"Ya bales lah kalau dia chat kamu. Kenapa muka kamu jadi gitu? Emangnya dia kecelakaan?" tanya Lalita sambil menyipitkan mata, curiga.
"Enggak, Litaaaa… amit-amit banget, jangan sampai begitu!" sahut Brian cepat, ekspresinya sedikit panik.
"Ya terus kenapa sih, Brian?" Lalita mengernyit, nada suaranya mulai terdengar kesal. Ia melipat tangan di dada.
Brian menghela napas pelan, lalu duduk di sofa dengan berat hati. Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan agar Lalita ikut duduk.
"Kenapaa?" desak Lalita lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.
Setelah beberapa detik hening yang canggung, Brian akhirnya membuka suara. Suaranya rendah dan penuh keraguan.
Ia jujur—mengakui bahwa ia masih menyimpan rasa pada Diana. Perasaan itu datang lagi, tiba-tiba, seperti luka lama yang belum benar-benar sembuh.
Dan sekarang, Brian merasa bersalah. Ia takut menyakiti Lalita jika berbalas pesan pribadi dengan Diana.
"O&
"Tapi..." suara Pak Warmo terdengar ragu, nyaris berbisik."Buka dan kasih ke saya file nya. Sekarang." Suara Lalita tegas dan dingin, ia tidak ingin mendengar bantahan."Tapi...""Gak ada tapi-tapian, Pak. Kasih sekarang!" Lalita menaikkan nada suaranya.Matanya membara, bukan hanya karena amarah, tapi juga luka yang belum kering."Saya yang akan bicara sama Bapak. Dia tetap ayah saya, bukan ayahnya Citra. Bapak tahu kan, Citra itu cuma anak tiri. Saya ini anak kandungnya!" seru Lalita nyaris berteriak.Pak Warmo terpaku. Napasnya tercekat."B... baik, Mbak. I... ini... silakan dicek dulu..." katanya dengan tangan gemetar, membiarkan Lalita duduk di depan monitor yang menyimpan data CCTV.Tanpa membuang waktu, Lalita duduk dan segera mengulang rekaman kejadian pagi tadi. Jemarinya dan otaknya cekatan mengingat perkiraan waktu kejadian.Di belakangnya, Fauza berdiri mematung, matanya mulai basah saat layar menampilkan rekaman yang jelas—Aldo menganiaya Lalita tanpa ampun.Gumpalan emo
Lalita masih terus menangis.Tangisnya terdengar lirih dan putus asa, menggema di dalam ruangan yang terasa sunyi dan sempit.Mengapa semua orang begitu cepat menuduhnya? Apa mereka tidak mau mendengarkan? Kenapa hanya Brian yang mempercayainya, ketika ia sudah mengatakan bahwa ia tidak bersalah?Beberapa menit kemudian, Brian muncul di ambang pintu. Wajahnya gelisah, langkahnya ragu."Ada apa?" tanya Lalita dengan suara serak, matanya masih basah.Brian menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Diana… dia masuk IGD.”Lalita tersentak. “Kok bisa?”“Gak tahu pasti. Tadi teleponnya tiba-tiba putus. Belum sempat dengar jelas.”Lalita memandang Brian lama, seperti sedang menimbang sesuatu.“Kamu tahu dia dirawat di rumah sakit mana?”“Di deket sini,” jawab Brian pelan.Air mata Lalita jatuh lagi, tapi kali ini ia tidak menahannya. “Pergi aja. J
Semua mata kini tertuju pada Hadi. Suasana kantor yang sebelumnya dipenuhi bisik-bisik, kini membeku.Keheningan terasa menggantung di udara, seolah menanti ledakan besar."Ini..."Aldo membuka suara, tapi suaranya tercekat. Tatapan tajam Hadi membuatnya tidak sanggup melanjutkan.Wajah pria itu tampak dingin, seperti badai yang menahan amarahnya."Masuk ke ruangan saya. Sekarang," ucap Hadi dengan suara berat cukup untuk membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.Aldo, Citra, Lalita, dan Brian segera mengikuti langkah Hadi memasuki ruangannya. Pintu kemudian tertutup. Para karyawan kembali berbisik, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi."Jadi, coba jelaskan. Ada apa sebenarnya di sini?"Nada bicara Hadi tenang, tapi tajam.Brian menarik napas, lalu membuka suara."Aldo datang, dan... dia langsung menampar Lalita.""Itu karena kesabaran saya udah habis, Om!" potong Aldo cepat. Wajahnya memerah karena emosi. "Lal
"Kalian merasa ada yang aneh gak sih?" tanya Ivan pelan sambil menyedot yogurt dari pouch-nya. Suaranya terdengar ringan, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih serius.Fina dan Olivia menoleh, sedikit bingung."Apaan emangnya, Kak?" tanya Olivia polos, kepala sedikit dimiringkan.Ivan tak langsung menjawab. Pandangannya tertuju pada sosok Lalita di meja yang tidak terlalu jauh dari mereka.Gerak-geriknya mencurigakan bagi Ivan. Ada sesuatu yang... tidak biasa.Fina ikut menoleh. Begitu pula Olivia. Mereka ikut mengamati Lalita."Kayaknya mereka lagi berantem," gumam Ivan akhirnya.Fina dan Olivia saling bertukar pandang. Bagi mereka, hubungan Lalita dan Brian terlihat baik-baik saja.Tak ada nada tinggi, tak ada wajah tegang. Tadi bahkan Brian sempat menghampiri Lalita, menanyakan laporan yang baru saja dikirim. Semua terlihat normal—di permukaan.Namun Ivan masih mengernyit. "Enggak-enggak, ada yang
"Kak Litaaaa, bawa puding kan hari ini?" tanya Olivia dengan mata berbinar penuh harap, tangannya sudah terjulur seolah hendak menerima mangkuk puding yang belum ada.Lalita menoleh sambil tersenyum kecil, meski sorot matanya terlihat sedikit lelah. "Nanti aku buatin ya. Kemarin ternyata nggak sempet..."Brian, yang sejak tadi duduk tak jauh dari mereka, langsung ikut menyahut. "Mau gue orderin puding lain aja nggak?""Gak mauuu…" sahut Olivia cepat, bibirnya manyun. "Kan maunya cobain puding buatan kak Lita..."Brian hanya bisa mengangkat bahu dan menghela nafas pendek. "Okeee...""Kalau nanti sempet, jangan lupa dibuatin kaaakkk," tambah Fina dengan suara manja. "Soalnya nasi bakar kemarin enak banget, jadi pengen coba makanan lain lagi..."Tawa kecil menyebar di antara mereka, namun belum sempat Lalita menjawab, suara berat Ivan terdengar dari arah pintu masuk."Memang Lita mama atau koki pribadi kalian, apa? Minta dimasakin
David memandangi Lalita lekat-lekat, seolah mencoba menangkap makna dari kata-katanya. Meski situasi ini terasa janggal baginya, ekspresi Lalita begitu serius, tak ada tanda keraguan sedikit pun."Baiklah kalau itu keputusan kamu," ucap David pelan, lalu menghela napas. "Tapi, aku tetap pengen dapet nomor kamu."Lalita mengernyitkan dahi, kebingungan. Sebelum ia sempat memberi jawaban, David buru-buru melanjutkan kalimatnya."Sebagai teman, tentunya..." tambahnya, sedikit gugup.Lalita menatapnya tajam, tak yakin dengan alasan yang baru saja didengarnya. "Why? Aku rasa gak ada untungnya buat kamu," tanya Lalita, suaranya ragu.David tersenyum tipis, mencoba menjelaskan dengan cara yang lebih santai. "Memang gak ada sih, tapi aku suka aja ngobrol sama kamu. Lagian, aku juga gak terlalu punya temen di sini. Kalau ada kamu, kayaknya akan lebih seru.""Pffftttt, hahaha. Alesan macam apa itu..." Lalita tertawa geli, merasa agak aneh deng