Share

Luka yang Dirasakan Weni

Author: Rahma La
last update Last Updated: 2021-11-02 14:53:45

"Bukan berarti Weni diam saja selama ini, lalu kamu bisa memanfaatkannya begitu. Kamu harusnya menjadi suami yang baik untuk istrimu."

Aku mengusap dahi, masih memikirkan perkataan Bang Wira barusan. Benarkah Weni masih hidup? 

"Maaf, Bang. Apa Abang tahu sesuatu?"

"Maksudnya?" Bang Wira terlihat tidak mengerti dengan ucapan ku barusan. 

Aneh saja, Bang Wira tampak biasa saja. Tidak ada raut kesedihan. Mama dan Papa mertuaku tidak datang malam ini. Benar-benar ganjil. 

"A—apa Weniku masih hidup, Bang?" 

Ada raut keterkejutan di wajah Bang Wira. Dia mengernyit menatapku. Seperti baru saja mendengar hal aneh. Memang, sih, harusnya aku tidak menanyakan itu pada Bang Wira, tapi sepertinya masih ada harapan. 

"Weni kamu? Baru nyesel, hah?!" 

Hampir saja aku lompat ke belakang. Suara Bang Wira kembali tidak terkendali. Aku hanya takut, dia tidak bisa mengendalikan emosi. 

"Bukannya kamu sendiri yang buat Weni meninggal? Kamu yang buat dia tersiksa batin? Sekarang, kamu bilang seolah-olah menyesal?"

"Bukan gitu, Bang, tapi—"

"Dengar, ya. Kalau pun Weni masih hidup, dia tidak akan lagi bersama kamu. Dia akan bahagia, tidak bersama kamu dan Ibu kamu itu."

Setelah mengatakan itu, Bang Wira keluar dari kamarku. Aku menatap keranjang bayi, Vino masih tidur lelap, dia tidak terganggu dengan keributan barusan. 

Vino adalah buah hatiku dan Weni. Aku seperti melihat wajah Weni di sana. 

Gemetar aku mengambil ponsel Weni di dalam kantong celana. Menyalakannya, berharap masih ada satu titik keajaiban di sana. 

Ya, aku memang tidak tahu kata sandi ponsel Weni, tapi aku bisa menebaknya. Ya, betul. Tanggal pernikahan kami. 

Aku langsung membuka aplikasi berwarna hijau. Tidak banyak pesan di sana, tapi aku tertarik membuka pesan dari sahabat Weni. Namanya Miranda.

[Kasihan anak-anak kamu, Wen. Sabar, Sayang. Kuat, ya. Tabah.]

Aku menelan ludah, buru-buru menarik layar ke atas. Melihat pesan yang diketik oleh Weni. 

[Aku capek, Mir. Hidup terus-terusan kayak gini, kerja setiap hari. Dituduh yang enggak-enggak sama Mama Mas Andre. Aku capek. Kalau aku nyerah gimana? Aku mau hidup bebas di sana. Aku mau terbang layaknya kupu-kupu.]

Ya Allah. Mataku berkaca-kaca melihat pesan ini. Jadi selama ini, Mama—

Bagaimana bisa aku tidak percaya pada Weni? Ah, kesalahanku ini benar-benar fatal. 

Pandanganku terfokus ke salah satu papan catatan. Di sana ada tulisan menyayat hati. 

[Selama ini, aku bertahan untuk anak-anak. Kali ini, aku ingin bahagia. Aku tidak ingin menderita lagi.]

Weni, semenderita itu kamu bersamaku, Sayang?

***

"Weni orang baik. Dia pasti mendapatkan tempat terbaik di sana."

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Terserah saja, pandanganku kosong, tidak fokus ke mereka. 

Hanya Mama yang sibuk bercerita banyak. Seolah ini arisan Ibu-ibu. Aku memijat kening, mengembuskan napas pelan. 

Di gendonganku, ada Vino. Dia tampak menggemaskan sekali. Ah, Weni. Kamu tidak mau melihat anakmu bertumbuh kembang, Sayang? 

Plak! 

Astaga. Aku menoleh ke samping. Barusan ada yang menamparku, membuat banyak orang menoleh ke arahku. 

Mbak Linda. Mbakku, dia begitu dekat dengan Weni. Mungkin, dia kecewa aku tidak bisa menjaga Weni dengan baik. 

"Linda! Kenapa kamu tampar adik kamu sendiri?" Mama tampak geram sekali. Mendekati kami. 

Aku memegangi pipi. Tidak mengerti dengan apa yang Mbak Linda lakukan. Apa salahku?

"Kenapa, Ma? Mama sama Andre yang kenapa."

"Kita bicarakan di dalam Mbak. Gak enak sama tamu." 

Aku bergegas masuk ke dalam rumah, setelah menoleh sebentar ke luar rumah. Ada suami Mbak Linda. 

Kami masuk ke ruang dapur. Tidak ada siapa-siapa. Cocok untuk bertengkar. 

"Kenapa Mbak datang-datang nampar? Malu-maluin tau, gak, Mbak. Dilihatin banyak orang."

Bukan sakitnya di pipi, tapi malunya. Tanpa sebab lagi, membuat bingung saja. 

"Cuma itu yang bisa Mbak lakuin sebagai perempuan. Weni sakit, Ndre. Weni tidak bisa tinggal di rumah ini. Sejak dulu kamu menikah, Mbak selalu bilang begitu. Kamu tidak paham juga." 

Mata Mbak Linda berkaca-kaca. Aku menelan ludah, masalah ini ternyata serius sekali. 

"Weni sakit apa, Mbak? Kenapa dia tidak bilang padaku?"

Mbakku tertawa pelan. Diiringi isak tangis kecil dari bibirnya. "Kamu tanya sakit apa? Dia sakit hati, Andre. Kenapa kamu gak peka, astaghfirullah." 

Aku termangu mendengar perkataan Mbak Linda. Weni sakit hati? 

"Tamparan tadi, beribu-ribu lebih sakit jadi Weni, Ndre. Dia simpan semuanya. Mbak sebagai wanita sakit hati, Ndre. Mbak sakit hati." Suara Mbak Linda terdengar gemetar. Dia memukul-mukul dadanya. 

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Weni memiliki masalah dengan Mama? 

"Kamu hancurin jiwanya, kamu buat batinnya menderita. Itu lebih sakit dari apa pun." 

Aku masih tidak paham. Apa yang aku lakukan? Kenapa seolah-olah aku yang bersalah di sini? 

Mbak Linda juga tidak menjelaskan dengan baik. Dia hanya menangis, menyalahkanku. 

Wajar kalau aku tidak paham. Mbak Linda hanya teriak-teriak begitu. Coba kalau dia bilang yang sejujurnya. 

"Kamu dan Mama itu sama. Sama-sama gak punya hati." 

Aku menatap Mbak Linda tidak percaya. Durhaka sekali dia pada Mama, sampai bilang begitu. Kalau aku tidak masalah, tapi ini Mama?

"Mbak gak usah sok belain si Weni. Dia itu cuma bisa santai di rumah. Gak ada kerjaan. Mama yang setiap hari kerja aja gak pernah ngeluh. Wanita itu memang menyebalkan."

Mendengar perkataanku, Mbak Linda tertawa. "Tahu apa kamu? Kamu punya buktinya, kalau Mama yang menyelesaikan pekerjaan rumah? Mana buktinya? Mana?!"

Aku mundur ke belakang. Mbak Linsa terlihat marah sekali. Wajahnya memerah. 

"Yang kamu dengar, tidak selalu sama dengan kejadiannya. Justru sebaliknya. Kamu harusnya tahu itu, Andre!"

Benarkah kejadian itu terjadi sebaliknya? Berarti selama ini, Weni—

***

Bab 4 besok pagi, yaa. Lagi proses edit.

Jangan lupa like dan komen, yaa. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istirahatlah yang Tenang, Istriku!   Extra Part 2

    "Maafkan Andre. Selama ini, Andre menghindar dari Mama. Andre salah, Ma. Maafkan Andre."Dulu, aku benar-benar menyayangi Mama. Menjaga pola makannya, semua aku jaga.Karena ada amanat dari Papa, tapi semenjak Mama memanfaatkan semuanya dariku, aku tidak lagi percaya pada Mama.Ah, apakah sekarang waktunya penyesalan? Atau saatnya memperbaiki semuanya?Aku mencium tangan Mama berkali-kali. Sedangkan Weni mengusap punggungku, berusaha menenangkan."Jangan teriak-teriak, Ndre." Mbak Linda menegurkuAstaga. Aku menutup mulut. Menatap Mama yang tampak payah. Sepertinya, rasa sakit itu terasa sekali."Mimpi apa Mama tadi malam, kamu bisa adadi sini hari ini, Ndre."Kami semua menoleh ke Mama. Wajah Mama terlihat tirus, sangat berbeda dari empat tahun yang lalu.Ini kegagalanku selanjutnya. Setelah Weni dan menegur Mama dulu. Ini juga yang menyakitkan bagiku."Semua karena Mbak Linda, Ma." Pandanganku juga beralih ke Weni. "Dan istri Andre, Weni.""Iya, Ndre. Mama tahu. Mama menyesal sudah

  • Istirahatlah yang Tenang, Istriku!   Extra Part

    "Mas, ayo." Aku mengangguk, mengambil alih koper yang dibawa Weni. Kemudian mengunci pintu rumah. "Kebiasaan, deh. Aku mau bawa kopernya gak boleh.""Gak boleh, dong. Nanti kamu kecapekan.""Udah kayak pengantin baru aja, nih."Eh? Kami berdua kompak menoleh ke depan. Mbak Linda melipat tangannya di depan dada, tersenyum. "Mbak. Apa kabar?" Weni langsung menyalami Mbak Linda. Kami memang jarang bertemu dengan Mbak Linda dan Kak Anton. Ada banyak alasannya, salah satunya adalah pekerjaan aku dan Kak Anton. Rencananya, aku dan Weni akan liburan sekarang. Rea sudah di dalam mobil. Menunggu kami berangkat saja. "Eh, mana Rea cantik?" tanya Mbak Linda sambil menoleh ke mobil. "Di dalam mobil sama Putra, Mbak. Mana Kak Anton?" tanyaku sambil merangkul pinggang Weni. Putra adalah bayiku dulu. Sekarang, dia sudah empat tahun. Nah, selama empat tahun terakhir, aku memutuskan pindah ke rumah yang lebih luas. Dua tahun aku ditugaskan ke luar kota, mengajak Rea dan Putra. Sekarang, sud

  • Istirahatlah yang Tenang, Istriku!   Penyergapan (TAMAT)

    "Sstt...."Aku menoleh ke Kak Anton yang baru saja memberikan kode. Dia menggelengkan kepala. "Kamu mau Rea keluar dari tempat ini dengan selamat, kan?" bisiknya. "Iyalah. Bisa dibawain pemukul aku kalau Rea gak keluar dengan selamat dari tempat ini."Pastinya. Bang Wira tidak akan terima, kalau Rea keluar tidak utuh dari tempat ini. "Maka nya, diam."Kami masih diam di tempat. Bersembunyi. Aku mengikuti perkataan Kak Anton. Benar katanya, aku tidak mungkin membiarkan anakku dalam bahaya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ayna. Kenapa dia sampai menculik Rea?"Kita mulai penyergapan." Kak Anton memberikan penutup mulut, membuatku mengernyit. Untuk apa?"Cepetan ambil." Kak Anton menatapku gemas. "Buat apa, Kak?""Kamu mau ikutan diculik kayak Rea? Lihat itu, banyak orang yang menjaga Rea. Bukan hanya wanita itu."Buru-buru aku mengambil penutup wajah yang diberikan oleh Kak Anton, kemudian memakainya. "Udah siap belum?""Udah.""Ayo, kita serbu sekarang."Aku dan Kak Anton ber

  • Istirahatlah yang Tenang, Istriku!   Pelaku di Balik Menghilangnya Rea

    "Hah?! Gila kali, ya. Uang segitu banyak dari mana?" Tidak bisakah orang ini berpikir panjang? Kenapa dia malah mau memelorotiku. "Ini siapa, sih? Kenapa ngancam-ngancam?" tanyaku kesal. "Selain tidak pintar, kamu juga lambat berpikir, ya."Mendengar itu, wajahku memerah. Orang ini, membuatku marah saja. Dasar menyebalkan. "Anak kamu ada di tangan saya. Saya tunggu satu kali dua puluh empat jam. Atau anak ini, tidak akan pernah selamat."Aku mengembuskan napas pelan. Diam beberapa saat. Baiklah, aku akan menghubungi Kak Anton. Bertanya bagaimana baiknya. Baru saja menyalakan ponsel, Kak Anton sudah menghubungi duluan. Aku menggeser tombol berwarna hijau. "Halo, Ndre. Kamu dimana? Udah ketemu belum sama Rea?""Belum, Kak, tapi—""Astaga, kemana anak itu. Kenapa gak ketemu juga?""Ada yang nelepon Andre, Kak. Ada suara Rea juga, tapi dia minta tembusan lima ratus juta."Kak Anton diam sejenak di sana. "Posisi dimana, Ndre? Mbak sama Kakak kesana sekarang.""Masih di depan rumah,

  • Istirahatlah yang Tenang, Istriku!   Masalah Besar

    "Yaudah, Mbak matiin teleponnya. Kamu pikirin baik-baik lagi, Ndre. Jangan sampai menyesal."Aku memalingkan wajah, kemudian kembali fokus menyetir. "Kenapa kamu sekarang jadi tidak mau membela Mama, Mas?""Pertanyaan apa itu, Wen?" tanyaku pelan. "Udah keliatan banget, Mas. Kamu berusaha menghindar dari Mama."Mendengar pertanyaan itu, aku tertawa. "Aku cuma gak mau ribut samakamu lagi. Hanya gara-gara Mama.""Tapi gak kayak gitu juga, Mas. Itu namanya kamu durhaka sama Mama. Itu gak baik.""Wen, udahlah. Jangan bersikap baik lagi sama Mama. Kamu udah disakitin, masih aja bela Mama.""Mas, selama itu kewajiban Weni sebagai istri buat ngingatin kamu, apa salahnya? Aku memang mau keadilan, tapi gak gini caranya."Aku menghentikan laju mobil di pinggir jalan, menatap Weni lembut."Mulai sekarang, kamu tenang aja. Aku bakalan selalu ada. Kehidupan kita bakalan tanpa Mama atau orang lain."***"Selamat datang di rumah kita yang baru." Aku membukakan pintu mobil untuk Weni. "Makasih, Ma

  • Istirahatlah yang Tenang, Istriku!   Konsekuensi Untuk Mama

    "Kamu lebih percaya sama rekaman pembohong itu, Ndre? Kamu gak percaya sama aku?"Mendengar itu, aku tertawa. Siapa yang mau percaya padanya, kalau dia saja pembohong?Ah, aku paling tidak suka dengab orang pembohong. "Kamu mau memilikiku, Ay?!" tanya pelan, tapi tegas."Ndre." Dia memasang wajah memohon. "Gak capek dramanya, Ay? Gak puas kamu mau hancurin rumah tanggaku? Belum puas kamu, hah?!" Wajahku memerah, sejak tadi menahan marah. Weni memegang tanganku. Saat aku menoleh, dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan mengotori tangan kamu sendiri, kan, Mas?" biskk Weni. Ah, benar juga. Aku tidak akan pernah mengotori tanganku sendiri. Baiklah. Jaga sikap. "Kamu tahu, Ay. Orang yang mengganggu hidupku tidak akan pernah tenang. Walaupun Mama yang mengusuli itu, tapi kamu berperan penting di sini.""Lho, kok cuma aku? Harusnya Mama kamu juga ditangkap. Aku gak mau masuk penjara sendiri, Ndre."Aku mengabaikan perkataan Ayna. Dia harus tahu, kalau aku marah bagaimana. "Sini." A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status