Share

kedua

Lyra’s Point Of View

Tak ada yang perlu kupikirkan. Dia hanya masa lalu, apapun yang terjadi dengannya tak ada hubungannya sedikitpun denganku.

Mulutku memang bisa dengan gampangnya mengatakan bualan-bualan itu. Namun, perkataannya beberapa hari lalu terngiang di otakku.

Penyangkalan itu tak bisa kupegang sama sekali. Buktinya, aku masih berada di sini, di tempat terakhir kali kami bertemu dan mengharapkan sosok itu kembali menempati tempat kosong yang telah lama tak dia singgahi, di cafe kecil favorit kami yang terletak tak jauh dari kawasan perusahaan milik keluarganya.

Mataku menatap kosong sosok yang baru saja memasuki tempat ini dan mengambil tempat di hadapanku. Dia duduk di kursi yang telah lama tanpa berpenghuni sambil mengamati wajahku dengan bulatan hitamnya yang tak menunjukkan ekspresi apapun, sangat datar seperti biasanya.

"Pemotretanmu sudah selesai?", tanyanya singkat, sembari memainkan bibir cangkir yang berisi kopi pahit tanpa gula yang menjadi kesukaannya tanpa menatapku seperti yang dilakukannya tadi.

Aku melirik penunjuk waktu yang melingkar di tangan kiriku lalu memandang wajah tampan itu setelahnya. "Sudah. Pemotretannya selesai mungkin sekitar satu jam lalu"

Dia mengesap minumannya tanpa memberikan tanggapan apapun. Aku terkadang kesal dengan sifatnya yang itu. Dia memang tak terlalu perduli dengan sekitar dan lebih memperhatikan pekerjaannya dibandingkan orang-orang terdekatnya, termasuk aku.

Tapi, mungkin sifatnya itu tidak berlaku untuk Ibunya—Ibu Diah, yang juga merupakan seorang terdekatku. Tingkah lakunya seringkali sangat berbeda jika dia ada di dekat satu-satunya keluarganya yang tersisa itu.

Dia meletakkan cangkirnya di tempat semula lalu membangun kontak mata diantara kami untuk melontarkan maksud kedatangannya kemari.

" Ibuku sangat khawatir padamu".

Kalimat itu memukul hatiku keras. Apa yang kuharapkan sebenarnya? Dia tak mungkin menanyakan tentang kejadian itu kemudian menanyakan apa jawabanku, bukan? Atau menenangkanku karena dia tahu jika hatiku merasa tergoncang karena kehadiran mantan kekasihku yang tiba-tiba dengan membawa serta permintaannya yang konyol itu.

Dia bukan Kak Altair-ku yang dulu. Mungkin aku hanya terbawa alur fantasi masa kanak-kanakku jika memikirkan lelaki itu akan mengkhawatirkanku.

Bukankah sudah kubilang tadi, bahwa dia hanya memperdulikan satu orang di dunia ini, yaitu Ibunya? Tak mungkin ada tempat di otak dan hatinya untukku.

"Maaf. Aku bersalah karena Ibumu mengetahui masalahku, dia menjadi cemas. Aku akan memastikannya jika aku baik-baik saja. Kalau perlu aku akan meneleponnya...."

"Tidak perlu", potongnya cepat. Dia sepertinya menyembunyikan sesuatu, yang tak ingin kutahu darinya.

Ponsel genggamnya berdering keras. Dia mengisyaratkan aku untuk tetap duduk di tempatku sedangkan dirinya menuju arah belakang, mencari tempat yang lebih tenang dari hiruk pikuk banyak orang yang bercakap-cakap.

Aku memalingkan wajah mengamati rintik air yang mulai membasahi kaca. Kupejamkan mataku untuk mencoba mengingat wangi khas Nathaniel yang berbaur dengan aroma khas hujan.

Tapi tak bisa.

Pikiranku hampir saja melayang ke dimensi lain, namun untunglah suara berat Kak Altair segera mengembalikanku ke alam nyata.

"Lyra", panggil Kak Altair dengan suara lembutnya. Lidahnya begitu gugup melafalkan namaku yang tak pernah lagi diucapkannya. Kami memang banyak menjaga jarak setelah tumbuh dewasa. Meskipun, kata 'kami' tidak tepat karena Altair-lah yang menjauhiku. Tanpa kutahu sebabnya apa.

" Apakah kau akan menerima lamarannya?"

Pertanyaannya itu membuat dadaku bergemuruh.

Lamaran?

Itu bukan sebuah lamaran, melainkan sebuah penghinaan!

Aku sadar take tis bila aku mengeluarkan kalimat kasar di depan Kak Altair karena yang pantas menerimanya adalah orang lain. Untuk itu, aku mencoba meredakan emosiku dengan menghela nafasku panjang.

"Aku mungkin mencintai bajingan itu terlalu banyak sehingga sulit bagiku untuk melupakannya. Tapi, untuk menjadi istri keduanya? Tidak. Aku tidak akan pernah menerima permohonan gila itu. Apa dia pikir aku tak bisa mencari calon suami sehingga harus berbagi dengan wanita lain untuk mendapatkannya? Dia....."

"Kau mempertimbangkannya. Kau bahkan memikirkan bagaimana menerima tawaran itu tanpa melukai harga dirimu. Itulah yang sebenarnya ada di dalam pikiranmu, bukan?"

Matanya masih memandangi mataku intens, karena dari sanalah dia dapat mengorek isi hatiku yang sebenarnya. "Kau bahkan sanggup merelakan masa depanmu hanya demi waktumu yang sebentar untuk memilikinya".

Aku diam. Tak sanggup menyangkal semua kebenaran yang mencoba diungkap Kak Altair dengan mudah.

Altair meraih tanganku, menggenggamnya lembut seolah aku barang ringkih yang rapuh, menyalurkan rasa hangat yang membuat butiran-butiran air mataku luruh tanpa permisi. Dia kembali menjadi sosok lembut yang kukenal sejak berusia lima.

Walaupun sekarang dia lebih bersikap dingin, dulu dia tidak begitu. Dan aku merindukan sikapnya yang dulu itu.

"Bisakah kau memikirkannya sekali lagi? Demi Ibuku,setidaknya. Kau berhak mendapatkan yang lebih baik dari lelaki itu, Lyra"

Aku menantangnya, menegakkan wajahku sambil menatap lurus ke arahnya. "Jika aku hanya menginginkannya, bagaimana menurutmu? Aku tidak berdosa hanya karena menjadi istri kedua seorang Nathaniel, bukan?"

*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status