan senyum lembut. "Selamat ulang tahun, Nayyara, Nazeera," ucapnya pelan, suaranya bergetar namun penuh kehangatan.Narendra dan Nayaka duduk di samping ibunya, masing-masing memegang bingkai foto si kembar. Rafasya merangkul Kania, menatapnya dengan pandangan yang menguatkan.Mereka tidak menangis kali ini. Mereka hanya tersenyum, mengenang tawa, cerita, dan doa yang tak pernah putus. Angin sore bertiup lembut, seolah membawa pesan dari kejauhan.Kania menatap lilin yang menyala itu. "Mama, Papa, dan kakak-kakakmu di sini bahagia jadi kalian juga harus bahagia di sana, ya."Mereka meniup lilin bersama-sama. Dan di langit, dua bintang mulai muncul lebih cepat dari biasanya, berkilau di antara warna senja.Bagi keluarga i

  • Istana Yang Ternoda   Keikhlasan Seorang Ibu

    Lima tahun telah berlalu sejak tanah longsor itu merenggut semua harapan. Hari-hari penuh pencarian sudah lama berakhir, dan kabar resmi dari pihak berwenang hanya menyisakan satu kenyataan pahit: Nayara dan Nazeera dinyatakan meninggal dunia. Namun, di hati Kania, cinta kepada putri kembarnya tak pernah terkubur bersama waktu.Setiap tahun, di tanggal ulang tahun si kembar, ia selalu menyiapkan dua kue sederhana dengan lilin di atasnya. Di ruang tamu yang temaram, Kania duduk sendirian menatap nyala lilin itu, seolah dua cahaya kecil itu adalah Nayara dan Nazeera yang pulang sebentar untuk menemuinya.“Selamat ulang tahun, kedua putriku,” ucapnya pelan, suaranya bergetar, “Pasti sekarang kalian sudah tumbuh menjadi remaja cantik. Maaf, Nak. Mama belum bisa menemani kalian untuk saat ini. Tapi asal kalian tahu, cinta Mama tidak akan pernah mati.”Air matanya jatuh satu per satu, membasahi meja. Tangannya mengusap permukaan kue, seperti membelai rambut anak-anaknya.Nayaka, yang kini s

  • Istana Yang Ternoda   Pencarian

    Langit di pegunungan itu diselimuti kabut tebal, hujan belum berhenti sejak tanah longsor pertama kali menghantam villa peninggalan orang tua Tante Vita. Bau lumpur basah bercampur kayu lapuk memenuhi udara.Rafasya berdiri di tepi jurang longsor bersama Nayaka dan Narendra. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya penuh tekad.“Kita tidak bisa menunggu. Setiap detik yang lewat bisa jadi perbedaan antara hidup dan mati,” katanya pada tim Basarnas.Seorang komandan tim Basarnas menatapnya serius. “Medan ini berbahaya. Longsor susulan bisa terjadi kapan saja. Tapi kalau kalian tetap mau turun gunakan ini.”Mereka memberikan tali pengaman, helm khusus, serta alat pendeteksi panas tubuh.Narendra memeriksa peta jalur longsor. “Pa, kalau dari arah sini kita bisa tembus ke sisa pondasi belakang villa. Mungkin mereka sempat mencari perlindungan di situ.”“Baik. Kita coba.” Rafasya mengangguk, suaranya tegas tapi hatinya digelayuti rasa takut.***Sementara itu, di rumah sakit, Kania duduk di ranja

  • Istana Yang Ternoda   Bencana Alam

    Di ruang ICU rumah sakit, suasana mencekam. Detak monitor jantung Pak Hengky terdengar semakin lemah, dan setiap bunyinya membuat semua orang menahan napas. Rafasya berdiri di sisi ranjang, memegang tangan ayahnya yang dingin. Kania duduk di kursi, air matanya terus mengalir.Semua berharap keajaiban, tapi justru sebaliknya—kondisi Pak Hengky memburuk. Dengan napas tersengal-sengal, ia membuka matanya sebentar, menatap Rafasya dan Kania. Bibirnya bergetar, dan hanya satu kata yang berhasil keluar:“Maaf,”Air mata Rafasya pecah seketika. Kania menutup mulutnya, menahan isak. Tapi tak sampai hitungan detik, monitor itu mengeluarkan bunyi panjang yang menusuk telinga. Garis di layar menjadi lurus.Pak Hengky telah pergi… untuk selamanya.Tangis pecah di ruangan itu—bukan hanya karena kehilangan, tapi karena mereka baru saja kehilangan satu-satunya orang yang mungkin mengetahui keberadaan Nayara dan Nazeera. Harapan seakan runtuh dalam sekejap.Prosesi pemakaman berlangsung dalam kehenin

  • Istana Yang Ternoda   Dendam

    Perlahan, kelopak mata Risa dan Rosa mulai terbuka. Cahaya matahari yang menyusup lewat sela tirai tipis mengusik pandangan mereka. Kamar ini, asing. Langit-langitnya bukan yang biasa mereka lihat. Aroma udara pun berbeda. Begitu pula seprei dan selimut yang membalut tubuh mereka.Risa menggeliat pelan, lalu menoleh ke arah Rosa yang juga baru membuka mata.“Rosa … kita di mana?” bisik Risa pelan.Rosa mengernyit. “Aku, nggak tahu. Ini bukan kamar kita.”Keduanya bangkit pelan dari tempat tidur, tubuh terasa lemas seperti habis sakit berhari-hari. Mereka melangkah dengan kaki gemetar menuju jendela, menyingkap tirai—yang terlihat adalah kebun bunga luas, dipenuhi warna-warni mawar dan anggrek yang tertata rapi.Tepat di tengah pemandangan itu, duduk seorang wanita di kursi rotan. Ia sedang menyeruput teh, tampak tenang menatap taman seolah tak terjadi apa-apa. Wanita itu adalah bunda mereka—Tante Vita.Melihat si kembar muncul di ambang pintu kaca, Tante Vita bangkit berdiri dengan se

  • Istana Yang Ternoda   Kehilangan

    Langit mendung menyambut helikopter yang mendarat perlahan di atas tanah lapang pulau terpencil itu. Angin laut menerpa wajah Nayaka dan Rafasya begitu mereka turun. Detak jantung keduanya tak karuan, langkah kaki terburu-buru menuju titik koordinat yang dikirimkan oleh akun anonim itu.Sebelum keberangkatan, Rafasya sempat menitipkan Kania yang masih dirawat di ruang VVIP rumah sakit kepada orang-orang terdekat: Nadira, Bu Susi, Bu Ria, serta dua sahabat lamanya, Pak Burhan dan Pak Haikal. Kepada mereka, ia hanya mengatakan ini adalah urusan pekerjaan mendesak—sementara Nayaka akan ikut untuk “belajar”. Tak seorang pun mencurigai lebih.Sesampainya di lokasi, mereka berdiri terpaku di depan sebuah rumah kayu bergaya kolonial yang tampak tua namun masih terawat. Yang membuat bulu kuduk berdiri adalah kenyataan bahwa pintu rumah itu tidak dikunci.Rafasya dan Nayaka saling pandang, lalu masuk perlahan.Begitu mereka melewati ruang tamu yang lengang, pandangan Rafasya langsung tertumbuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status