"Bukan berarti Weni diam saja selama ini, lalu kamu bisa memanfaatkannya begitu. Kamu harusnya menjadi suami yang baik untuk istrimu."
Aku mengusap dahi, masih memikirkan perkataan Bang Wira barusan. Benarkah Weni masih hidup?
"Maaf, Bang. Apa Abang tahu sesuatu?"
"Maksudnya?" Bang Wira terlihat tidak mengerti dengan ucapan ku barusan.
Aneh saja, Bang Wira tampak biasa saja. Tidak ada raut kesedihan. Mama dan Papa mertuaku tidak datang malam ini. Benar-benar ganjil.
"A—apa Weniku masih hidup, Bang?"
Ada raut keterkejutan di wajah Bang Wira. Dia mengernyit menatapku. Seperti baru saja mendengar hal aneh. Memang, sih, harusnya aku tidak menanyakan itu pada Bang Wira, tapi sepertinya masih ada harapan.
"Weni kamu? Baru nyesel, hah?!"
Hampir saja aku lompat ke belakang. Suara Bang Wira kembali tidak terkendali. Aku hanya takut, dia tidak bisa mengendalikan emosi.
"Bukannya kamu sendiri yang buat Weni meninggal? Kamu yang buat dia tersiksa batin? Sekarang, kamu bilang seolah-olah menyesal?"
"Bukan gitu, Bang, tapi—"
"Dengar, ya. Kalau pun Weni masih hidup, dia tidak akan lagi bersama kamu. Dia akan bahagia, tidak bersama kamu dan Ibu kamu itu."
Setelah mengatakan itu, Bang Wira keluar dari kamarku. Aku menatap keranjang bayi, Vino masih tidur lelap, dia tidak terganggu dengan keributan barusan.
Vino adalah buah hatiku dan Weni. Aku seperti melihat wajah Weni di sana.
Gemetar aku mengambil ponsel Weni di dalam kantong celana. Menyalakannya, berharap masih ada satu titik keajaiban di sana.
Ya, aku memang tidak tahu kata sandi ponsel Weni, tapi aku bisa menebaknya. Ya, betul. Tanggal pernikahan kami.
Aku langsung membuka aplikasi berwarna hijau. Tidak banyak pesan di sana, tapi aku tertarik membuka pesan dari sahabat Weni. Namanya Miranda.
[Kasihan anak-anak kamu, Wen. Sabar, Sayang. Kuat, ya. Tabah.]
Aku menelan ludah, buru-buru menarik layar ke atas. Melihat pesan yang diketik oleh Weni.
[Aku capek, Mir. Hidup terus-terusan kayak gini, kerja setiap hari. Dituduh yang enggak-enggak sama Mama Mas Andre. Aku capek. Kalau aku nyerah gimana? Aku mau hidup bebas di sana. Aku mau terbang layaknya kupu-kupu.]
Ya Allah. Mataku berkaca-kaca melihat pesan ini. Jadi selama ini, Mama—
Bagaimana bisa aku tidak percaya pada Weni? Ah, kesalahanku ini benar-benar fatal.
Pandanganku terfokus ke salah satu papan catatan. Di sana ada tulisan menyayat hati.
[Selama ini, aku bertahan untuk anak-anak. Kali ini, aku ingin bahagia. Aku tidak ingin menderita lagi.]
Weni, semenderita itu kamu bersamaku, Sayang?
***
"Weni orang baik. Dia pasti mendapatkan tempat terbaik di sana."
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Terserah saja, pandanganku kosong, tidak fokus ke mereka.
Hanya Mama yang sibuk bercerita banyak. Seolah ini arisan Ibu-ibu. Aku memijat kening, mengembuskan napas pelan.
Di gendonganku, ada Vino. Dia tampak menggemaskan sekali. Ah, Weni. Kamu tidak mau melihat anakmu bertumbuh kembang, Sayang?
Plak!
Astaga. Aku menoleh ke samping. Barusan ada yang menamparku, membuat banyak orang menoleh ke arahku.
Mbak Linda. Mbakku, dia begitu dekat dengan Weni. Mungkin, dia kecewa aku tidak bisa menjaga Weni dengan baik.
"Linda! Kenapa kamu tampar adik kamu sendiri?" Mama tampak geram sekali. Mendekati kami.
Aku memegangi pipi. Tidak mengerti dengan apa yang Mbak Linda lakukan. Apa salahku?
"Kenapa, Ma? Mama sama Andre yang kenapa."
"Kita bicarakan di dalam Mbak. Gak enak sama tamu."
Aku bergegas masuk ke dalam rumah, setelah menoleh sebentar ke luar rumah. Ada suami Mbak Linda.
Kami masuk ke ruang dapur. Tidak ada siapa-siapa. Cocok untuk bertengkar.
"Kenapa Mbak datang-datang nampar? Malu-maluin tau, gak, Mbak. Dilihatin banyak orang."
Bukan sakitnya di pipi, tapi malunya. Tanpa sebab lagi, membuat bingung saja.
"Cuma itu yang bisa Mbak lakuin sebagai perempuan. Weni sakit, Ndre. Weni tidak bisa tinggal di rumah ini. Sejak dulu kamu menikah, Mbak selalu bilang begitu. Kamu tidak paham juga."
Mata Mbak Linda berkaca-kaca. Aku menelan ludah, masalah ini ternyata serius sekali.
"Weni sakit apa, Mbak? Kenapa dia tidak bilang padaku?"
Mbakku tertawa pelan. Diiringi isak tangis kecil dari bibirnya. "Kamu tanya sakit apa? Dia sakit hati, Andre. Kenapa kamu gak peka, astaghfirullah."
Aku termangu mendengar perkataan Mbak Linda. Weni sakit hati?
"Tamparan tadi, beribu-ribu lebih sakit jadi Weni, Ndre. Dia simpan semuanya. Mbak sebagai wanita sakit hati, Ndre. Mbak sakit hati." Suara Mbak Linda terdengar gemetar. Dia memukul-mukul dadanya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Weni memiliki masalah dengan Mama?
"Kamu hancurin jiwanya, kamu buat batinnya menderita. Itu lebih sakit dari apa pun."
Aku masih tidak paham. Apa yang aku lakukan? Kenapa seolah-olah aku yang bersalah di sini?
Mbak Linda juga tidak menjelaskan dengan baik. Dia hanya menangis, menyalahkanku.
Wajar kalau aku tidak paham. Mbak Linda hanya teriak-teriak begitu. Coba kalau dia bilang yang sejujurnya.
"Kamu dan Mama itu sama. Sama-sama gak punya hati."
Aku menatap Mbak Linda tidak percaya. Durhaka sekali dia pada Mama, sampai bilang begitu. Kalau aku tidak masalah, tapi ini Mama?
"Mbak gak usah sok belain si Weni. Dia itu cuma bisa santai di rumah. Gak ada kerjaan. Mama yang setiap hari kerja aja gak pernah ngeluh. Wanita itu memang menyebalkan."
Mendengar perkataanku, Mbak Linda tertawa. "Tahu apa kamu? Kamu punya buktinya, kalau Mama yang menyelesaikan pekerjaan rumah? Mana buktinya? Mana?!"
Aku mundur ke belakang. Mbak Linsa terlihat marah sekali. Wajahnya memerah.
"Yang kamu dengar, tidak selalu sama dengan kejadiannya. Justru sebaliknya. Kamu harusnya tahu itu, Andre!"
Benarkah kejadian itu terjadi sebaliknya? Berarti selama ini, Weni—
***
Bab 4 besok pagi, yaa. Lagi proses edit.
Jangan lupa like dan komen, yaa.
"Mbak bisa ceritain Weni kenapa selama ini?" tanyaku pelan."Kamu pikir saja sendiri. Apa yang kamu lakukan kemarin sampai hari ini, pasti kamu akan menyesal."Mbak Linda meninggalkanku sendirian di ruang dapur. Apakah benar yang Mbak Linda katakan? Selama ini Weni menderita?Ah, tidak mungkin. Weni itu di rumah hanya menjaga Vino, juga Rea—anak pertamaku yang sekarang kelas tiga SD.Mama yang sering melakukan pekerjaan rumah. Aku menggelengkan kepala, beranjak dari duduk. Tidak peduli lagi, Weni tidak pantas mendapatkan belas kasihanku.***"Mama kok belum pulang-pulang, Pa? Udah tiga hari, Rea juga tiga hari gak sekolah. Rea gak mau sekolah, kalau Mama belum pulang."Hampir setiap hari Rea merengek. Weni benar-benar menyebalkan, dia yang menanamkan manjanya Rea ini. Membuat susah saja.
"Weni? Ini kamu, kan, Sayang? Ini kamu?"Dia tetap mengibaskan tangan. "Tolong, lepasin aku."Terdengar bunyi dentuman di belakang. Aku menoleh, tidak sengaja melepaskan pegangan dari tangan Weni.Ah, mobilku barusan dilempar seseorang. Aku kembali menoleh. Weni sudah lari, percuma mengerjarnya.Kemana dia sekarang? Aku mengusap wajah, menatap lurus ke depan. Ada apa dengan Weni?***Aku masuk ke dalam rumah. Barusan, aku ke bengkel, memperbaiki mobil. Yang ada di pikiranku sekarang adalah Weni. Kalau itu bukan jenazah Weni lalu siapa? Dan kalau Weni masih hidup, kenapa dia menghindar dariku?Di depan ramai sekali. Aku malas keluar, lebih enak di dalam. Bersama Vino."Kamu tahu perhiasan Weni ditaruh dimana, Ndre?"Mendengar itu, aku langsung menoleh ke arah pintu. Mama barusan bertanya, sambil me
"Weni, aku mohon. Pulang, demi Vino."Aku mengabaikan Bang Wira yang sejak tadi membentak, menyuruh pulang. Dia tidak mau aku di sini. Biarlah, aku akan memperjuangkan pernikahan kami.Weni memalingkan wajah. Dia sudah cukup tenang, meskipun masih terlihat terluka. Ah, Weni apa yang terjadi?"Sayang, aku akan berubah demi kamu. Tapi pulang, ya. Jangan kayak gini.""Kenapa aku harus pulang, Mas?"Ah, akhirnya Weni merespon perkataanku. Meskipun pelan sekali, tetapi ini perekembangan yang hebat."Demi Vino, Sayang. Ayo, pulang."Mata Weni kembali berkaca-kaca. Aku harap, dia akan pulang, ketika mendengarku menyebut Vino. Kami memang sejak dulu menantikan anak laki-laki."Aku janji akan lebih perhatian sama kamu. Aku bakalan berubah demi kamu, Wen."Sungguh, aku berharap sekali Weni mau pulang. "Mas janji, kalau Mas gak berubah, kamu b
"Kamu yang gila, Andre!"Eh? Aku menoleh ke belakang. Mataku melebar, ketika melihat Bang Wira berdiri di sana. Ada Mama dan Papa Weni juga.Bang Wira langsung berjalan ke arah kami. Dia langsung menarik tangan Weni pelan, memeluknya.Weni masih terisak, jilbabnya acak-acakan. Aku menatap tanganku yang tadi menamparnya. Ya Allah, kenapa aku menampar istriku sendiri?"Wen, ma—maaf.""Gak ada gunanya!" Bang Wira menghardikku."Berikan bayi Weni."Papa mertuaku ikut maju. Aku mengernyit, kemudian menggelengkan kepala. Ini anakku, masa mau diambil."Anak saya menderita di sini. Sepuluh tahun saya diam saja, tapi tidak kali ini!" Papa berteriak cukup kencang.Aku menelan ludah, Bang Wira juga menatap seperti ingin memangsa. Benar-benar menakutkan."Ma, video tadi."Sebuah video diputar. Aku melotot, itu
"Kokponselnya dijatuhin? Kamu kenapa?" tanya Kak Anto sambil memungut ponselku.Aku mengusap wajah, masih belum percaya dengan perkataan Mama barusan. Surat dari pengadilan agama? Kenapa secepat itu?Apakah sebelum masalah besar ini, Weni mendaftarkan perceraian kami? Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin Weni yang melakukannya.Lalu siapa?"Ndre?""Surat dari pengadilan agama di rumah, Kak. Hancur sudah rumah tanggaku." Aku menjambak rambut. Ingin marah, tapi pada siapa? Tidak mungkin aku marah-marah di kantor.Kak Anton diam sejenak. Terdengar helaan napasnya. "Masih bisa, Ndre. Kamu masih bisa mempertahankan rumah tangga kamu."Ya, tapi itu kecil sekali kemungkinannya. Aku berdiri, memakai jas berwarna hitam."Eh? Kamu mau kemana? Kerjaan belum beres, Ndre. Kalau kena marah sama bos gimana?"Ah, aku tidak peduli dengan pekerjaan sekarang. Pikiranku tertuju pada rumah tangga,
"Mamagak bisa pulang, Sayang."Aku mendongak, menggigit bibir. Tidak bisa melihat mereka. Apakah Rea akan menjadi korban kegagalan pernikahan kami?"Pulang sama Rea, Mama. Pulang, sama Rea." Suara Rea bertambah besar, dia sepertinya akan mengambuk sebentar lagi."Ayo kita pulang, Mama. Ayo, pulang." Rea melepaskan pelukan, dia menggenggam tangan Weni, menariknya cukup kuat."Rea, Sayang. Mama lagi gak bisa pulang sama kita. Mama lagi ada urusan. Nanti, kalau urusan Mama udah selesai, Mama pasti pulang, Sayang." Aku berlutut di hadapan Rea, memegang pundaknya.Anak pertamaku itu kembali terisak. Dia menatap Weni. "Tapi Mama janji pulang, ya. Mama harus pulang."Weni tidak menggeleng, juga tidak mengangguk. Dia memalingkan wajah, tidak mau menatap Rea. Aku menutup mata, masih memeluk Rea erat-erat."Rea, Om udah dapat kupu-kupunya, ayo."Kak Anton yan
"Tergantung, tapi kayaknya gak ada harapan, deh."Aku terdiam mendengar perkataan Mbak Linda. Nadanya terdengar menakut-nakuti. Ah, aku malah tambah takut."Pa, laper."Kami berdua menoleh. Rea berjalan mendekatiku di belakangnya ada Kak Anton."Belum kamu kasih makan? Gimana, sih? Jadi Papa kok gak ada benar-benarnya. Ayo, Sayang. Kita makan di dalam."Mbak Linda menggandeng Rea. Sedangkan Kak Anton duduk di depanku.Aku menyenderkan punggung. Kak Anton dan Mbak Linda memang belum punya anak. Mereka sejak dulu menginginkan seorang anak.Namun, kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja. Tidak sepertiku. Punya dua orang anak, tapi kacau begini."Kakak pernah cek
"Kok bisa, sih, Ma?Aduh, mana kerjaan Andre belum selesai.""Ya, mana Mama tau, sampai sekarang belum pulang. Mama tadi sibuk juga, kamu jangan nyalahin Mama, dong."Aku memijat kening. "Siapa yang nyalahin Mama? Andre gak pernah ada niat buat nyalahin Mama.""Halah, kamu itu nadanya nyalahin Mama tadi. Udah kena racunnya Weni kayaknya kamu."Cukup. Aku mengembuskan napas pelan. Merasa lelah dengan sikap Mama yang sedikit menyebalkan."Mama tanyain ke guru Rea atau ke teman-temannya. Andre selesaiin pekerjaan dulu."Tanpa kalimat penutup, aku mematikan telepon. Jantungku sejak tadi berdegup kencang, aku takut kalau Rea kenapa-napa.Ah, ini salahku juga. Kenapa aku tidak terlalu memperhatikan Rea kemarin.&n