"Ini foto kita bertiga, Mommy. Ada Daddy, Mommy dan Zana," antusias Zana, di mana saat ini tengah berbaring sembari melihat-lihat hasil foto pernikahan Daddy dan Mommy barunya. Ada banyak foto mereka bertiga yang membuat Zana merasa senang luar biasa.
Zana tidak memiliki foto dengan mendiang mamanya, tetapi Zana merasa tak masalah. Sejujurnya Zana merasa hambar dengan mama kandungnya, mungkin karena sejak kecil Kina lah yang merawatnya. Padahal Kina selalu menjelaskan padanya jika mama kandungnya adalah perempuan baik dan pahlawan sebab bertaruh nyawa demi melahirkan Zana. Namun, tetap saja Zana merasa tak ada muncul perasaan apapun yang dia rasakan untuk mamanya. Mungkin karena mamanya juga tak pernah peduli padanya.Maksudnya, mamanya tak pernah mengajaknya mengobrol dan bahkan ogah menatapnya saat Zana berkunjung ke rumah sakit."Apa kamu dan Mama kandungmu pernah berfoto bersama? Atau … kalian punya foto keluarga?" tanya Kina, ikut berbaring di ranjang sembari ikut melihat-lihat hasil foto pernikahannya tadi.Dia sudah mengganti pakaian, dibantu oleh Zayyan. Untuknya pria itu tidak macam-macam padanya sebab mungkin ada Zana di sini. Pria itu kembali kalem dan sangat sopan, sekarang sedang bekerja–duduk di sofa dalamkamad dengan menatap serius pada laptop.'Dasar penggila kerja!'"Tidak ada. Mama pernah meminta tetapi Daddy tidak mau. Saat itu Mama meminta foto berdua dengan Daddy, tanpa ada Zana. Mungkin sebab itu Daddy tidak mau," jelas Zana.Kina hanya memangut pelan. Sheila keterlaluan juga. Ingin foto keluarga tetapi tidak mau mengajak putrinya sendiri. Namun, abaikan. Namanya juga orang sakit, pikirannya pasti ikut sakit."Kamu kok manggil Mamamu dengan sebutan Mama, kan kamu memanggil papamu dengan sebutan Daddy. Harusnya, mamamu dipanggil Mommy dong biar serasi sama panggilan kamu ke Daddy kamu," kepo Kina kemudian. Sudah sejak lama dia ingin menanyakan perihal ini, akan tetapi dia baru ingatnya sekarang. Setiap kali dia ingin menanyakannya, pasti dia lupa. Untungnya saat ini dia tak sedang lupa."Daddy melarang," jawab Zana cemberut, "bahkan waktu itu Daddy marah pada Nana dan semua orang sabab Nana memanggil Mama pada Mama Sheila. Daddy bilang Mama Sheila tidak pantas dipanggil ibu dan dia bukan ibunya Nana sebab hanya tahu sakit-sakitan. Tapi karena Nana menangis, Daddy jadi membolehkan Nana memanggil Mama Sheila dengan sebutan Mama. Tapi tidak boleh Mommy, sebab kata Daddy suatu saat Daddy akan menceraikan Mama dan membawa Mommy baru untuk Zana."Mendengar penjelasan Zana tersebut, mata Kina langsung membelalak. Hatinya meringis sakit sebab kakaknya diperlakukan seperti itu oleh Zayyan, dan bahkan Zana tidak boleh memanggil mamanya dengan sebutan mama."Kayaknya Daddymu gilanya sudah stadium akhir deh, Na. Masa kamu dilarang memanggil Mama pada mamamu sendiri. Daddymu psycho, Na," ucap Kina dengan berapi-api.Hal ini tidak ia ketahui sebab meskipun dia mengasuh Zana tetapi tak akan pernah ikut dengan Zana jika kunjungan ke rumah sakit--ke tempat Sheila dirawat. Kina sengaja tak ikut sebab ingin memberi ruang untuk Zana bersama mama kandungnya. Namun, Kina tak menyangka jika pengorbanannya untuk tak pernah ikut ke rumah sakit berakhir sia-sia. Ternyata Zayyan malah mengusik hubungan anak dan mama tersebut.Apa sebenarnya kesahalan Sheila sehingga Zayyan sangat membencinya? Ini rumit, sebab di satu sisi Zayyan seperti sangat mencintai Sheila, tetapi di sisi lain seperti sangat membencinya juga. Apa di antara mereka ada orang ketiga? Apa Sheila dulu pernah selingkuh dan Zayyan mengetahuinya sehingga Zayyan sangat membenci istrinya sendiri? Tetapi dari kebencian itu, masih ada cinta yang dipendam. Begitu kah?"Siapa yang kau sebut gila?" Tiba-tiba saja saat suara dingin mengalun dari belakang Kina, sontak membuat Kina menegang kaku dan reflek menoleh cepat ke arah sumber suara itu."Kenna," panggil Zayyan, mengabaikan wajah pucat pias serta takut Kina."Iya, Daddy?" ucap Zana, buru-buru bangun dari ranjang lalu menghampiri sang Daddy."Ambilkan Daddy minuman dingin. Sekarang," titah Zayyan dengan nada tegas, tak menerima bantahan sama sekali."Baik, Daddy." Zana menanggukkan kepala, turun dari ranjang kemudian buru-buru keluar dari kamar orang tuanya.Sisa Kina yang sudah berdiri gugup dihadapan Zayyan."Kau sangat suka mengulik tentang kakakmu dan aku, Heh?" Suara Zayyan kembali berubah dingin, berjalan perlahan mendekati Kina yang terlihat sudah mati kutu."A-aku hanya ingin Zana mengenal baik Mama kandungnya," jawab Kina gugup."Zana sangat menyayangi ibu kandungnya dan sangat mengenalnya dengan baik. Berhenti membahas Sheila di depan Zana!" geram Zayyan di akhir kalimat. Kina mengerjap beberapa kali, entah kenapa tertohok mendengar ucapan Zayyan. "Jangan pernah menyinggung Sheila, aku tidak suka!" tambah Zayyan kembali."Baik, Kak." Kina menganggukkan kepala, memilih patuh sebab takut pria ini semakin marah padanya."Mas." Zayyan menegur pelan, Kina yang menunduk reflek mendongak kaget–menagap Zayyan dengan tampang konyol. "Panggil aku Mas, Angie.""Um." Kina menanggukkan kepala."Coba.""Mas Zay," ucap Kina, berdiri tegak dan kaku seperti murid tengah dihukum oleh gurunya di depan kelas."Tidak buruk," ucap Zayyan, tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis pada Kina. Tangannya mengalung erat di pinggang Kina, membuat perempuan itu merapat dengan tubuhnya. Satu tangan Zayyan yang bebas, terangkat untuk membelai wajah cantik istinya. Tatapannya begitu dalam, penuh hasrat yang menyala dalam maniknya."Katakan, kau ingin malam pertama yang panas atau malam pertama yang panjang?"Deg deg deg"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak