Share

Bab 4. Pernikahan

Layla hanya bisa mematung saat Ali melewatinya dan menarik tangan Sarah begitu saja.

“Pengantin pria dan petugas pernikahan sudah siap dan menunggu,” tambahnya, “jangan buat malu.”

Mendengar itu, dada Sarah terasa sesak.

Pamannya benar-benar tidak peduli pada perasaannya, sedangkan ibunya tidak punya kekuatan dan keberanian untuk menyelamatkannya.

Tidak ada sorot kebahagian sama sekali yang tampak pada wajahnya.

Sarah memindai ruangan sekejap saat keluar dari kamarnya.

Tampak beberapa tamu undangan yang merupakan tetangga terdekat rumahnya.

Pandangan Sarah menetap pada sosok wanita seusia ibunya.

Dia adalah ibunya Arjuna, kekasihnya. Rasanya, ia ingin berlari ke arah wanita itu dan menjelaskan kejadian sebenarnya.

Sayang, Ali begitu kuat menahannya.

"Wah, cantik sekali pengantin wanitanya," celetuk pegawai kantor pernikahan untuk menghidupkan suasana bahagia.

"Benar, ternyata dia sangat cantik. Selama ini, kita tidak pernah melihat Sarah berdandan secantik ini," timpal salah satu tetangganya.

"Dia memang cantik. Sayang, dia harus bekerja keras menguli di pasar. Jadi, kalian tidak menyadarinya," sanggah tetangga lainnya.

Hanya saja, pujian itu tak dipedulikan Sarah yang telah duduk di kursi bersanding dengan Adipati.

Tak sekalipun, ia mau memandang wajah “suaminya itu”.

Bagi Sarah, pria itu adalah sumber kehancuran hidupnya.

Sementara itu, Adipati hanya mengamati Sarah tanpa mengatakan apapun. Baginya, kecantikan Sarah tidak akan mampu disandingkan dengan istri pertamanya.

"Baiklah kalau begitu. Kini pengantin sudah hadir. Akan saya mulai prosesi pernikahannya," ucap petugas kantor pernikahan langsung memulai.

Adipati mengangguk setuju.

Demikian juga para saksi pernikahan dan keluarga Sarah.

Tidak sampai lima menit proses mengikat janji pernikahan telah usai. Keduanya sudah saling menyematkan cincin di jari manis mereka. Mereka juga mendapatkan surat nikah dari negara. Menandakan mereka adalah pasangan resmi dan sah sebagai suami istri.

Romi sempat mengambil foto keduanya yang tidak menunjukkan raut wajah bahagia sama sekali.

Meski demikian, ia tetap mengirimkan bukti itu pada Tuan besar Dharmawangsa yang sedang berada di Eropa.

"Romi. Aku ingin langsung kembali ke penginapan. Banyak pekerjaan menungguku," ucap Adipati mendadak.

Wajah tampan pria itu memang menunjukkan wajah lelah.

"Baik, Tuan,” ucap Romi patuh, “Nyonya Sarah, kita akan langsung pergi ke penginapan."

Sarah sontak menggeleng. "Tidak. Aku tidak perlu ikut bersama kalian. Aku akan tetap tinggal."

Mendengar penolakan itu, Adipati tidak bereaksi.

Pria itu hanya beranjak pergi. Namun, saat melewati Romi, ia menepuk pundak bawahannya itu sebagai isyarat untuk “mengurusnya”.

Di sisi lain, Romi menghela napas panjang sebelum menemui Ali kembali.

“Ada apa?” tanya paman dari Sarah itu penasaran.

“Ini koper berisi uang tunai 50 juta dari Tuan Adipati.”

“Lima puluh juta?” pekik Ali penuh binar, “di mana? Aku akan menyimpannya.”

“Ini hanya DP. Kami akan berikan 500 juta yang dijanjikan bila Sarah sudah bermalam dengan Tuan Adipati.”

Mendengar itu, Ali langsung menghampiri Sarah menarik pergelangan tangannya.

Dia tidak peduli dengan para tamu yang masih berkumpul di rumahnya.

"Paman, aku tidak mau pergi. Lepaskan aku, Paman!" pinta Sarah, panik.

Namun, Ali justru menatapnya tajam. "Kau harus ikut ke manapun suamimu pergi."

Kejadian itu jelas disaksikan para tamu yang bertukar pandang bingung.

Sementara itu, Layla hanya mematung–tidak bisa mengatakan apapun.

Wanita itu menyaksikan Sarah masuk dalam mobil mewah milik Adipati dengan perasaan pedih. “Maaf, Nak.”

***

Cekrek!

"Nyonya, silakan pakai semua yang sudah disiapkan. Ini semua milikmu."

Setelah berkata demikian, Romi meninggalkan Sarah dalam satu kamar dengan Adipati.

Keduanya tidak saling bicara.

Perlahan, perempuan itu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar hotel yang sangat besar itu.

Kamarnya sudah dihias sangat indah, seperti kamar pengantin yang berbahagia. Sayangnya, itu tak terjadi pada keduanya.

"Aku tidak mau memakainya," ucap Sarah melihat pakaian wanita, tas, sepatu, hingga aksesoris untuknya.

Mendengar itu, alis Adipati naik sebelah. "Kamu tidak boleh menolak atau membuang pemberianku," timpalnya tegas.

Sarah terdiam seketika.

Ia begitu terkejut mendengar ucapan ‘sang suami’.

Drrt!

Suara ponsel milik Adipati memecah kecanggungan keduanya.

Segera, pria itu mengangkat sambungan telepon yang masuk. "Halo?”

"Sayang, aku sedang menunggumu. Kapan kamu akan pulang?" rengek sang istri manja. Tampak sekali, Anna tidak ikhlas jika suaminya menghabiskan malam dengan madunya.

"Besok aku akan pulang. Jangan menggerutu begitu. Aku akan memberimu hadiah yang bagus besok."

Adipati berbincang dengan istrinya seolah tidak menghiraukan keberadaan Sarah.

Perempuan itu pun terpaksa mendengar percakapan mereka yang konyol.

Keduanya sangat tidak waras.

Bagaimana bisa seorang istri membiarkan suaminya dibagi dengan wanita lain?

Apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya?

Apa mungkin … kehidupan orang kaya memang sudah tidak waras semua?

Tanpa disadari, Adipati telah menutup teleponnya.

Pria itu pun membuka laptopnya untuk mengecek beberapa pekerjaan.

"Mandilah lebih dulu. Aku akan menyelesaikan pekerjaanku sebelum kita melakukannya." Tiba-tiba, Adipati menoleh ke arah Sarah yang duduk di atas ranjang.

"Me-melakukan apa?" tanya perempuan itu mengernyitkan dahi.

Adipati membuang nafas kasar. "Haruskah aku mengatakannya? Tentu saja, malam pertama kita."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status