Bian yang mendengar pertanyaan Stella, menoleh dengan alis terangkat. "Sejak kapan kau peduli aku marah atau tidak?" tanyanya membuat Stella merengut pelan dan berjalan mendekatinya. "Sikapku menyebalkan di matamu?" tanya Stella, begitu tiba di depan mejanya sampai Bian harus mengangkat kepala demi menatap wajahnya. "Aku berulang kali membuatmu emosi, aku sadar sudah salah. Tiba-tiba saja aku berpikir, kenapa aku harus sensitif padahal tidak ada sesuatu yang berlebihan yang kau lakukan? Mengingat semua itu, aku jadi tidak nyaman lama-lama di cafe, makanya aku pulang." Bian menghela napas, lalu bangkit setelah mematikan laptopnya dan berjalan menghampiri Stella yang diam menunggunya. "Kesalahan yang kulakukan memang pantas membuatmu benci padaku, aku akhirnya merasakan bagaimana perasaanmu saat kata-kataku dulu selalu menyakitimu." Bian meraih tangannya, menatap wajah Stella dengan lembut lalu kembali berkata. "Masih ada banyak waktu bagiku untuk mengubah semua itu dari dalam pik
Sampai di cafe, Stella turun sambil berpikir. Kemungkinan tadi dia terlalu sensitif, kehamilan membuatnya makin sulit dan sering memikirkan hal-hal yang menyakiti hatinya sendiri. Padahal Bian sudah berusaha melakukan yang terbaik untuknya dan berubah, tapi apa yang Stella lakukan tentu saja bisa membuat pria itu muak dengan sikapnya. "Harusnya aku tidak membuatnya emosi tiap hari." Menghela napasnya, Stella berjalan memasuki cafe. Suasana tidak begitu ramai pagi ini tapi dia tetap berusaha untuk bekerja, merapikan meja dan menyapu lalu duduk di kasir sementara Lyra menyiapkan makanan yang dipesan oleh pelanggan. Mereka bekerja sama dengan bakery dan cake yang tidak jauh dari tempat ini. Toko bakery and cake itu akan mendistribusikan hasil-hasil kue buatan mereka pada Stella yang membuka cafe lalu bekerja sama dengan sistem harga reseller. Jadi, kalau ada pelanggan yang ingin duduk-duduk dengan santai maka pihak bakery and cake langsung mempromosikan supaya mereka ke cafe
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hamil
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang