Share

Istri Ketiga Pengusaha Kaya
Istri Ketiga Pengusaha Kaya
Penulis: Lestari Zulkarnain

Pemaksaan

Pagi ini di kediaman Bapak Slamet telah ramai oleh orang-orang yang akan mengikuti prosesi akad nikah putri semata wayangnya yaitu Nada Azkia. Gadis itu akan dinikahi oleh Tuan Abdul atau nama lengkapnya Abdullah Rashid Athoillah—pengusaha mebel—yang telah memiliki banyak cabang di kotanya. Rencana akad nikah akan dilangsungkan sekitar pukul sepuluh pagi.

Sementara itu di kamar, Nada tengah dirias oleh Mbak Leli sebagai event organizer, yang terkenal di kota ini. Namun raut wajah Nada, gadis yang beberapa bulan lalu baru lulus sekolah itu tampak murung. Pasalnya ia dipaksa ibunya untuk menikah dengan Tuan Abdul, pria yang usianya hampir sama dengan ibunya.

***

Seminggu yang lalu.

“Aku nggak mau!” teriak Nada saat sang ibu memanggilnya untuk ke luar dari kamarnya. Gadis itu menutup wajahnya dengan bantal dan tak ingin ke luar bersama dengan ibunya. Sang ibu kemudian mendekat dan membuka bantal. Terlihat Nada memejamkan mata, wajahnya memerah karena kesal.

“Ibu, tolong jangan paksa aku untuk menikah dengan orang itu, aku nggak suka!” Kembali Nada berteriak. Sang ibu menutup bibirnya dengan satu jari berharap agar Nada tidak berbicara terlalu keras. “Aku masih ingin kuliah, masih ingin main-main.”

“Tenangkan dirimu, Nada,” ucap sang ibu lirih. Ia mengelus punggung tangan putrinya itu.

“Kamu tidak akan menyesal jika menikah dengan Tuan Abdul. Orangnya kaya raya,” ucap sang ibu. Nada, gadis belia yang masih berusia sembilan belas tahun itu mengerucutkan bibirnya.

“Ibu itu nggak berubah! Dari dulu yang dipikirkan hanya uang dan uang, tetapi tidak mau memikirkan perasaan orang!” protes Nada dengan nada tinggi. Lalu merangkul boneka panda yang ada di samping kanannya.

“Jika ibu tidak memikirkan harta, bagaimana bisa kamu berada di sini. Dulu ibu menikahi bapak juga karena harta. Namun seiring dengan berjalannya waktu, ibu bisa menerima bapakmu meski usia ibu dangan bapak terpaut sangat jauh.” Nada diam sembari tertunduk. “Mari ke luar dan temui dulu Tuan Abdul,” terang ibunya Nada setengah memaksa. Ia meraih tangan putrinya lalu membawanya ke luar setengah memaksa.

Di luar, Tuan Abdul tengah bercakap-cakap dengan Pak Slamet, ayahanda Nada. Nada keluar dan digandeng Bu Hamidah. Raut wajahnya menunjukkan rasa tidak senang. Ia mengerutkan alis, lalu memonyongkan bibirnya begitu sampai di ruang tamu.

“Tuan, ini Nada,” ucap wanita berkulit kulit sawo matang itu. Tuan Abdul sekilas memandang ke arah Nada. Gadis itu fokus memainkan ponselnya sembari sesekali tertawa, mungkin sedang chatting dengan temannya.

“Iya, Bu Hamidah,” balas Tuan Abdul. Pria yang usianya tiga puluhan, tetapi masih terlihat bugar. Badannya yang kekar dan wajahnya yang memiliki jambang itu tersenyum.

“Nada, silakan beri salam!” perintah Pak Slamet sembari mencolek lengan Nada yang kini masih asyik dengan ponselnya sehingga membuat gadis itu tersadar.

“Eh iya,” jawab Nada kemudian menyalami Tuan Abdul lalu memainkan ponselnya kembali tanpa memandang wajah lelaki berketurunan Arab itu.

“Nada, letakkan ponselmu dan fokus!” perintah sang ibu tegas. Matanya melotot dan berharap putrinya itu duduk dengan tenang. Gadis yang belum genap dua puluh tahun itu akhirnya menuruti perintah ibunya lalu meletakkan ponselnya di meja dan duduk diam. Matanya ke bawah dan sama sekali tidak memandang ke arah Tuan Abdul.

“Dengar! Tuan Abdul akan segera melamarmu?” seru Bu Hamidah dengan tegas.

“Ibu, aku sudah bilang kalau …!”

“Cukup! Kamu harus mengikuti perintah ibu.” Bu Hamidah kembali menekankan kepada putrinya. Hal itu membuat wajah Nada memerah dan matanya melotot. Ia tidak kuat dengan paksaan sang ibu kemudian berdiri dan setengah berlari menuju ke kamarnya. Bu Hamidah dan pak Slamet menggelengkan kepalanya.

“Apa-apaan, aku harus menikah dengan orang itu? Memangnya ini zaman apaan? Ini zaman modern, gaess, bukan lagi acara jodoh-jodohan,” gumam Nada ketika berada di dalam kamar. Ia langsung merebahkan dirinya di kasur dan menutup wajahnya dengan guling.

“Nada,” panggil Bu Hamidah pelan. Bu Hamidah menyusul Nada ke kamar, kemudian duduk di samping Nada yang tengah berbaring sembari menutup wajahnya dengan guling. “Sayang, maafkan ibu ya, Nak. Bukannya ibu memaksa, tetapi ibu ingin masa depan kamu cerah.”

Nada membuka guling yang menutup wajahnya. “Tapi bukan begini caranya, Bu!” ketus gadis itu dengan mata merah. “Aku masih ingin kuliah!”

“Sayang, itu sangat mudah. Kamu bisa minta sama Tuan Abdul untuk kuliah,” saran wanita itu membuat Nada berfikir. Kemudian ia tersenyum dan manggut-manggut.

“Baik!” Tanpa berpikir panjang, Nada langsung menyanggupi permintaan ibunya untuk menikah dengan Tuan Abdul. Secepat itu? Melihat putrinya yang berubah secepat itu, Bu Hamidah menggelengkan kepalanya. Ia penasaran kenapa putrinya itu cepat sekali berubah. Nada pun keluar menuju ke ruang tamu dan menemui Tuan Abdul yang kini tengah bercakap-cakap dengan ayahnya. Bu Hamidah mengikuti putrinya itu dari belakang.

“Ayah, aku bersedia menikah!” Ucapan Nada sontak membuat Pak Slamet dan Tuan Abdul kaget. Pikiran mereka sama dengan yang dipikirkan oleh Bu Hamidah, kok secepat ini. “Tapi ada syaratnya!” tegas Nada membuat mereka bertiga kaget sekaligus heran.

“Nada, maksudnya apa?” tanya Pak Slamet.

“Nggak apa-apa, Pak. Aku ingin mengajukan syarat kepada Tuan Abdul, jika ingin menikahiku!”

Pria berhidung mbangir yang memiliki banyak cabang Meubel itu pun menganggukkan kepala, sepertinya setuju dengan syarat yang akan diajukan Nada.

“Silakan, ajukan saja!” ucap Tuan Abdul. Ganteng juga pria ini, tidak terlalu tua jika diamati. Tidak seperti pria berumur tiga puluhan. Malah kukira masih di bawah tiga puluh. Nada membatin. Baru kali ini ia benar-benar memperhatikan Tuan Abdul sebab sedari tadi ia hanya menunduk tanpa menatap pria itu.

“Ehm, aku minta jika dalam setahun kita menikah dan aku belum memiliki anak, kita cerai!” ucap Nada mantap. Ia tahu bahwa Tuan Abdul telah memiliki dua istri, tetapi belum memiliki momongan. Menurutnya, Tuan Abdul memiliki masalah, jadi bisa aku jadikan alasan untuk bisa meminta cerai darinya jika nanti aku tidak hamil.

Tuan Abdul terbelalak dan tidak percaya dengan syarat yang diminta oleh Nada, tetapi apa pun yang terjadi, ia harus menyanggupi syarat itu. Akhirnya pria yang telah memiliki dua istri itu pun mengangguk.

Nada terperanjat begitu Tuan Abdul bersedia menikahinya dengan syarat tersebut. Ia berpikir, itu akan sia-sia. Berapa kali pun menikah, jika ia yang bermasalah, maka tidak akan punya keturunan. Sebenarnya gadis itu sedikit khawatir, sebab a sendiri merasa belum siap. Ia pikir jika mengajukan syarat tersebut, Tuan Abdul akan menolaknya. Huft.

“Besok aku ke sini lagi bersama rombongan untuk melamar putrimu, Pak!” seru Tuan Abdul serius membuat gadis itu kembali terperanjat. Setelah itu, Tuan Abdul pun pamit dan mininggalkan kediaman Pak Slamet. Nada masih terdiam dan tidak percaya dengan yang kejadian hari ini. Namun, ini nyata terjadi padanya.

***

Benar saja, keesokan harinya rombongan keluarga Tuan Abdul datang untuk melamar Nada. Tampak dua orang berpenampilan rapi, cantik dan anggun. Rupanya kedua wanita itu adalah istri-istri dari tuan Abdul. Mereka membawakan bingkisan. Lamaran yang sederhana, tetapi isinya luar biasa. Tuan Abdul memberikan amplop coklat yang berisi uang sebagai mahar dan biaya pernikahan.

Setelah melakukan musyawarah antara Tuan Abdul dan keluarga Nada, akhirnya diputuskan bahwa pernikahannya enam hari lagi. 

-----------

Bersambung!

Bagimana Gaess, seru bukan? Ih, Nada, permintaan yang aneh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status