"Ma, aku ke rumah sakit dulu. Si Weni kecelakaan katanya."
Mama yang sibuk menonton televisi menoleh. "Halah, paling juga cuma luka biasa. Udah, kamu tunggu di sini aja, gak penting dia."
Masalahnya, aku dengar tadi, yang mengangkat telepon bilang ke kamar jenazah. Bagaimana kalau beneran si Weni meninggal? Bisa bahaya.
"Sebentar aja, Ma. Nanti Aku pulang lagi." Aku memakai jaket berwarna hitam, kemudian mengambil kunci mobil.
Setelah berdebat dengan Mama cukup lama, akhirnya aku bisa pergi juga. Aku menghela napas pelan, mengambil kunci mobil.
Lima belas menit perjalanan ke rumah sakit. Aku memarkirkan mobil, bergegas bertanya pada perawat yang lewat.
"Oh, betul, Pak. Korban sudah ada di kamar jenazah. Bisa dikuburkan setelah melunasi biaya rumah sakit."
Aku terdiam. Jadi, Weni betulan meninggal? Ya ampun, bagaimana nasibku mengurus anak-anak nanti?
Tanpa berterima kasih pada perawat, aku langsung ke kamar jenazah. Ingin melihat wanita itu secara langsung.
Sampai di depan kamar jenazah, aku berhenti. Ada seorang pria di sana. Dia yang menghubungiku tadi. Pria itu langsung berdiri, di tangannya ada ponsel milik Weni.
"Bapak suami korban?" tanyanya sambil menatapku.
"Iya. Sini ponselnya, terima kasih sudah menunggu."
Setelah mengatakan itu, aku langsung masuk ke ruang jenazah. Ruangan remang ini terlihat menyeramkan sekali, aku mengusap tengkuk.
"Saya keluarga korban tabrak lari, Pak." Aku menyimpan ponsel Weni ke saku, berbicara dengan dua petugas di ruang jenazah.
Pertuga itu mengajakku mengikuti mereka. Kami berjalan ke jenazah yang sudah ditutupi kain putih yang sudah kotor oleh bercak darah. Berdasarkan informasi dari petugas, polisi sudah datang ke TKP. Tinggal membawa kasus ini lebih jauh untuk menyelidiki siapa yang menabrak.
Aku menutup hidung. Bau amis darah tercium pekat sekali. Saat penutup kain putih dibuka, hampir saja aku meloncat ke belakang. Jenazah Weni mengerikan.
Mataku menyipit, memindai pakaian yang masih terlihat warnanya. Perasaan tadi, Weni tidak memakai pakaian itu, tapi Weni memang punya pakaian warna itu.
"Bagaimana, Pak? Benar keluarga Bapak? Kalau benar, silakan melunasi biaya administrasi untuk membawa jenazahnya pulang."
Bagaimana aku bisa tahu, kalau itu jenazah Weni? Wajahnya saja sudah hancur. Kakinya terlihat patah. Aku bergedik ngeri.
"Pak?" Salah satu petugas kembali menegurku yang melamun.
Aku terdiam sejenak.
Dengan bukti ponsel di saku jenazah itu, aku yakin. Ini memang Weni. Tidak salah lagi.
Aku mengacak rambut, melunasi semua administrasi. Menghubungi mama, memberitahukan semuanya.
"A—apa? Weni meninggal?"
Suara Mama memang terdengar kaget, tapi bernada tidak peduli. Aku mengembuskan napas pelan, kembali mengacak rambut.
"Iya, Ma. Mama siap-siap di rumah. Jenazahnya dimandiin di sini aja, langsung dikubur. Udah hancur banget." Aku menatap lurus ke pintu ruang jenazah.
"Terus anak-anak kamu gimana? Mama gak mau repot, ya."
Ya ampun, Mama masih saja perhitungan. Aku mendecak pelan.
"Hubungin keluarganya Weni aja, Ma. Kasih tahu sekalian. Andre matiin teleponnya, Ma." Aku tidak mau ambil pusing. Sudah cukup pusing di sini.
Selesai memandikan jenazah Weni, aku langsung ke makam. Mengantarkan Weni ke peristirahatan terakhirnya. Aku juga sudah menghubungi Mama Weni, katanya langsung dikuburkan saja.
Aku berkali-kali menghela napas, menatap makam Weni. Petugas yang membantuku sudah kembali ke rumah sakit.
"Maaf, Wen." Aku meremas tanah merah, dadaku sedikit sesak.
Kembali aku mengingat perkataan sebelum Weni pergi. Ah, aku menyuruhnya untuk tidak kembali lagi ke rumah. Apakah itu doa?
Gemetar aku berdiri. Ada perasaan bersalah. Bayi kami baru berusia satu bulan, lalu Weni sudah meninggalkanku?
Bagaimana perasaan Weni? Apakah dia marah padaku? Ah, dia jarang sekali mengungkapkan semuanya, dia memang pendiam.
Dulu, Weni ceria. Dia cantik, menarik di mataku. Namun, dia berubah semenjak melahirkan anak kami yang pertama. Entah apa alasannya.
Aku mengusap batu nisan.
"Istirahatlah yang tenang, Istriku."
***
Rumahku sudah ramai. Banyak saudara yang sudah datang. Mereka memasang wajah sedih, ikut berbelasungkawa.
"Andre!"
Aku berhenti melangkah. Ada yang memanggil barusan. Abangnya Weni, aku menelan ludah. Bang Wira.
"Ada yang mau Abang bicarain sama kamu."
"Bicara apa, Bang?"
"Gak di sini."
Bang Wira berjalan duluan. Dia mengajak ke kamarku. Menyuruh untuk mengunci pintu. Sepertinya, ini benar-benar serius.
Kami saling berhadapan. Apa yang akan dibicarakan oleh Bang Wira?
Jujur saja, aku jarang berbicara dengan Bang Wira. Dia sedikit menyeramkan. Maka nya, aku malas kalau harus berhadapan dengannya.
Tanpa aba-aba, Bang Wira meninjuku. Membuatku terhuyung ke belakang.
Tiga kali tinju itu mendarat di wajahku. Aku menatap tidak mengerti, setelah serangan itu berhenti. Apa yang terjadi?
"Ada apa, Bang? Tiba-tiba ninju? Saya gak punya salah sama Abang, ya." Aku menatap kesal, sambil mengusap bibir. Ada darah yang menetes.
"Apa? Kamu mau ninju balik? Mau ngapain, hah?!" Wajah Bang Wira terlihat galak sekali.
Aku terdiam mendengar perkataan Bang Wira. Sepertinya, ada yang terjadi. Ya, tidak mungkin Bang Wira meninju tanpa sebab.
Bang Wira mendekatiku. Dia tidak meninju lagi, tapi mengacungkan ponsel miliknya. Aku menatap tidak mengerti, dia menyalakan rekaman.
"Bang, aku capek." Terdengar isak tangis. "Aku lelah di sini, Bang. Aku mau pergi aja."
Aku menelan ludah. Itu suara Weni. Suaranya terdengar tersiksa, terdengar menyedihkan sekali.
"A—aku kayak pembantu di rumah ini, Bang. Bukan menantu. Aku menyerah menjadi istri Mas Andre, Bang. Dia tidak pernah membelaku sebagai istrinya. Dia ikut mendukung Mamanya, lalu siapa yang mendukungku?" Weni terisak-isak.
Pandanganku mengabur. Terbayang-bayang ketika Weni hamil sampai melahirkan, perjuangannya. Juga ketika aku membentaknya.
Weni hanya diam ketika aku membentaknya. Dia tidak melawan, tapi hatinya menjerit.
"Weni ingin bertahan, tapi Weni gak sanggup lagi, Bang. Weni capek."
Rekaman itu berhenti. Aku terduduk di lantai. Jadi selama ini, Weni hanya berpura-pura kuat di hadapanku?
Bang Wira mencengkeram kerah kemejaku. Menyuruh untuk berdiri, menyamakan tingginya.
"Weni stres tinggal sama kamu. Untung Adek saya belum gila tinggal di sini. Dan saya pasti akan selalu melindunginya!"
Tunggu, ada yang aneh dengan perkataan Bang Wira barusan. Bukankah Weni sudah meninggal? Kenapa dia bilang akan melindungi Weni?
A—apakah Weni belum meninggal? Istriku belum meninggal?
***
Jangan lupa like dan komen, yaa.
"Maafkan Andre. Selama ini, Andre menghindar dari Mama. Andre salah, Ma. Maafkan Andre."Dulu, aku benar-benar menyayangi Mama. Menjaga pola makannya, semua aku jaga.Karena ada amanat dari Papa, tapi semenjak Mama memanfaatkan semuanya dariku, aku tidak lagi percaya pada Mama.Ah, apakah sekarang waktunya penyesalan? Atau saatnya memperbaiki semuanya?Aku mencium tangan Mama berkali-kali. Sedangkan Weni mengusap punggungku, berusaha menenangkan."Jangan teriak-teriak, Ndre." Mbak Linda menegurkuAstaga. Aku menutup mulut. Menatap Mama yang tampak payah. Sepertinya, rasa sakit itu terasa sekali."Mimpi apa Mama tadi malam, kamu bisa adadi sini hari ini, Ndre."Kami semua menoleh ke Mama. Wajah Mama terlihat tirus, sangat berbeda dari empat tahun yang lalu.Ini kegagalanku selanjutnya. Setelah Weni dan menegur Mama dulu. Ini juga yang menyakitkan bagiku."Semua karena Mbak Linda, Ma." Pandanganku juga beralih ke Weni. "Dan istri Andre, Weni.""Iya, Ndre. Mama tahu. Mama menyesal sudah
"Mas, ayo." Aku mengangguk, mengambil alih koper yang dibawa Weni. Kemudian mengunci pintu rumah. "Kebiasaan, deh. Aku mau bawa kopernya gak boleh.""Gak boleh, dong. Nanti kamu kecapekan.""Udah kayak pengantin baru aja, nih."Eh? Kami berdua kompak menoleh ke depan. Mbak Linda melipat tangannya di depan dada, tersenyum. "Mbak. Apa kabar?" Weni langsung menyalami Mbak Linda. Kami memang jarang bertemu dengan Mbak Linda dan Kak Anton. Ada banyak alasannya, salah satunya adalah pekerjaan aku dan Kak Anton. Rencananya, aku dan Weni akan liburan sekarang. Rea sudah di dalam mobil. Menunggu kami berangkat saja. "Eh, mana Rea cantik?" tanya Mbak Linda sambil menoleh ke mobil. "Di dalam mobil sama Putra, Mbak. Mana Kak Anton?" tanyaku sambil merangkul pinggang Weni. Putra adalah bayiku dulu. Sekarang, dia sudah empat tahun. Nah, selama empat tahun terakhir, aku memutuskan pindah ke rumah yang lebih luas. Dua tahun aku ditugaskan ke luar kota, mengajak Rea dan Putra. Sekarang, sud
"Sstt...."Aku menoleh ke Kak Anton yang baru saja memberikan kode. Dia menggelengkan kepala. "Kamu mau Rea keluar dari tempat ini dengan selamat, kan?" bisiknya. "Iyalah. Bisa dibawain pemukul aku kalau Rea gak keluar dengan selamat dari tempat ini."Pastinya. Bang Wira tidak akan terima, kalau Rea keluar tidak utuh dari tempat ini. "Maka nya, diam."Kami masih diam di tempat. Bersembunyi. Aku mengikuti perkataan Kak Anton. Benar katanya, aku tidak mungkin membiarkan anakku dalam bahaya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ayna. Kenapa dia sampai menculik Rea?"Kita mulai penyergapan." Kak Anton memberikan penutup mulut, membuatku mengernyit. Untuk apa?"Cepetan ambil." Kak Anton menatapku gemas. "Buat apa, Kak?""Kamu mau ikutan diculik kayak Rea? Lihat itu, banyak orang yang menjaga Rea. Bukan hanya wanita itu."Buru-buru aku mengambil penutup wajah yang diberikan oleh Kak Anton, kemudian memakainya. "Udah siap belum?""Udah.""Ayo, kita serbu sekarang."Aku dan Kak Anton ber
"Hah?! Gila kali, ya. Uang segitu banyak dari mana?" Tidak bisakah orang ini berpikir panjang? Kenapa dia malah mau memelorotiku. "Ini siapa, sih? Kenapa ngancam-ngancam?" tanyaku kesal. "Selain tidak pintar, kamu juga lambat berpikir, ya."Mendengar itu, wajahku memerah. Orang ini, membuatku marah saja. Dasar menyebalkan. "Anak kamu ada di tangan saya. Saya tunggu satu kali dua puluh empat jam. Atau anak ini, tidak akan pernah selamat."Aku mengembuskan napas pelan. Diam beberapa saat. Baiklah, aku akan menghubungi Kak Anton. Bertanya bagaimana baiknya. Baru saja menyalakan ponsel, Kak Anton sudah menghubungi duluan. Aku menggeser tombol berwarna hijau. "Halo, Ndre. Kamu dimana? Udah ketemu belum sama Rea?""Belum, Kak, tapi—""Astaga, kemana anak itu. Kenapa gak ketemu juga?""Ada yang nelepon Andre, Kak. Ada suara Rea juga, tapi dia minta tembusan lima ratus juta."Kak Anton diam sejenak di sana. "Posisi dimana, Ndre? Mbak sama Kakak kesana sekarang.""Masih di depan rumah,
"Yaudah, Mbak matiin teleponnya. Kamu pikirin baik-baik lagi, Ndre. Jangan sampai menyesal."Aku memalingkan wajah, kemudian kembali fokus menyetir. "Kenapa kamu sekarang jadi tidak mau membela Mama, Mas?""Pertanyaan apa itu, Wen?" tanyaku pelan. "Udah keliatan banget, Mas. Kamu berusaha menghindar dari Mama."Mendengar pertanyaan itu, aku tertawa. "Aku cuma gak mau ribut samakamu lagi. Hanya gara-gara Mama.""Tapi gak kayak gitu juga, Mas. Itu namanya kamu durhaka sama Mama. Itu gak baik.""Wen, udahlah. Jangan bersikap baik lagi sama Mama. Kamu udah disakitin, masih aja bela Mama.""Mas, selama itu kewajiban Weni sebagai istri buat ngingatin kamu, apa salahnya? Aku memang mau keadilan, tapi gak gini caranya."Aku menghentikan laju mobil di pinggir jalan, menatap Weni lembut."Mulai sekarang, kamu tenang aja. Aku bakalan selalu ada. Kehidupan kita bakalan tanpa Mama atau orang lain."***"Selamat datang di rumah kita yang baru." Aku membukakan pintu mobil untuk Weni. "Makasih, Ma
"Kamu lebih percaya sama rekaman pembohong itu, Ndre? Kamu gak percaya sama aku?"Mendengar itu, aku tertawa. Siapa yang mau percaya padanya, kalau dia saja pembohong?Ah, aku paling tidak suka dengab orang pembohong. "Kamu mau memilikiku, Ay?!" tanya pelan, tapi tegas."Ndre." Dia memasang wajah memohon. "Gak capek dramanya, Ay? Gak puas kamu mau hancurin rumah tanggaku? Belum puas kamu, hah?!" Wajahku memerah, sejak tadi menahan marah. Weni memegang tanganku. Saat aku menoleh, dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan mengotori tangan kamu sendiri, kan, Mas?" biskk Weni. Ah, benar juga. Aku tidak akan pernah mengotori tanganku sendiri. Baiklah. Jaga sikap. "Kamu tahu, Ay. Orang yang mengganggu hidupku tidak akan pernah tenang. Walaupun Mama yang mengusuli itu, tapi kamu berperan penting di sini.""Lho, kok cuma aku? Harusnya Mama kamu juga ditangkap. Aku gak mau masuk penjara sendiri, Ndre."Aku mengabaikan perkataan Ayna. Dia harus tahu, kalau aku marah bagaimana. "Sini." A