Share

Bab 6 Pura-pura Peduli

Aвтор: Miss han
last update Последнее обновление: 2025-03-12 21:20:28

Brukk!

Suara keras dari kamar sebelah membuat Rania tersentak. Ia mengerutkan kening dan menoleh ke arah pintu. Jantungnya berdebar tak menentu, antara kaget dan penasaran. Apa itu Aidan? Sedang apa dia?

“Ada apa, Mas?” tanya Rania, masih memegang ponselnya.

“Hm? Suara apa tadi?” Reza juga mendengar suara benturan itu dari telepon.

Rania menggeleng pelan meski tahu Reza tidak bisa melihatnya. “Enggak tahu, Mas, mungkin dari kamar sebelah.”

“Oh, sepupumu yang dulu sering kamu ceritakan?” tanya Reza.

“Eh, iya, Mas, itu sepupuku.” Raina berusaha menyembunyikan kebenaran tentang pernikahannya.

Reza tertawa kecil di seberang sana. “Jadi, kapan kita bisa bisa bahas proyek ini?”

Rania melirik jam di ponselnya. Sudah hampir pukul sebelas malam. Ia seharusnya menolak atau setidaknya meminta waktu lain, tetapi … pikirannya terasa buntu, ada sesuatu yang mengusik perasaannya. Ia hanya ingin ditemani.

“Besok mungkin pas jam kerja, kebetulan proyek yang kemarin sudah selesai,” jawabnya akhirnya.

“Oke. Kita diskusi berdua dulu saja setelah jam kantor gimana? Kita matangkan rencana ini baru kamu bisa rekrut yang lain untuk terlibat,” usul Reza.

Rania terdiam sesaat. “Boleh, Mas, kalau begitu.”

“Baiklah, sampai bertemu di kantor, ya. Maaf nih jadi ganggu waktu istirahat kamu, Ran,” ujar Reza ringan sebelum Rania menutup panggilan.

Rania menatap layar ponselnya yang gelap setelah panggilan berakhir. Rasanya ada sesuatu yang salah, tetapi ia tidak tahu apa. Ia menghela napas panjang, kemudian merebahkan diri ke tempat tidur. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pelan di pintunya membuat Rania mendesah. “Aidan?” gumamnya. “Apa lagi sih dia.”

Rania bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu, membuka dengan sedikit rasa enggan. Di balik pintu, berdiri Aidan dengan mata terlihat gelap dan ekspresinya sulit ditebak. Wajahnya tanpa ekspresi. Ada sesuatu di sana yang mengusik Rania. Ia merasa tidak nyaman dengan tatapan Aidan.

“Ada apa?” Rania bertanya dengan nada setenang mungkin.

Aidan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Rania, lalu melirik ponsel yang masih digenggamnya.

“Kamu habis ngobrol sama siapa?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya.

Rania menaikkan alisnya. “Sepertinya itu tidak ada dalam kontrak aku harus kasih tahu teleponan dengan siapa. Bukan urusanmu.”

Aidan menyandarkan bahu ke kusen pintu, matanya tetap mengunci pandangan pada Rania. “Aku dengar kamu tertawa.”

Rania berkedip, lalu mendengus pelan. “Terus?”

Aidan diam sesaat, lalu menatap Rania dengan tajam. “Aku nggak suka.”

Jantung Rania berdegup sedikit lebih kencang, tetapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan reaksinya. “Kamu nggak suka apa?”

“Nggak suka dengar kamu ketawa di telepon,” ujar Aidan singkat.

Rania tertawa kecil. “Oh? Dan sejak kapan aku perlu persetujuanmu untuk tertawa?”

Aidan menghela napas, lalu melangkah lebih dekat. “Rania … berisik. Dan itu menggangguku!”

Nada suaranya berubah, lebih pelan, hampir seperti bisikan. Rania menegang. Ada sesuatu dalam sorot mata Aidan yang membuat dadanya berdebar aneh. Ia mundur selangkah, tetapi Aidan mengulurkan tangan dan menahan pintu agar tidak tertutup.

“Jangan pernah terima telepon dan tertawa di rumah ini!” jelas Aidan.

Rania mengerutkan kening. “Dengar, Aidan, aku enggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba bertingkah aneh, tapi kalau ini aku bertelepon dan tertawa kamu larang, kayaknya itu enggak adil jika dibandingkan dengan kamu dan Larissa bermesraan di rumah ini!”

Aidan menatapnya tanpa berkedip. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat napas Rania tertahan. Lalu, tiba-tiba Aidan mengangkat tangannya dan menyentuh bibir Rania dengan ibu jarinya.

Rania membeku.

“Bibir ini …” gumam Aidan pelan, suaranya hampir tidak terdengar. “Masih terasa hangat, kan?”

Rania terkesiap. “Apa ….”

Namun, belum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Aidan mundur selangkah dan tersenyum tipis, senyum yang baru Rania lihat.

“Jangan pernah membantahku, Rania,” katanya, sebelum akhirnya berbalik dan pergi meninggalkan Rania yang masih berdiri kaku di ambang pintu, jantungnya berdegup tak karuan.

Rania buru-buru menutup pintu dan bersandar di sana, tangannya mencengkeram dadanya.

Sial.

****

Rania menatap ponselnya yang sudah mati. Percakapannya dengan Reza berakhir beberapa menit lalu, tetapi pikirannya masih mengulang-ulang isi pembicaraan mereka. Ia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan yang familiar yang mulai muncul lagi. Di luar kamarnya, rumah terasa begitu sepi.

Aidan belum pulang. Bukan hal baru memang. Beberapa hari ini, sejak malam itu Aidan sering pulang larut, seolah rumah ini hanya tempat singgah semata. Rania tidak pernah bertanya, dan tidak pernah ingin tahu. Mereka menikah bukan atas dasar cinta, jadi dia berusaha untuk menjalani perannya sebagai istri kontrak. Namun, ia tahu Aidan menghabiskan waktu bersama Larissa.

Hampir menjelang dini hari, Aidan pulang.

Rania mendengar suara mobilnya berhenti di garasi, diikuti langkah kaki yang memasuki kamar sebelahnya. Ia tetap di kamarnya, pura-pura tidak peduli. Namun, telinganya menangkap setiap suara. Pintu yang terbuka perlahan dan tertutup lagi, lalu langkah Aidan yang menuruni anak tangga.

Setelah beberapa saat, rasa penasaran menguasai Rania. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan melangkah ke luar. Dari atas matanya menangkap sosok Aidan yang masih berdiri di ruang makan, melepaskan jam tangan.

“Kamu pulang larut,” kata Rania tanpa sadar.

Aidan mendongak, terlihat sedikit terkejut melihatnya, ada sedikit senyum yang buru-buru pudar. “Kenapa? Aku perlu izin darimu?”

Rania mendengus. “Nggak. Aku cuma heran. Kamu nggak biasanya pulang sepagi ini.”

Aidan tidak langsung menjawab. Ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas, lalu mengambil sebotol air mineral. Saat meneguk air, Rania melihat sesuatu yang membuatnya mengernyit. Sesuatu berwarna putih menempel di punggung tangan Aidan.

Rania menegakkan bahu dan berjalan menuruni anak tangga. Ia ingin memastikan lebih jelas benda apa yang menempel di punggung tangan pria itu.

“Kamu habis dari mana?”

Aidan menatapnya sebentar, lalu tertawa sinis. “Enggak usah kepo!”

Rania menghela napas, mencoba mengontrol emosinya. Ia seharusnya tidak peduli. Ia tidak punya hak untuk bertanya, bukan? Namun, ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Jika diperhatikan lebih dekat seperti kapas yang dk plester putih.

“Kamu sakit?” tanya Rania dengan mata tertuju pada punggung tangan Aidan.

Aidan yang merasa tidak nyaman dengan tatapan mata Rania segera menyembunyikan tangannya. Ia meletakkan botol air mineral di meja. “Aku habis menemani Larissa.”

Jawaban itu seharusnya tidak mengejutkan Rania. Namun tetap saja, ada rasa tidak nyaman yang menyusup ke dalam dadanya. Insting wanitanya bermain, pria di depannya sedang berbohong. Akan tetapi siapa peduli?

“Larissa,” gumam Rania. “Kalian terlihat semakin dekat.”

Aidan menyeringai. “Kamu keberatan?”

Rania menatapnya tajam. “Nggak. Sama sekali nggak keberatan.”

Aidan mengangkat bahu, lalu melangkah pergi ke kamarnya. Rania hanya bisa menatap punggung yang menghilang di balik pintu. Ia mendesah pelan, menyesal telah turun dari kamar dan khawatir tentang pria itu.

---

Keesokan harinya, Larissa menemui Aidan di sebuah kafe. Mereka duduk di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Larissa mengenakan dress hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna, rambutnya tergerai rapi. Aidan memperhatikannya sekilas, lalu kembali menyesap kopinya.

Larissa menatapnya lekat-lekat. “Aidan, kapan kamu menceraikan istrimu?”

Aidan tersedak. Ia terbatuk perlahan mendengar ucapan Larissa. Ia memilih diam dan tak menjawab. Matanya menatap Larissa dalam, berusaha memahami maksud ucapannya.

Larissa melanjutkan, “Aku tahu pernikahan kalian hanya kontrak. Aku tahu kamu nggak mencintainya. Jadi kenapa masih mempertahankan hubungan yang nggak ada artinya?”

Aidan menghela napas panjang. “Larissa, aku enggak bisa, setidaknya aku masih menghormati keputusan kakekku!”

Larissa meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Kenapa nggak? Kamu tahu aku selalu menunggumu, kan? Aku ingin kita kembali seperti dulu. Tanpa ada Rania di antara kita.”

Aidan menarik tangannya pelan. Ia bersandar ke kursi, menatap Larissa dengan ekspresi sulit ditebak.

“Sekarang giliran kamu yang menunggku,” kata Aidan pada akhirnya. Saat ia ingin melanjutkan ucapannya, ekor matanya menangkap dua orang yang baru masuk ke dalam kafe itu. Matanya melebar, tidak percaya apa yang sedang ia lihat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 45 Kakutan Kalina

    Rania yang telah tidur tiba-tiba terbangun karena mimpi buruk. Rania duduk di ujung ranjang dengan pandangan kosong. Tangannya gemetar, dan untuk sesaat ia merasa seperti kembali menjadi gadis remaja yang hanya bisa menahan air mata di pojok kamar, saat Kalina kembali memanggilnya “anak titipan,” “si yatim,” atau “anak pengganti” yang katanya telah mencuri kasih sayang tantenya.Aidan yang belum tidur segera bangkit dan memberikan segelas air pada istrinya. “Yang … are you okey?”Rania mengangguk pelan, tetapi air matanya mulai jatuh tanpa bisa dicegah. “Dulu aku pikir semua itu udah selesai, Mas. Tapi ternyata … dia masih marah. Padahal itu bukan mauku.”“Hey, kamu kenapa?” Aidan mendekat dan memeluk bahunya, membiarkannya menangis sejenak.“Akiu mimpi Kalian, Mas.”“Okey, itu hanya mimpi, Yang. Ada yang mau kamu ceritain biar lega?”Rania terdiam sejenak, ia mencoba mengatur napasnya dan bersandar pada dada Aidan.“Ak

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 44 Gosip

    Hubungan Aidan dan Rania terus membaik, bahkan keduanya sekarang lebih sering menghabiskan waktu berdua. Meskipun terkadang Aidan tampak melamun, tetapi kehadirannya dan pengakuan Aidan yang mulai mencintai Rania, membuat gadis itu berbunga-bunga. Keduanya mulai bisa menerima satu sama lain.Seperti hari ini, suasana ruang tamu rumah Aidan dan Rania pagi itu cukup tenang. Rania menata bunga di vas kaca kecil di meja, sementara Aidan duduk di sofa membaca laporan kerja dari tablet.“Mas, bisa enggak kalau lagi libur itu enggak usah sambil kerja?” tanya Rania saat melihat Aidan yang terlalu fokus pada benda tipis di pangkuannya. “Sedikit lagi, Yang,” ucap Aidan lembut.Namun, ketenangan itu buyar saat suara bel rumah terdengar dipencet berulang kali.Rania bergegas membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat Kalina berdiri di depan rumah, mengenakan blazer krem dan celana panjang hitam, wajahnya merah pa

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 43 Ancaman

    Rania masih duduk di sudut kafe bersama Reza setelah pertemuan dengan klien selesai. Suasana kafe yang semula tenang, mulai terlihat ramai dengan pengunjung yang berdatangan. Jam pulang kantor kafe-kafe mulai penuh dengan karyawan yang ingin melepas penat sebelum pulang. Reza meletakkan cangkir kopinya yang tinggal setengah. Tatapannya kembali menyelidik ke arah Rania.“Ran,” ucapnya pelan. “Aku cuma mau pastikan. Kalina yang kamu maksud tadi itu, Kalina yang dulu sering kamu ceritain. Sepupu yang sering ngebully kamu di rumah?”Rania mengangguk pelan, sambil memainkan sendok kecil di piring dessert-nya.“Iya. Dia, cukup bikin hari-hariku berat waktu SMA bahkan hingga sekarang, Mas.”Reza mengernyit, wajahnya terlihat bersalah. “Ya ampun, Ran. Aku enggak tahu kalau kamu pernah sesulit itu karena sahabatku. Aku minta maaf.”“Kenapa Mas Reza minta maaf? Kan, Kalina yang salah!”“Iya, aku sebagai sahabatnya enggak nyangka aja Kalina yang lembut bisa sebar-barb itu. Nanti aku bilangin d

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 42 Hamil

    Pagi datang lebih cepat dari yang Rania harapkan. Setelah kemarin dihabiskan dengan suasana hangat bersama Aidan. Saling mengenal dan membangun hubungan keduanya yang mulai berwarna, meskipun Aidan masih terlihat cuek. Kini ia kembali harus menghadapi dunia kerja. Dunia di mana segala ketegangan bisa terjadi, termasuk bertemu Reza, sosok yang kini dicurigai Aidan.Rania menyiapkan dirinya dengan lebih hati-hati pagi itu. Ia mengenakan blouse putih gading, rok hitam selutut, dan syal tipis berwarna biru muda. Make up-nya sederhana, hanya polesan tipis agar tampak segar. Saat berangkat, Aidan hanya menatapnya singkat dari meja makan, tapi dari sorot matanya, ada kekhawatiran dan sedikit cemburu.“Mas, aku berangkat ya. Doain lancar.”Aidan mengangguk. “Ya.”Rania mengecup punggung tangan Aidan, mulai pagi itu ia akan diantar jemput oleh sopir pribadi Aidan.Di kantor, semuanya terlihat seperti biasa. Reza yang biasanya santai, pagi ini sudah duduk di ruang meeting sambil menatap laptop.

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 41 Kerjasama

    “Oke kalau itu keputusan kamu,” jawab Aidan dengan wajah terlihat lebih bersahabat. “Kaarena kamu hari ini sudah aku buat bete, jadi aku akan kasih kamu treatment sebelum tidur.”“Treatment?” tanya Aidan sambil mengerutkan dahi.“Iya, Treatment. Malam ini aku pastikan kamu relaks dan tidur cepat,” ucap Rania sambil mengeringkan mata.Aidan menahan senyumnya. Ia sudah tidak marah, tetapi gengsi mengakuinya jadi ia hanya terdiam pasrah ketika Rania mulai melakukan treatment. Rania berdiri dan menarik tangan Aidan untuk ikut berdiri. “Ganti baju dulu, nanti aku siapin air hangat buat pijat. Badan kamu pasti pegal karena selama ini jagain aku.”Aidan mengikutinya ke kamar mandi. Setelah beberapa menit, ia keluar dengan kaos santai. Rania sudah menunggu di tepi ranjang, memegang minyak pijat dan handuk hangat.Rania mulai memijat perlahan pundak dan punggung Aidan. Sentuhannya lembut, penuh perhatian. Sesekali ia meniup pelan kulit leher Aidan, membuat pria itu memejamkan mata dan menghe

  • Istri Bayangan Tuan Arogan   Bab 40 Salah Paham

    “Reza?” gumam Rania pelan, seolah tak percaya dengan sosok yang baru saja lewat.Pria bertubuh tegap itu menoleh cepat, lalu tersenyum dengan mata berbinar saat melihat Rania. “Ran!” sapanya sambil berjalan mendekat. Tatapannya hangat, tetapi sedikit terkejut saat melihat Aidan duduk di hadapan Rania.“Hai, Pak Reza.” Rania menyambut dengan senyum ramah.Aidan hanya menatap Reza sekilas, kemudian kembali ke makanannya tanpa memberi sapaan. Sorot matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan, dagu yang mengeras dan jemari mencengkeram garpu sedikit lebih kuat dari biasanya.Reza berdiri di samping meja, lalu melirik ke arah tangan Rania yang kini tanpa perban. “Oh, hari ini kamu lepas perban. Gimana tangannya kata Dokter?”“Masih agak nyeri sih, tapi udah jauh lebih baik,” jawab Rania.Reza mengangguk. “Baguslah. Padahal tadinya aku mau nemenin kamu ke dokter, tapi maaf, ada meeting hari ini. Tuh, anak-anak ada di sana mau makan siang.” Rania hendak menjawab, tetapi Aidan memotong lebih dul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status