Sementara Aruna sendiri. Saat ini sedang duduk di antara ketiga teman palsu yang Erland datangkan. Aruna mengulas senyum ketika mereka membahas fashion terbaru, dan rupanya mereka bertiga satu frekuensi dengan Aruna."Oh bukankah ini dress keluaran terbaru dari Brand C?" tanya Melody sembari menunjuk dress yang dipakai olehnya."Ini yang katanya limited edition itu," sambung Aura.Lantas wanita dengan rambut panjang menyentuh dress miliknya, bernama Diana. "Yang harganya selangit itu loh."Pada akhirnya mereka bertiga terkekeh, membuat Aruna tersenyum. Banyak hal juga yang dibicarakan. Bahkan Aruna membawa mereka berkeliling rumah.Hingga mereka di hadapkan pada kolam renang yang kering. Tak ada air sama sekali di sana. Namun, tak ada satu pun dari teman palsunya ini yang berani mengajukan pertanyaan.Sementara Aruna sendiri menatap dalam diam. Di catatan merah muda itu. Aruna menemukan coretan soal kolam renang juga. "Usahaku bunuh diri selalu gagal. Termasuk terjun ke kolam renang,
Atas rasa penasaran. Ketika sore harinya, Diana mendatangi rumah Erland lagi. Dengan alasan telah janji memperlihatkan koleksi tas terbaru. "Ini sangat indah, warnanya juga begitu unik," komen Aruna atas tas milik Diana yang ada di tangannya.Diana mengulas senyum. Namun, wanita itu mengambil ponsel dan sedang memperhatikan foto Aruna dari dompet Yuda yang dipotret. Dengan sosok Aruna sekarang yang sibuk mengagumi tas."Aruna," sebut Diana tiba-tiba sembari tersenyum.Kepalanya terangkat dan mata menatap Diana yang seperti ingin mengetes sesuatu. Namun, melihatnya yang terlihat tak begitu peduli. Membuat wanita itu mengepalkan tangan."Kekasihku punya teman, namanya Aruna. Wajahnya sangat mirip denganmu, Irene," ujar Diana sengaja memberi tahunya.Mendengar ucapan Diana. Ingatan Aruna memunculkan sosok Yuda yang mengejarnya dengan keyakinan bahwa ia adalah Aruna, bukanlah Irene. "Benarkah? Bukannya di dunia ini kita bisa saja memiliki wajah yang sama?""Tapi, tidak sampai sama persi
Erland langsung tersenyum. "Mana mungkin aku tidak senang? Dengan ingatanmu kembali, kita bisa mengenang masa lalu kita, Irene."Meski sudah sering mendengar nama itu disebut oleh beberapa orang di dekatnya. Tapi, Aruna tetap saja merasa asing. Seperti tak pernah memiliki nama itu sebelumnya."Aku kira kau tidak senang."Jemari Erland mengelus perutnya. "Aku senang, Irene."Meski bibir Erland mengulas senyum saat mencium pipinya. Namun, ekspresi kembali berubah dingin setelah menjauhkan kepala darinya."Risih! Apa kau tidak tahu!"Erland mengulas senyum, lantas mulai menghentikan kegiatan mengelus perut Aruna. Dia hanya berharap adanya kehidupan di dalam sana, dengan begitu dia bisa menjerat Aruna. Dan tak membiarkan siapa pun mendapatkan Aruna, meski Yuda sekali pun."Sayang, apa kau tidak ingin tidur?" bisik Erland membuat kepalanya menjauh."Kalau mengantuk, aku juga bakal tidur sendiri.""Oh ya? Aku kira bakal minta ditemani," Erland masih saja berbisik."Aku bukan anak kecil!" ke
Masih di rumah minimalis yang sama. Diana berlarian mengejar Yuda yang hendak berangkat kerja. Merasa tak bisa mencapai tubuh Yuda, wanita itu langsung berteriak."Kau masih cari Aruna!"Langkah kaki Yuda seketika terhenti dengan tangan menggantung di hadapan pintu mobil. Pria itu segera berbalik, nampak marah dengan nama yang disebutkan oleh Diana."Jadi kau yang membongkar dompetku? Dasar sialan!"Diana menarik napas. Rupanya pria itu telah menyadari sejumlah uang yang hilang. Melihat Diana yang begitu santai usai mencuri, membuat Yuda merangkai cara untuk menghukum di dalam otak."Apakah itu lebih penting ketimbang Aruna?" tanya Diana."Apa aku meracau saat mabuk?" Yuda justru balik bertanya, satu hal yang pria itu takuti dengan jelas, yakni pembunuhan malam itu."Aku melihat Aruna, foto wanita yang ada di dompetmu."Yuda menatap serius, kemudian terburu mendekat. "Kau bilang apa barusan?"Bibir Diana langsung mengulas senyum, nampak senang melihat Yuda yang tertarik. "Aruna, aku m
Aruna membiarkan suaminya tetap memeluknya. "Kau harus minum obat, aku akan buatkan sarapan untukmu."Mendengar kata obat. Erland langsung menyesap kulit lehernya. Tentu membuat Aruna berusaha mendorong suaminya untuk menjauh."Erland," sebutnya dengan nada protes."Diam, aku sedang menerima obatku.""Kau tidak waras!"Erland tak menghiraukannya. Tetap menyesap lehernya, bahkan lebih antusias. Aruna yang kesal mengambil sendok di dekatnya.Telinga dia mendengar suara sendok beradu, langsung melirik ke arah tangan Aruna. Lantas, Erland terburu menjauh sendiri. Tidak masalah jika tenaga Aruna saja, kalau sendok bisa jadi benjol."Sayang, apa kau ingin memukul dengan sendok?" tegur Erland dengan menatap tak percaya.Jemarinya menunjuk kamar di lantai atas. "Pakai bajumu, setelah itu tunggu aku buat sarapan dan terakhir minum obat. Apa tiga hal itu saja sulit bagimu?"Erland tersenyum. "Baiklah, istriku yang galak."Netra Aruna mengikuti tubuh Erland yang berjalan pergi dan menaiki anak t
Sementara Yuda yang telah dibebaskan dari tuduhan. Nampak kesal, karena pria itu menyewa orang untuk mencari tahu keberadaan wanita bernama Irene. Sayangnya, jangankan mendapat informasi, orang yang disuruh pun tak kembali sama sekali."Siapa orang yang menyembunyikan kamu, Aruna? Sehebat apa dia? Hingga aku kesulitan mencari dirimu."Yuda menyandarkan punggung pada sofa dengan mata menatap langit-langit. Pria itu nampak kesal, membunuh Diana bukanlah orang lain, justru harus Yuda sendiri. Sayangnya pria itu sudah keduluan orang lain."Harusnya dia mati sebelum aku memberinya uang," gerutu Yuda dengan kesal.Tapi, pria itu jauh lebih geram. Karena tak mendapat petunjuk terbaru mengenai Aruna."Apa dia berbohong demi uang? Tak mungkin Aruna mengganti namanya tiba-tiba."Lantas, Yuda menatap jam di dinding. Pria itu harus bekerja untuk mendapatkan uang dan menyewa orang lagi. Meski, Yuda tak yakin, tapi dia tak mau berhenti mencari keberadaan Aruna.***"Nyonya, tuan menelpon untuk menc
Yuda berdiri dengan tangan penuh berkas terkumpul. Pria itu menatap nomor lift yang Aruna naiki dengan serius. Hingga tersenyum sinis."Jadi, tempatmu berada di lantai paling atas ya Aruna? Apa kau ingin aku menjemputmu, Sayang?"Membayangkan Aruna bersimpuh dengan tangan memohon ampun pada Yuda yang memegang ikat pinggang. Pria itu tersenyum senang. Tapi, kebahagiaan sesungguhnya bagi Yuda adalah menculik Aruna dan mengurung wanita itu.Sementara Erland sendiri sedang sibuk menatap layar presentasi sembari menanti Daffa membawakan dokumen yang diminta. Tapi, pintu yang tiba-tiba diketuk membuat pandangan seluruh orang tersita.Begitu pula dengan Erland yang bersiap untuk memarahi karena telah mengganggu. Namun, amarah itu semakin memuncak bersama rasa panik yang menjalar. Saat mata dia menyaksikan sosok Aruna berdiri di ambang pintu."Erland," sebut Aruna dengan tangan mengangkat berkas kuning. Terburu Erland berdiri dan meninggalkan rapat demi mendekati Aruna. Membuka pintu masih d
"Bukankah ini sudah siap?" Aruna bertanya dengan mata menatap sebentar, demi memastikan sekali lagi.Aruna menatap milik Erland yang sudah berdiri. Tapi, tangan Aruna sepenuhnya berada di sana. Erland tersenyum melihat Aruna yang menelan ludah."Gerakkan tanganmu, Sayang," tuntun Erland.Atas permintaan itu, Aruna mulai menggerakkan tangannya membuat Erland memejamkan mata. Dia menikmati perbuatan Aruna. Namun, Erland yang tak sabar langsung merebahkan dirinya.Aruna sendiri menatap tangannya dengan tak percaya. Pasalnya, ia merasakan bagaimana tekstur milik suaminya. Aruna yang sibuk dengan pemikirannya sendiri, tersentak dengan tubuh yang sudah bersatu mulai bergerak karena Erland."Ah sebentar."Jemari Aruna yang mendorong pundak, langsung digenggam oleh Erland. Lantas kembali menusuk dengan cukup kasar."Pelan-pelan," keluhnya."Tenang saja, kau akan lebih puas nanti," bisik Erland kemudian menyesap lehernya sangat kasar.Aruna menggigit bibir yang dipoles lipstik, guna meredam su