Rafasya mengejar Kania sampai ke pintu depan. Napasnya sedikit memburu, tapi ia tetap memaksa suaranya terdengar tegas.
"Aku antar, Kania!" Tangannya dengan cepat menggenggam tangan Kania, tapi hanya sekejap sebelum wanita itu melepaskannya dengan gerakan tegas. Kania tersenyum, getir. Senyum yang bukan lagi manis seperti dulu, tapi penuh luka dan ketegaran. "Selama tujuh tahun, Rafa .…" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk memukul hati lelaki itu, "Kamu bahkan tidak pernah mau mengantarku, bahkan ketika aku memohon. Jadi sekarang kenapa? Untuk menarik simpatiku? Untuk menebus semuanya dalam satu pagi?" Rafasya terdiam. Kalimat Kania seperti pisau tumpul yang dipaksakan masuk ke dadanya, perlahan, menyakitkan. "Tidak perlu, Rafa. Bukankah kamu sendiri yang bilang, jadi perempuan itu harus mandiri dan independen? Tidak perlu merepotkan suami?" Sekali lagi, Rafasya dipaksa menelan ludahnya sendiri—kalimat yang dulu ia ucapkan dengan sombong kini kembali padanya sebagai hantaman keras. Kata-kata itu berubah menjadi pengingat betapa selama ini ia telah gagal menjadi rumah bagi Kania. Jawaban-jawaban dari Kania terasa dingin, tapi setiap katanya menembus dinding hatinya yang mulai runtuh. "Tapi … mulai hari ini aku akan mengantar jemputmu," kata Rafasya akhirnya, lirih tapi bersungguh-sungguh. Kania menghela napas panjang. "Aku bisa sendiri. Lagi pula, itu mobilku, sudah dibawa pulang, bukan?" Ia menunjuk ke arah mobil putih yang terparkir di halaman. Rafasya menggeleng pelan. "Aku yang akan antar." Kania melirik jam di pergelangan tangannya. Daripada berdebat lebih lama dan membuang waktunya, ia akhirnya mengangguk singkat. "Ya sudah. Tapi cepat. Aku nggak mau terlambat." Rafasya mengangguk cepat, lalu berjalan menuju kemudi dengan penampilan yang tidak seperti biasanya. Ia hanya mengenakan kaos dan celana di bawah lutut—terlihat santai, sangat berbeda dari citranya sebagai pria yang selalu rapi dan perfeksionis. Kania sempat memperhatikannya sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Ia duduk di kursi penumpang, menatap ke luar jendela sepanjang jalan. Hening. Tak ada musik. Tak ada percakapan. Hanya suara mesin mobil dan detak jantung yang terlalu keras di dada Rafasya. Setibanya di rumah sakit, Kania membuka pintu tanpa menoleh. "Terima kasih, tapi kamu nggak perlu jemput. Aku bisa pulang sendiri." Rafasya menahan napas. "Kania … bisa kita bicara nanti malam? Aku cuma ingin memperbaiki semua." Kania akhirnya menoleh. Tatapan matanya sayu tapi tegas. "Beberapa hal, Rafa nggak cukup hanya diperbaiki. Kadang, satu-satunya jalan adalah melepaskan." Ia lalu berjalan masuk ke gedung, meninggalkan Rafasya yang kembali sendirian—dengan hatinya yang belum sembuh, dan penyesalan yang makin menumpuk. Hari ini, Rafasya memang tidak berniat pergi ke kantor. Sejak pagi pikirannya tidak tenang—terus dipenuhi bayangan Kania yang perlahan menjauh darinya. Entah karena ingin memperbaiki keadaan, atau sekadar mengikuti naluri, ia akhirnya memutuskan untuk menyusul Kania ke rumah sakit tempat istrinya bekerja. Ia duduk lama di dalam mobil, menatap gedung rumah sakit itu tanpa ekspresi. Dulu, gedung ini hanya sebatas bangunan biasa baginya. Tapi hari ini, tempat itu seolah menyimpan rahasia tentang wanita yang perlahan kehilangan cintanya padanya. Dengan langkah pelan, Rafasya masuk ke lobi. Ia bahkan tidak tahu di mana tepatnya Kania bertugas. Yang ia tahu, Kania kini seorang dokter spesialis setelah menamatkan pendidikan lanjutnya. Dan selama ini, ia memang tak pernah ikut campur. Menurutnya, selama Kania tidak merepotkannya, itu sudah lebih dari cukup. Masalah biaya? Ia yang tanggung, tanpa pernah benar-benar bertanya: apa Kania bahagia? Ia menghampiri satpam dan bertanya sopan. Setelah beberapa saat, satpam itu menunjukkan arah ruang praktik Kania. Saat menyusuri lorong rumah sakit, Rafasya memperhatikan betapa panjang antrean di luar ruangan itu. Ia sempat tercengang—rupanya pasien Kania cukup banyak. Bahkan sangat banyak. Ia duduk di ujung kursi tunggu, memperhatikan orang-orang yang keluar masuk ruangan. Wajah-wajah pasien dari berbagai usia, dari anak-anak hingga orang tua. Semua tampak percaya dan nyaman saat keluar dari ruangan itu. Rafasya mengamati, menanti entah untuk apa. Beberapa menit kemudian, matanya menangkap sosok pria berpakaian jas dokter berjalan menuju ruangan Kania. Pria itu membawa sebuah paper bag—bungkus yang tampaknya bukan bawaan rumah sakit, tapi lebih personal. Mungkin makanan. Mungkin hadiah. Pria itu mengetuk pintu ringan, lalu masuk tanpa ragu. Rafasya menegang. Dahinya berkerut. Siapa dia? Teman kerja? Atau sesuatu yang lebih? Ia mencoba menepis pikiran itu, tapi otaknya justru semakin ramai oleh kemungkinan-kemungkinan tak diinginkan. Sepuluh menit berlalu. Pintu ruangan masih tertutup. Pria itu belum keluar. Perasaan Rafasya mulai kacau. Ada rasa asing yang membakar dadanya perlahan. Cemburu—emosi yang selama ini nyaris tak pernah ia rasakan, kini menggerogoti pikirannya dengan rakus. Ia berdiri, lalu berjalan mendekat ke ruangan Kania. Tangan kirinya mengepal, kanan hendak mengetuk pintu, tapi tak jadi. Ia hanya berdiri di depan pintu itu. Diam. Menanti. Hatinya berteriak, tetapi logikanya menahan. Tiba-tiba pintu terbuka. Dokter pria itu keluar sambil tertawa kecil, lalu berkata, "Terima kasih, Kania Nanti kalau sempat kita makan siang bareng ya." Kania di dalam ruangan hanya tersenyum kecil sambil mengangguk. Pria itu menoleh, terkejut melihat Rafasya berdiri tepat di depan pintu. Keduanya saling tatap sejenak. "Eh, maaf. Anda mau masuk?" tanya pria itu sopan, sedikit bingung. Rafasya tidak langsung menjawab. Matanya menatap dalam ke ruangan, melihat Kania berdiri di belakang meja kerjanya dengan jas putih, wajahnya tenang tapi jelas tak menyangka melihat Rafasya di sana. "Ya," ujar Rafasya akhirnya. "Saya mau bicara sebentar dengan istri saya." Pria itu sedikit mengangguk, lalu pamit sopan sebelum pergi meninggalkan mereka berdua. Kania menatap Rafasya, ekspresinya datar. "Kenapa kamu ke sini?" Rafasya masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya. Suasana hening kembali menguasai ruangan. Bau antiseptik menyatu dengan aroma kopi yang masih mengepul di meja Kania. "Aku cuma ingin melihatmu bekerja hari ini." Kania menyandarkan tubuh ke kursi, menatapnya lama. "Kamu sudah melihat, kan?" Rafasya menarik napas dalam. "Siapa tadi?" "Rekan sejawat. Namanya dr. Adrian. Kami satu angkatan waktu ambil spesialis." Jawaban Kania lugas. Tanpa keraguan. Tapi bagi Rafasya, justru kejujuran itu yang menampar. "Kenapa kamu nggak pernah cerita ada dia?" Kania mengangkat alis. "Kenapa aku harus cerita pada seseorang yang bahkan tidak tahu aku tugas di lantai berapa?" Kata-kata itu mengunci mulut Rafasya. Ia hanya berdiri diam, menahan napas. "Dulu kamu tidak pernah peduli, Rafa. Sekarang ketika ada orang lain yang memperhatikanku, kamu mulai merasa terganggu? Terlambat. Perhatian itu … bukan barang yang bisa kamu beri hanya saat kamu merasa kehilangan." Belum sempat Rafasya meresapi seluruh ucapan Kania, pintu kembali diketuk. Seorang satpam muncul, membawa sebuket bunga mawar putih yang masih segar, dibalut pita satin dengan kartu kecil yang terselip di tengahnya. "Ini untuk dr. Kania. Dari dr. Adrian," ucap satpam itu sambil menyerahkannya dengan sopan. "Terima kasih, Pak," kata Kania singkat, lalu menerima bunga itu sambil tersenyum tipis. Senyum itu bukan senyum bahagia yang meledak-ledak, tapi juga bukan senyum canggung. Ada ketenangan dan penerimaan. Seolah hal itu bukan pertama kalinya terjadi. Rafasya menyaksikan semuanya dari tempatnya berdiri. Matanya tak berkedip menatap buket bunga itu dan senyum itu. Dada yang tadi hanya panas, kini mulai terasa sempit. Beberapa detik ia terdiam. Hingga akhirnya ia berkata, suaranya rendah namun tajam. "Apakah wajar seorang teman sejawat memberikan sebuket bunga?" Kania menoleh dengan tenang. Tatapannya datar, tapi penuh arti. "Kamu sedang bertanya sebagai suami atau sebagai pria yang baru merasa kehilangan?" Pertanyaan itu membuat ruang menjadi dingin. Sunyi. Tegang. Rafasya menatap bunga itu, lalu kembali menatap istrinya. "Jawab saja, Kania." Kania bangkit dari duduknya, menaruh bunga itu ke dalam vas kosong yang memang biasa ia gunakan di sudut meja. "Kalau kamu dulu pernah bertanya tentang hari-hariku, mungkin kamu tahu ini bukan pertama kalinya aku dapat bunga. Tapi kamu bahkan tidak pernah tahu apa warna bunga favoritku, Rafa." Rafasya membalas tajam, tapi suara tetap dijaga agar tidak meledak. "Jadi kamu menikmati perhatian dari pria lain? Dari Adrian?"Kania menatapnya lama, begitu dingin seakan tidak ada lagi emosi yang tersisa untuk dibagi."Aku menikmati perhatian dari siapa pun yang memperlakukanku sebagai manusia bukan beban rumah tangga."Perkataan itu menohok. Sunyi kembali menguasai ruangan. Rafasya tidak tahu lagi bagaimana harus berdiri di hadapan wanita yang dulu ia pikir akan selalu menunggu, selalu mengalah."Kamu berubah, Kania."Kania menghela napas, matanya menatap berkas-berkas pasien di meja, lalu beralih ke arah Rafasya dengan sorot mata yang nyaris mati rasa."Tidak, Rafa. Aku hanya kembali menjadi diriku sendiri—yang selama tujuh tahun kamu biarkan terkubur pelan-pelan."Rafasya ingin bicara lagi, tapi suara panggilan dari luar ruangan terdengar. Perawat mengetuk pintu."Dok, pasien selanjutnya sudah menunggu."Mau tidak mau akhirnya Rafasya pun keluar karena tidak mau mengganggu pekerjaan Kania. Rafasya masih duduk terpaku di bangku lorong rumah sakit yang mulai lengang. Punggungnya bersandar lemas, kepalanya
Rafasya mengejar Kania sampai ke pintu depan. Napasnya sedikit memburu, tapi ia tetap memaksa suaranya terdengar tegas."Aku antar, Kania!"Tangannya dengan cepat menggenggam tangan Kania, tapi hanya sekejap sebelum wanita itu melepaskannya dengan gerakan tegas.Kania tersenyum, getir. Senyum yang bukan lagi manis seperti dulu, tapi penuh luka dan ketegaran."Selama tujuh tahun, Rafa .…" suaranya nyaris berbisik, tapi cukup jelas untuk memukul hati lelaki itu, "Kamu bahkan tidak pernah mau mengantarku, bahkan ketika aku memohon. Jadi sekarang kenapa? Untuk menarik simpatiku? Untuk menebus semuanya dalam satu pagi?"Rafasya terdiam. Kalimat Kania seperti pisau tumpul yang dipaksakan masuk ke dadanya, perlahan, menyakitkan."Tidak perlu, Rafa. Bukankah kamu sendiri yang bilang, jadi perempuan itu harus mandiri dan independen? Tidak perlu merepotkan suami?"Sekali lagi, Rafasya dipaksa menelan ludahnya sendiri—kalimat yang dulu ia ucapkan dengan sombong kini kembali padanya sebagai hanta
Kania baru saja keluar dari kamar mandi. Embun hangat masih menempel di kulitnya yang lembab, handuk putih menggantung longgar di bahunya. Ruangan itu, kamar yang selama ini menjadi tempat ternyaman baginya, masih sama—seolah waktu tak pernah bergerak sejak dua bulan lalu ia meninggalkannya. Tak ada debu, tak ada kekacauan. Kania memang mencintai keteraturan, bahkan di tengah kekacauan batin yang pernah ia alami.Tangannya mengusap pelan helaian rambut basah, lalu duduk di depan meja rias. Wajahnya menatap balik dari cermin—sorot mata yang dulu penuh harap kini hanya menyisakan kebekuan. Tujuh tahun. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk dibodohi. Untuk menjadi boneka. Untuk menjalani hidup dengan topeng.Lalu terdengar suara langkah. Pintu kamar yang sedikit terbuka kini benar-benar terbuka. Rafasya berdiri di sana. Diam. Tak bersuara.Tak ada senyuman. Tak ada kata sapaan. Hanya tatapan mata yang penuh gelisah dari lelaki itu, sementara Kania tetap di tempatnya—diam, membisu,
Setelah perbincangan yang membakar luka-luka lama, Kania hanya menghela napas. Dalam. Ia membuka laci kecil dekat meja, mengeluarkan kunci rumah, lalu meletakkannya di telapak tangan Rafasya. Langit desa masih berkabut ketika ia keluar dari rumah, mengenakan jaket tipis dan menenteng tas kecil berisi beberapa dokumen dan pakaian. Di pelataran rumah, mobil Rafasya sudah menunggu. Ia membuka pintu belakang, hendak masuk, tapi tatapannya tiba-tiba jatuh pada satu benda di dalam mobil. Sebuah tas kecil. Penuh debu. Tapi ia tahu betul apa isinya. Dengan perlahan, ia duduk di jok, mengambilnya. Tangannya gemetar saat membuka resleting dan menemukan baju bayi mungil itu kembali. Warna putih dengan motif awan kecil. Masih wangi sabun. Dan di bawahnya terselip foto USG terakhir—yang dulu ia sembunyikan dari Rafasya karena kecewa, karena lelah berharap. Rafasya yang melihat dari samping tak sanggup membuka suara. Kania menatap barang-barang itu lama. Wajahnya datar. Hampa. Lalu ia mem
Dua bulan telah berlalu. Dan selama itu pula, Rafasya hidup seperti bayangan—bergerak, bernapas, tetapi tanpa jiwa. Siang ia gunakan untuk bekerja, membenamkan diri dalam kesibukan yang tak lagi terasa berarti. Sedangkan malam ia habiskan untuk mencari. Menelusuri lorong-lorong kenangan yang ditinggalkan Kania. Mencari ke mana pun jejak itu mungkin tertinggal. Ia menghubungi semua teman Kania, menelusuri rumah sakit, toko langganannya, bahkan tempat-tempat yang paling sepele yang dulu sempat mereka datangi. Tapi hasilnya nihil. Ponsel Kania tetap mati. Tak ada jejak transaksi. Tak ada sinyal keberadaan. Seolah Kania benar-benar menghapus dirinya dari dunia Rafasya. Berulang kali ia mendatangi Nadira—sahabat Kania satu-satunya yang ia tahu bisa menjadi kunci. Tapi, Nadira tetap bungkam, atau tepatnya—terlalu marah untuk membuka suara. “Kalau kamu datang buat minta bantuan, kamu telat, Rafasya. Terlalu telat.” Dan yang paling menyakitkan adalah saat kembali ke rumah, ibunya—yang
Sudah tiga hari sejak Kania menghilang dari rumah sakit—tanpa suara, tanpa jejak, hanya meninggalkan secarik kertas kecil dengan tinta hitam yang mencabik diam, surat cerai. Tiga hari pula sejak Rafasya menemukannya di atas ranjang yang dingin dan kosong seperti hatinya. Kosong yang tak pernah ia sadari bisa terasa begitu menyiksa. Surat itu tak lebih dari selembar kertas tipis. Tapi saat Rafasya membacanya, rasanya seperti ada pisau yang perlahan-lahan mengiris dari dalam—bukan darah yang keluar, tapi penyesalan yang datangnya selalu terlambat. Dan selama tiga hari itu, Kania benar-benar lenyap. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Tak ada kabar. Yang tersisa hanyalah bekas lekuk di bantal yang tak lagi hangat, dan aroma samar parfumnya yang mulai memudar di baju-baju yang masih tergantung seperti jiwanya yang sudah lama digantung dalam ketidakpedulian. Seperti biasa, Rafasya memakai topengnya. Ia tetap bekerja. Tetap menghadiri rapat. Tetap makan malam bersama ibunya yang terus berc