Share

IDPK - Part 6. Berburu Tikus

Suara Satrio yang menggelagar kembali memecah keheningan. Dari nada suaranya yang terdengar penuh kebencian, Lilian sudah bisa membayangkan wajah Satrio yang sombong itu semakin terlihat menyeramkan. 

"Kok kayak rahwana ae to, Mas. Suaranya serem." Lilian mendengus mendengar suara suaminya. 

Padahal dia bicara dengan pelakor dengan suara yang begitu lembut. Giliran bicara dengan istrinya kasar.

Lilian bersiap untuk keluar kamar. Sembari menunggu mertuanya datang, dia harus menghadapi mereka sendiri terlebih dahulu. Selebihnya, biar mertuanya yang menyelesaikan.

"Untuk menjadi istrimu memang harus bermental baja, Mas. Harusnya kemarin aku minta bayaran lima puluh juta sebulan, biar setimpal," sesal Lilian. 

Apa boleh buat, surat kontrak sudah ditandatangani dengan nominal tiga puluh juta. 

"Ya, udah lah. Aku cukup bakoh kalau hanya untuk menghadapi kamu dan pelakor tidak ada akhlak itu, Mas." Lilian mengepalkan tangannya, menyemangati dirinya sendiri.

Akan berhadapan dengan sosok pelakor yang secara fisik jauh lebih sempurna darinya, jujur membuat Lilian minder. Namun, dia tidak boleh tenggelam dalam rasa insekyur tersebut, karena posisinya saat ini lebih mulia. Dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, situasi dan posisi sangat menguntungkan Lilian. 

Bahkan mertuanya akan membelanya habis-habisan. Dia tahu itu.

Akhirnya, dia menuruni tangga dengan percaya diri. Apalagi mertuanya akan segera datang. Paling lama hanya butuh waktu lima belas menit mereka pasti sudah sampai rumah ini.

"Apa kamu budeg, Bloh?" Suara lantang Satrio segera menyapa gendang telinganya. 

"Ada apa to, Mas? Ndak baik loh Mas marah-marah begitu, kalau tensi tinggi bisa-bisa jadi stroke loh! Ganteng-ganteng begitu kalau di kursi roda ya, apa gunanya!" sahut Lilian cuek.

"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu nyumpahin aku stroke!" Satrio benar-benar emosi tingkat dewa jika menghadapi Lilian.

"Aku cuma kasih tahu Lo, Mas. Nggak nyumpahin. Mbaknya itu pasti bakal ninggalin kamu kalau kamu stroke, benar kan, Mbak?" lanjut Lilian santuy.

Gadis gemoy itu memang ajaib. Tak peduli api yang membakar dadanya begitu kuat, akan tetapi dia begitu mudah menguasai diri bersikap santai sedemikian rupa.

"Heh, cintaku sama Mas Satrio itu tulus. Apapun keadaannya, aku pasti akan setia menemani Mas Satrio. Benar kan, Mas?" Sherly melirik Lilian dengan tatapan merendahkan.

"Makasih, Dek Sherly. Kamu memang terbaik, Mas nggak salah kalau milih kamu, Dek. Sudah cantik, setia, bisa menerima Mas Satrio apa adanya," balas Satrio terharu mendengarkan ucapan Sherly.

"Iya dong, Mas. Aku kan cinta kamu full tank, Mas. Nggak kurang sedikit pun." Sherly mengacungkan dua jempolnya untuk Satrio.

"Elah dalah, full tank, kayak beli bensin wae," sindir Lilian.

"Diam kamu istri matre!" bentak Satrio.

"Kamu kok sial banget Mas. Punya istri gembrot, udah gitu nggak setia. Hanya mau duit kamu saja!" ejek Sherly memprovokasi.

Satrio mendengus mendengar provokasi dari Sherly. Dia membenarkan ucapan Sherly. Jika Lilian tidak matre, dia tidak akan meminta nafkah tiga puluh juta, mobil mewah dan juga rumah. Lilian meminta semua itu bahkan di hari kedua pernikahan mereka.

"Istri matre memang harus dibuang ke laut, Mas." Sherly kembali memprovokasi karena mendapatkan pembelaan Satrio. Dia merasa punya posisi yang lebih tinggi di depan si Sebloh itu.

"Istri matre itu lebih terhormat daripada pelakor loh, Mbak. Minimal aku punya status, lah status kamu apa? Nggak lebih dari seorang pelakor!" sahut Lilian.

Gadis gemoy itu duduk di kursi makan tak jauh dari sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara tersebut.

Ada dua gelas sirup dingin yang dituang Satrio di gelas untuk menyambut Sherly. Sherly dan Satrio belum sempat meminumnya. 

Serta merta, Lilian meminumnya dari salah satu gelas.

"Makasih, ya, Mas. Udah bikinkan aku sirup dingin," ucapnya setelah meneguk separuh lebih.

"Itu bukan buat kamu, Sebloh!" pekik Satrio gusar.

"Heleh, Mas. Lha wong botol sirupnya masih ada di dekat kamu itu loh! Bikin satu lagi kan bisa to, Mas?" sahut Lilian lagi.

Kepala pria itu sudah berasap. Menghadapi Lilian tidak pernah sesederhana yang pernah dibayangkan sebelumnya. 

"Ternyata kamu diciptakan hanya dengan bakat membuat orang lain naik darah saja, Bloh," runtuk Satrio kesal luar biasa.

"Itu tergantung mindset kamu, Mas. Kalau kamu orang baik dan suka beramal sholih, kamu hanya perlu menuangkan isi botol itu ke dalam gelas. Sesimpel itu, Mas." Sekali lagi, gadis bernama Lilian itu membalas telak.

Satrio hanya bisa mendengus pelan. 

"Kenapa kue punya aku kamu makan lagi? Kan aku udah bilang dari kemarin, kalau kamu suka, beli sendiri!" Satrio baru ingat, dia memanggil Lilian turun bukan untuk berdebat, tapi untuk meminta pertanggungjawaban Lilian atas red velvet yang telah dihabiskannya.

"Lain kali kalau Mas Satrio beli, jangan satu kotak. Udah tahu istrinya juga suka, bukannya beli dua kotak. Malah marah-marah ndak jelas. Kamu itu CEO loh, Mas. Apa kata orang kalau tiap hari ribut hanya perkara kue red velvet. Apa kamu mau dikira orang miskin?" Bukannya meminta maaf, Lilian malah menyembur suaminya dengan kalimat panjang lebar. Kata-kata Lilian lebih beracun daripada racun semburan ular kobra di telinga Satrio.

"Untung aja hatiku ini bukan buatan China, Bloh. Jadi lebih bakoh!" sahut Satrio menyerah.

Satrio nyaris tidak pernah menang debat dengan Lilian. Seajaib itu Lilian membuat seorang Satrio langsung kicep.

"Jangan lemah gitu loh, Mas. Sekali-kali, Sebloh itu harus dikasih pelajaran! Harus dikasih hukuman!" Sherly tidak terima melihat Satrio kalah debat di depan mata kapalanya sendiri.

Seharusnya, dia menyaksikan Satrio memukuli istrinya itu tanpa ampun di depannya. Bukan seperti ini. 

Jujur, Sherly kecewa.

"Heh, kamu jangan ikut campur! Suami istri sedang berdebat, orang lain minggir!" sembur Lilian pada Sherly pada akhirnya.

"Mas, dia marahin aku, Mas," rajuk Lilian. Selanjutnya, pelakor cantik itu menggelendot di lengan Satrio untuk mendapatkan pembelaan pria itu.

"Ckck! Manja!" ejek Lilian.

"Maaass...." Sherly makin menjadi-jadi. Dia tidak terima diejek si Sebloh jelek itu.

"Lilian mulut kamu bisa diam nggak!" hardik Satrio. 

Dia tidak tega melihat kekasihnya yang cantik jelita itu dijadikan bulan-bulanan oleh Lilian.

"Okay, Mas. Aku diam. Kalian saja yang bicara!" sahut Lilian segera bangkit dari duduknya.

Hatinya merasa sakit melihat suaminya membela wanita lain di hadapannya. Bahkan Satrio menghardiknya dengan begitu kasar hanya demi Sherly.

"Mau kemana kamu, Bloh!" tanya Satrio gusar. Dia belum selesai dengan amarahnya. Lilian pergi seenaknya sendiri.

Sebelum Lilian menyahut, terdengar suara salam dari ruang tamu yang terbuka. 

"Masuk, Mih," sahut Lilian semringah.

"S-siapa?" tanya Satrio kelabakan.

"Siapa lagi, masak kamu lupa dengan suara ibu kamu sendiri, Mas?" Lilian menjawab santai sambil berlalu dari tempat itu. 

"Apes, Dek. Kamu harus sembunyi, Dek. Mampi dan Papi datang!" seru Satrio panik.

Jika dia ketahuan membawa Sherly ke rumah dalam semua rencananya bisa kacau balau. Bisa-bisa dia diusir dari rumahnya ink oleh papinya sendiri.

"Nggak mau, Mas. Mas Satrio harus mengenalkan aku pada mereka. Ini adalah kesempatan yang baik!" Sherly tidak mau menuruti Satrio. 

Dalam hatinya dia merasa kesal dan marah. Bukannya memperjuangkan dirinya di depan orang tuanya, Satrio malah menyuruhnya sembunyi.

"Jangan keras kepala, Dek. Nanti rencana kita bisa hancur kalau kamu nggak nurut!" Satrio semakin panik. Sherly sama sekali tidak bisa diajak kerjasama dalam hal ini.

"Pokoknya aku nggak mau sembunyi, titik!" Sherly akhirnya memilih untuk duduk manis di meja makan. 

Dia sedang memperjuangkan harga dirinya sekarang. Jelas, dia tidak mau sembunyi. Memangnya dia maling? 

Ah, rupanya Sherly lupa kalau dia memang calon maling, maling suami orang.

Satrio mengekori Sherly yang duduk di sana dengan tenang. Satrio duduk berhadapan dengan Sherly. Dia masih berusaha membujuk, masih belum terlambat untuk bersembunyi.

"Dimana tikusnya, Li?" tanya Haryo begitu mereka datang.

"Masih ada di dapur, Pih. Lilian takut," cicitnya pelan.

Wajah Lilian terlihat lemah seakan mengalami ketakutan yang luar biasa. Fatimah merengkuh Lilian sambil berkata lembut untuk menenangkan hati Lilian.

"Ndak apa-apa, Nduk. Nanti tikusnya biar digepuk papimu!" Fatimah berkata meyakinkan.

"Makasih, ya, Mih. Mamih dan Papih memang terbaik!" puji Lilian sambil mengacungkan dua jempolnya.

"Woiya jelas, Nduk. Buat kamu, apa aja pokoknya Mami dan Papi berikan." Haryo berkata meyakinkan.

Ketiganya melangkah menuju dapur. Begitu ketiganya sampai seketika mata mereka terbelalak sempurna. 

"Satrio, siapa dia?" tanya Haryo menyelidik sambil menatap gadis cantik yang duduk di meja makan.

Satrio tampak kebingungan hendak memberikan jawaban apa kepada orang tuanya. Tidak mungkin bagi Satrio mengatakan bahwa Sherly adalah kekasihnya. Bisa-bisa Haryo akan kena serangan jantung.

"Eh, ini ... anu ... dia...."

"Dia, dia, dia siapa?" sentak Haryo dengan tatapan mata tajam.

"Anu ... dia---"

"Dia itu tukang cleaning servis yang dipanggil Mas Satrio untuk ngusir tikus, Pih," potong Lilian cepat.

Aah, akhirnya tiba juga kesempatan emas untuk membuat pelakor sok cantik itu di rumah ini. Hati Lilian berteriak girang.

Sepasang mata Sherly membelalak sempurna. Dia tidak menyangka akan dijadikan bulan-bulanan sedemikian rupa oleh Lilian. Rasanya dia ingin menangis saat disebut sebagai pegawai cleaning servis. 

Sherly mencoba untuk mencari pembelaan Satrio, tapi Satrio hanya manggut-manggut membenarkan ucapan Lilian.

"Bener-bener kurang ajar!" runtuk Sherly lirih.

Sherly terpojok tanpa ada yang bisa diharapkan untuk melindungi. Jika dia bicara ngawur, sudah barang tentu hanya akan membuat orang tua Satrio tidak akan respek sama sekali dengannya. Tentu saja itu sangat merugikan posisinya.

Ternyata Lilian tidak sesederhana dugaannya. Dia bisa menciptakan situasi yang membuatnya sakit kepala, sekaligus menjatuhkan harga dirinya di level terendah.

"Ho-ho-ho.... Papi kira siapa!" Haryo bernapas lega.

Padahal dia sudah menyiapkan tongkat besar untuk memecahkan kepala tikus di dapur ini. Ternyata, putranya sudah memanggilkan tenaga ahli. 

"Baiklah, silakan dikerjakan, Mbak. Pokoknya akan saya bayar mahal jika mbaknya berhasil mengusir tikus di dapur menantu kesayangan saya ini!" Fatimah duduk di kursi sambil menghela napas lega.

"Bener, Mbk. Dapat satu tikus saya bayar seratus ribu. Kalau mbaknya dapat sepuluh, berarti saya bayar satu juta." Haryo menambahkan.

Jangan bertanya bagaimana penampakan Sherly saat mendengar perintah Haryo dan Fatimah. Kini, wajahnya sudah merah padam menahan marah dan kesal pada Sebloh yang membuatnya mati kutu. 

Sementara Satrio bernapas lega karena Lilian menemukan alasan yang tepat untuk membuat orang tuanya teralihkan. Meskipun, ya ... Sherly pasti akan mengamuk nanti sepulang dari sini.

Mereka sekeluarga duduk di meja makan sambil menikmati menu makanan yang disajikan oleh Lilian, sedangkan Sherly terpaksa kesan kemari mencari tikus sesuai dengan perintah orang tua Satrio. Benar-benar menyebalkan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status