Ruangan seketika hening. Mama dan Papa Weni saling bertatapan. Mereka tampak sedang mempertimbangkan perkataanku."Ini bukti kalau saya sedang ada tugas. Kalau Mama dan Papa tidak percaya."Aku melirik Bang Wira yang sibuk memperhatikanku sejak tadi. Dari wajahnya, masih belum percaya.Baiklah. Tidak masalah, aku maish punya banyak waktu."Papa, Rea kapan berangkat sekolahnya? Udah jam segitu."Kami menoleh ke arah yang ditunjuk Rea."Rea berangkat sama Om, ya, hari ini. Papa lagi sibuk.""Sama Om?" tanya Rea, matanya berbinar."Iya, ayo."Bang Wira menggandeng tangan Rea. Mereka sudah keluar rumah.Aku mengembuskan napas lega. Itu tandanya, Bang Wira sudah percaya denganku. Meskipun hanya sebatas menjaga Rea."Jangan lupa telepon Papa setiap hari. Rea juga tetap butuh kamu."Apakah ini artinya, mereka sudah mempercayaiku?"Pasti, Pa. Saya berangkat dulu."Tanpa basa-basi, aku menyalami Mama dan Papa Weni. Mereka terlihat biasa saja sekarang."Makasih."Eh? Aku berbalik. Menatap Weni
"Hah?! Hamil? Hamil anak siapa?" tanyaku terkejut, sambil melepaskan pelukan Ayna. Wanita ini. Kenapa dia bisa melakukan hal seperti itu? Padahal dulu, aku mengenalnya lemah lembut. Tidak pernah macam-macam. Lalu sekarang?Sekarang? Kenapa?"S—sama laki-laki tadi, Ndre." Isak tangis Ayna pecah. Bisa bahaya. "Sstt, jangan nangis. Nanti ada yang ngira enggak-enggak lagi."Ayna tetap menangis. Hampir lima menit aku menunggunya. Mana ponselku sejak tadi berdering terus."Aku gak tau harus ngapain, Ndre. Aku bingung.""Ngapain bingung? Hubungi pria itu, minta tanggung jawab dia. Masa maunya enak aja.""Gak segampang itu, Ndre. Enggak."Apanya sih? Aku mengambil paksa ponsel Ayna. Bicara saja sulit sekali. Dia mau anak itu lahir tanpa papa? Mendingan memaksa, dari pada tidak sama sekali. Terdengar nada sambung. Aku menyenderkan punggung, menunggu telepon diangkat. "Ngapain lagi, sih, telepon? Sudah aku bilang, kamu gak usah hubungin aku. Dasar cewek gak berguna."Aku mengernyit. Kasar
"Hah?! Gila kali, ya." Refleks, aku berteriak. Aku menggelengkan kepala. Tidak paham dengan jalan pemikiran kedua wanita ini. "Gak ada yang gila, Ndre. Kamu lebih gila, kalau membiarkan Ayna melahirkan anak sendirian.""Kamu tahu, Ina, janin yang ada di kandungan Ayna bukan anak aku. Aku saja tidak tahu seluk beluknya, lalu aku yang disuruh untuk bertanggung jawab, begitu? Enak saja.""Andre, ayolah. Aku mohon. Aku gak mau merasa bersalah terus ke Ayna, karena udah ngenalin cowok kurang ajar itu."Tawaku meledak mendengarnya. "Harusnya, kamu minta pria itu bertanggung jawab. Bukan orang lain yang gak tau apa-apa."Sungguh, kalau mereka berdua bukan wanita, sudah aku habisi sejak tadi. "Aku mesini untuk pekerjaan, bukan umtuk dipaksa-paksa menikahi wanita. Niatnya mau hidup tenang, malah begini."Aku beranjak. Tidak tahan dengan pembicaraan kami ini. Rasa laparku mendadak jadi kenyang. Aku sepertinya harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan di sini. "Ndre."Ah, aku terlalu lemah
"Mama apaan, sih? Baru juga Andre datang. Udah marah-marah. Awas cepat tua."Wajah Mama memerah. Dia hampir saja berteriak kembali, kalau Rea tidak berteriak. "Oma gak boleh teriak ke Papa." Rea menatap Mama kesal, aku bahkan harus menahannya agar tidak kesana."Ini juga. Tinggal di rumah ibunya, malah jadi melawan kayak gini."Mama berkacak pinggang, menatap Rea galak. Membuatku harus menggendong Rea. "Betul kata Rea, Ma. Andre udah besar. Gak perlu diatur-atur lagi. Andre gak butuh." "Kamu ini, susah banget diomongin. Kena racunnya si Weni kayaknya kalian."Wajah Mama memerah. Berganti berpindah ke Kak Anton. "Kamu segera juga pisah dari Linda. Saya sudah tidak merestui lagi." Ketus Mana"Apalagi yang Mama cari? Ma, kalau gak ada Kak Anton, gak bakalan ada rumah ini. Semuanya gak ada." Aku berusaha membela kakak iparku itu.""Saya tidak akan pisah dari Linda, Ma. Lagi pula, Andre masih butuh banyak bantuan saya."Terdengar tawa Mama. "Bantuan apa? Bantu buat kembali sama wanita
"K—kamu nyerah, Mas? Nyerah sama hubungan kita?" Suara Mbak Linda terdengar bergetar. Aku buru-buru menggandeng tangan Rea. Kami mendesak masuk ke dalam rumah. "Iya, Lin. Aku nyerah. Udah berusaha bertahan, cukup. Aku gak bisa lagi.""Kakak gak bisa kayak gitu, dong. Kenapa gak bisa bertahan?" Aku menatap Kak Anton. Sejenak, kami semua diam. Apalagi melihat ada Rea. "Kak?" Aku menyuruh Rea masuk ke dalam kamarku yang ada di sini. Kak Anton terduduk. Pandangannya tampak kosong, seperti telah berbuat kesalahan besar. Aku menoleh ke Mbak Linda yang ikut duduk di lantai. Beberapa detik, dia terisak. Jujur. Berada di posisi ini sulit. Aku jongkok, menatap Mbak Linda. Berapa tahun mereka menikah, harus menyerah sekarang. Semuanya karena Mama. Gemetar tanganku mengambil ponsel, diam-diam merekam semuanya. "Capek aku berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Gak berhenti buat membangun semuanya. Lalu sekarang? Benar-benar tahun yang sia-sia."Mbak Linda memukul lantai. Wajahnya tamp
"Pak, ini maksudnya gimana, ya? Maaf, saya belum paham."Aku menelan ludah, meremas amplop putih itu. Bisa bahaya, apalagi sedang gawat sekali sekarang. Apa reaksi Kak Anton melihat kertas ini? Apakah dia juga sama terkejutnya sepertiku? Atau biasa-biasa saja. "Karena kinerja yang benar-benar menurun sampai merugikan perusahaan. Bahkan, kantor cabang di Semarang goyang gara-gara kakak ipar kamu."Separah itukah? Aku mengusap wajah mendengarnya. "Saya udah berusaha kasih keringanan. Biar Anton memperbaiki kinerjanya. Tapi percuma. Jangankan memperbaiki, dia saja tidak memenuhi panggilan saya."Aku menatap amplop di tangan. "Apakah tidak ada keringanan lagi, Pak? Saya mohon, Pak. Keluarga saya lagi banyak masalah.""Itu udah paling ringan. Untung kakak kamu gak dimasukin ke penjara."Astaga. Itu lebih parah."Maaf, ya. Saya harus mengikuti peraturan dari kantor. Meskipun kamu adalah karyawan kebanggaan da paling profesional, tapi maaf. Saya gak bisa bantu kamu."Baiklah. Dari pada a
"Abang tahu apa?" tanyaku hati-hati."Tahu banyak. Soal kamu yang mulai mendekati Weni lagi, semuanya. Saya tahu soal itu. Dan kamu berniat untuk kembali dengan Weni, bukan?"Astaga. Aku menelan ludah, Bang Wira bisa tahu begitu dari mana?Jangan-jangan, Weni sudah memberitahukan semuanya pada Bang Wira. Ah, ini kurang tepat. "Kenapa diam?" tanya Bang Wira galak. "Iya, Bang. Saya berniat kembali dengan Weni dan saya butuh restu dari Abang kembali."Terdengar tawa. Bang Wira menggelengkan kepala, seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan tadi. "Kamu tidak salah? Mencari mati atau bagaimana?"Eh? Enak saja. Aku memalingkan wajah, sedikit kesal dengan pertanyaan Bang Wira. "Apa yang sudah kamu persiapkan untuk kembali membujuk saya?"Aduh, pertanyaan yang rumit. Aku menatap ke arah lain, sedang mempersiapkan untuk menjawab pertanyaan Abangnya Weni. Tanganku merogoh kantong celana, mengambil kunci mobil yang sudah aku persiapkan untuk Weni dan kunci rumah. Bang Wira menatapku
"Surat perjanjian?" tanya Bang Wira sambil mengambil surat yang aku sodorkan.Weni menatapku. Dia terlihat sekali tidak percaya."Coba kamu baca, Wen." Bang Wira akhirnya menyerahkan kertas itu setelah membacanya."Ada ide apa kamu buat surat itu?""Biar saya bisa menepati janji saya sendiri, Bang."Bang Wira mengangguk-anggukkan kepala. Dia mengerti apa yang barusan aku katakan.Weni membaca hampir sepuluh menit. Aku menatapnya, berharap tidak ada kesalahan yang ditulis oleh Dino tadi."Gimana, Wen?""Weni setuju, Bang."Yes! Aku mengepalkan jemari."Kapan sidang kedua kalian?""Lusa, Bang." Aku yang menjawab. Weni diam saja, dia saja tadi takut-takut menjawab pertanyaan Bang Wira."Temui Abang besok di kantor. Siang hari. Ayo kita pulang, Weni."Aku melongo mendengarnya. Menemui Bang Wira di kantornya? Dia mau ngapain?Mau mempermalukanku begitu? Astaga, aku tidak mau kalau begitu.Namun, saat hendak bicara, Bang Wira sudah keluar dari rumah makan. Aku menepuk dahi. Jangan sampai ap