Lima bulan berlalu, Rendra memang menjadi suami yang penurut. Dia berusaha menuruti apa yang Wati inginkan. Tapi dia belum bisa lepas dari shabu. Karena memang sangat sulit lepas dari ketergantungan barang haram itu. Perlu waktu lama. Wati juga tidak tega melihat Rendra saat sakaw. Rendra begitu tersiksa."Aku harap kamu bisa mengerti Wati. Tidak mudah untuk lepas begitu saja." Keluh Rendra."Aku mengerti mas, aku mengerti." Jawab Wati. "Setidaknya aku bisa mengontrol pengeluaranmu karena kartu ATMmu di tanganku.""Iya sayang.""Besok kita pergi ke dealer ya mas, buat beli motor.""Untuk siapa?" Tanya Rendra."Ya untuk mas lah. Mau sampai kapan mas pulang naik angkutan umum?""Uang dari mana Wati?""Ya uang gaji mas sendiri."
Rendra terbangun. Hari sudah mulai siang. Dia ingat tadi malam membaca pesan dari Wati."Kenapa Wati belum pulang juga?" Gumam Rendra. "Sakit sekali kepalaku." Keluhnya. Rendra mengingat kejadian kemarin.Rendra mendapat pesan dari Anton sore itu, Anton menyuruhnya datang ke rumahnya sebelum kembali ke rumah. Pukul sembilan malam Rendra sampai di rumah Anton. Dua temannya yang lain sudah berada di sana. Edo dan Dimas. Di atas meja ruang tamu ada sepuluh botol bir, 4 buah bong dan lima paket shabu."Akhirnya datang juga yang ditunggu-tunggu." Ucap Anton."Siapa nih yang traktir?" Tanya Rendra."Dimas menang banyak, ayo buruan kita habiskan!" Jawab Edo. Anton menyalakan musik. Seisi ruangan hingar bingar suara musik."Rendra, kamu lama kan ngga pernah ikutan kita pesta?" Tanya Dimas.
Bang Rahman dan bu Lastri membawa Wati ke Rumah Sakit. Wati harus menerima perawatan akibat perlakuan Rendra. Wati sempat tak sadarkan diri. Adit tak henti-henti menangis melihat Wati. Ibu mencoba menenangkan Adit tapi percuma. Adit tidak mau jauh dari Wati. "Adit sayang, mamah baik-baik saja. Adit sudah ya jangan menangis!" Pinta ibu yang juga tak kuasa menahan tangis melihat keadaan anaknya. "Kenapa papah jahat nek?" Tanya Adit. Mendengar pertanyaan itu, ada rasa khawatir di hati bu Lastri. Takut Adit trauma. "Mamah salah apa nek?" "Papahmu mungkin sedang sakit. Mamah ngga salah apa-apa sayang." Jawab bang Rahman karena ibu tak sanggup bicara. "Man, ibu keluar sebentar ya. Ibu ngga kuat liat Wati. Jaga Wati dan Adit!" Ibu keluar ruangan, berusaha menata hatinya.
Enam bulan berlalu, Wati resmi bercerai dengan Rendra. Hak asuh Aditya jatuh ke tangan Wati. Wati mulai berusaha bangkit menata hatinya, menata hidupnya. Dia membuka usaha catering kecil-kecilan di rumah ibunya. Melayani acara-acara syukuran dan makan karyawan perusahaan yang tidak jauh dari rumah ibunya. Wati memang punya hobi memasak sejak dia di bangku SMA.Wati bersama Aditya mengantar pesanan dua ratus kotak untuk acara syukuran menggunakan mobil yang dia pinjam dari bang Rahman. Sepulangnya dia mampir ke mini market. Adit langsung berlari keluar mobil."Palan-pelan sayang!!!" Teriak Wati yang masih di dalam mobil mengambil tasnya yang berada di jok belakang."GUBRAK!!!" Adit terjatuh."Jalannya hati-hati... " Ucap seorang laki-laki ke Aditya sembari membantu Aditya berdiri."Makasih Om." Ucap Adit."Send
"Rin, apa yang kamu tutup-tutupi dari aku soal Wati?""Sudahlah Jaka, itu sudah jadi bagian dari masa lalu. Mungkin kalian memang tidak ditakdirkan bersama. Kamu dengar Wati sudah berjanji untuk tidak jadi istri kedua?""Aku tau Rin. Aku tau. Tapi aku ingin tau apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.""Semuanya tidak akan merubah keadaan Jaka. Tapi hanya akan membuat perasaanmu kepada Wati semakin tak terbendung.""Ya sudah lah Rin. Aku pamit. Assalammu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Jawab Rini.Jaka tidak tenang, dan dia memutuskan ke rumah ibu Wati. Bu Lastri dan Bang Rahman sedang duduk santai di kursi yang ada di teras."Assalammu'alaikum." Jaka mengucap salam."Wa'alaikumsalam." Sahut bu Lastri dan bang Rahman. Jaka menyalami keduanya.&
Wati gusar setelah tiba-tiba Jaka datang ingin melamarnya. Ada rasa bahagia terselip di hati Wati. Walau bagaimana pun, Jaka lah laki-laki yang ada di hatinya selama bertahun-tahun. Jaka adalah cinta pertamanya. Nama Jaka tersimpan di lubuk hatinya terdalam. Bertahun-tahun dia memendam perasaannya."Jaka, apa aku harus menerima lamaranmu? Bagimana dengan istri dan anakmu?" Batinnya. "Ya Allah, bolehkah aku bersikap egois kali ini? Aku ingin hidup dengan laki-laki yang selama ini aku cintai."Aditya masuk ke kamar. Dilihatnya mamahnya sedang melamun. Aditya langsung memeluk mamahnya. Membuat Wati terkejut."Adit... Buat Mamah kaget saja.""Mamah lagi mikirin om ya?" Tebak Adit."Adit masih kecil.""Adit sudah besar Mah. Adit bisa melindungi Mamah." Adit mengecup pipi Wati. Wati tersenyum melihat tingkah anaknya
Bu Ratna terbaring di Rumah sakit, sudah satu minggu beliau koma tidak sadarkan diri. Namun, semakin hari mulai ada kemajuan, ada gerakan-gerakan dari jari-jari beliau. Sampai akhirnya hari ini beliau bisa membuka mata beliau."Mas Jaka, ibu sadar." Teriak Wati bergegas keluar kamar menemui suaminya. Saat ini Wati yang sedang menunggui mertuanya. Lintang yang baru saja datang ikut masuk ke dalam ruangan."Alhamdulillah Bu." Ucap semuanya. Dokter memeriksa keadaan bu Ratna."Bagaimana Dok?" Tanya Jaka."Sialan nenek tua ini sadar." Batin Lintang kesal."Maaf Pak, sepertinya sebagian tubuh bu Ratna tidak bisa digerakan. Beliau pun belum bisa bicara.""Apa ini permanen Dok?" Tanya Jaka khawatir."Tidak Pak, tidak usah khawatir, setelah ini ibu harus ikut terapi secara rutin biar prose
Jaka membawa Wati ke sebuah hotel bintang empat. Jaka sudah memesan kamar di hotel tersebut."Abang, apa kita akan menginap di sini malam ini?""Iya sayang.""Tapi ini kan hotel mahal Abang.""Nanti di kamar Abang cerita."Sesampainya di kamar Wati tercengang, melihat dekorasi kamar yang dipenuhi bunga-bunga."Abang, apa ini?" Tanya Wati bingung, melihat kamar hotel dibuat seperti kamar pengantin."Maafkan Abang, dari awal kita menikah, baru sekarang Abang melakukan hal romantis buat kamu." Ucap Jaka sambil memeluk Wati dari belakang."Uang dari mana Bang? Uang Abangkan dipegang Lintang.""Dari Desi adikku. Kamu lupa ya Abang punya usaha toko ponsel? Desi selalu menyisihkan keuntungannya untuk Abang. Ibu yang minta, katanya