“Tapi … makeup kamu juga belum selesai, Sul,” kata Oky yang baru mematikan kameranya. “Pokoknya saya enggak mau kalau Mas Wira jadi begini. Ini namanya kamu merusak yang sudah bagus. Sebenarnya Mas Wira enggak perlu dipakein segala macam sampai setebal ini. Tadinya saya kira bakal tahu takarannya. Nyatanya enggak. Ayo, cepat dihapus. Saya selesaikan dulu makeup sama Budhe Lina.” Sully berdiri sejenak melihat tangan Ningsih yang gugup berpindah antara kapas dan pembersih makeup. Ningsih menatap Budhe Lina dengan sorot takut-takut. “Budhe….” “Ya sudah, hapus. Memang enggak ada bagus-bagusnya, kok,” ujar Budhe Lina. Sully dan Oky bertukar pandang. Tidak ada bagus-bagusnya, tapi Ningsih dibawa untuk membantunya sebagai asisten. Sungguh atasan yang tidak bertanggung jawab, pikir Sully. Ia lalu kembali duduk dan memejamkan matanya. Wajahnya sudah berubah masam. Dan suasana hatinya mulai terganggu eh satu insiden itu. Ningsih lanjut membersihkan wajah Wira. Dan Sully sudah memejamkan ma
Suara Pak Gagah membawa pengaruh luar biasa di kamar itu. Budhe Lina langsung terbang meraih hanger berisi kebaya. Tubuh Sully dijejalkan dengan paksa. Dan Ningsih yang sejak tadi tidak berguna, kali itu bisa bergerak cepat mengancingkan kebaya putih yang membungkus tubuh Sully dengan sempurna. “Tuh, kan. Untung kemarin masih sempat diukur. Kalau pas gini semakin ayu,” kata Budhe Lina. Wanita itu lalu menoleh pada Wira yang berdiam sejenak di ambang pintu. “Nunggu apa lagi? Sana, Gus. Keluar duluan. Istrimu sebentar lagi nyusul,” pinta Budhe Lina. Wira mengangguk dan sempat melemparkan tatapan pada Sully sebelum keluar kamar. Sepuluh menit kemudian, Oky sudah menjepretkan kameranya beberapa kali untuk mengabadikan tampilan Sully. “Ini udah oke banget,” kata Oky, menunjukkan hasil jepretannya di ponsel. “Nanti foto berdua sama Mas itu, ya .... Buat kenang-kenangan,” tambahnya lagi. Sully tak menyahuti perkataan sahabatnya. Oky yang keluar kamar lebih dulu dibanding Sully, menghentik
Wira melangkah lebih dulu keluar kamar dan melihat pagi itu ternyata dihadiri orang tiga kali lipat banyaknya dari yang ia perkirakan. Bapaknya duduk di dekat Pak Mangun yang seperti biasa hadir dengan dandanan nyentrik menyerupai dukun. Saat melihat kehadirannya di sana, bapaknya terlihat beringsut menjauhi Pak Mangun. Pasti ada sesuatu yang ingin dikatakan bapaknya.Belum lima menit ia duduk menghadapi meja kecil sebatas dadanya, Sully diantar masuk ke ruangan itu dengan wajah bingung. Budhe Lina dan asistennya terlihat seakan menyeret wanita itu untuk dinikahkan paksa. Detik itu, ia merasa semakin bersalah. Ia sudah memperalat Sully.Dan hal yang paling tak disangkanya pagi itu adalah ketika bapaknya menyodorkan sebuah kotak cincin padanya. Hatinya terenyuh karena menyadari kalau itu adalah cincin pernikahan yang dipakai ibunya sampai wanita yang melahirkannya itu meninggal dunia. Cincin emas murni yang bentuknya tak benar-benar bulat karena tergerus waktu.Lalu hal lain yang membu
“Pak Gagah, Pak Effendi itu...Pakdhe-nya Fariz, kan?” Saptono merapatkan berdirinya dengan Pak Gagah. Pria tua itu setengah tertegun memandang kedatangan keluarga tengkulak nomor satu di sana.“Benar. Pak Effendi dan Pak Fadly adalah kakak beradik yang usahanya sama. Sama-sama tengkulak dan sama-sama bersaing. Dibanding adiknya, Pak Effendi jauh lebih kaya dan berpengaruh. Kenalannya di kota orang-orang penting. Perasaanku agak enggak enak lihat mereka datang. Semoga enggak sampai ngomong apa-apa ke Bagus. Menantuku bisa dengar,” ucap Pak Gagah, meninggalkannya Saptono dan pergi ke dekat pagar menyambut keluarga Pak Effendi.“Pak Gagah ….” Pak Effendi menjabat tangan Pak Gagah sembari mengguncang-guncang dan menepuk lengan pria tua itu cukup lama.“Apa kabar, Pak Effendi?” Pak Gagah berbasa-basi.“Saya tersinggung enggak diundang,” kata Pak Effendi dengan raut cemberut dibuat-buat.Pak Gagah tertawa. “Ini hanya resepsi sederhana. Cuma untuk menyambut Bagus dan istrinya sekalian ngunda
Sully merasa puas membuat Ratna meninggalkan pelaminan lebih cepat dari dugaannya. Tak sia-sia ia membuat tulangnya lunak dengan bersandar dan bergelayut di lengan Wira selama pria itu bicara dengan Pak Effendi. Ditambah lagi dengan tertawa manja sambil menggaruk lengan Wira dan sesekali menyembunyikan wajahnya di sana. Ratna berlalu dengan raut gerah. Sully ikut tersenyum dan mengangguk pada Pak Effendi ketika pria itu turun menyusul anaknya. Dari kejauhan Sully melihat kalau keduanya tak sempat menikmati hidangan. Pak Effendi malah terlihat mengomeli dua putrinya yang lain untuk cepat-cepat meninggalkan piring mereka. Benar-benar keluarga yang aneh, batin Sully. “Itu keluarga tengkulak paling berpengaruh belasan tahun di desa ini,” ucap Wira. “Banyak petani yang berhutang gali lubang tutup lubang dan terpaksa tetap terus menjual pada Pak Effendi meski dihargai sangat murah. Dia memastikan petani terus bergantung dan enggak bisa ke mana-mana lagi.” Wira menoleh pada Sully, lalu mema
Ponsel Wira masih bergetar selama hampir semenit baru kemudian kembali senyap. Setelah dua kali menunduk berusaha melihat bentol gigitan nyamuk di kaki Sully, tapi mendapat penolakan dan kibasan tangan dari wanita itu, Wira menegakkan tubuhnya kembali. Ia tak mau jadi pusat perhatian para tamu. “Mas … aku capek,” kata Sully dengan wajah cemberut. “Sabar sebentar lagi, ya …. Pak Mangun sepertinya sudah mau pulang. Itu, lihat. Sudah berdiri jalan ke sini sa Bapak,” kata Wira, menenangkan Sully. Sully ikut melongokkan kepala memandang tempat yang ditunjukkan Wira. Pak Mangun yang berbalut rantai memang sedang berjalan bersisian dengan Pak Gagah menuju tempat mereka. Sully menegakkan tubuh menantikan pria yang katanya paling disegani dalam hal pelaksanaan adat istiadat di desa itu. “Ini menantu saya, Pak,” kata Pak Gagah seusai Wira berjabatan tangan dengan Pak Mangun dan giliran memperkenalkan Sully. “Mmmm … Enggak tahu kalau Tarmiah sudah lama meninggal, ya?” tanya Pak Mangun pada S
Kalau dalam pernikahan normal, sewajarnya malam itu adalah malam pengantin buat Wira dan Sully. Tapi pikiran itu memang tidak ada terlintas dalam benak Wira. Pernikahan yang membawa judul meyakinkan warga desa, hanya berakhir dengan Wira membuka akun sosial media Sully dan berdiam lama di sana. Hari itu, Wira memahami hal baru soal Sully. Pertanyaan orang-orang soal profesi artis yang digeluti Sully, awalnya tidak membawa rasa penasaran apa pun untuknya. Namun, melihat Sully begitu mahir dan menikmati memulas kosmetik ke wajahn, rasa penasarannya tergelitik. Jemari Wira menggulir layar ponsel. Melihat puluhan foto dan video yang kalau digabung jumlahnya ratusan. Tak ada foto atau video yang dilakukan Sully dengan sia-sia. Semuanya selalu bertujuan mengiklankan suatu produk. Sosial media milik Sully, sama sekali tidak menggambarkan kehidupan pribadinya. Semua hanya berisi iklan dan iklan. Bahkan video Sully sedang berolahraga santai pun, di akhir video tetap menyebutkan merek suatu p
Sully keluar kamar dengan maksud menemui Oky. Di dapur, ia malah bertemu Pak Gagah lebih dulu. Pria itu duduk di kursi makan dengan cangkir teh di tangannya. “Bagus baru selesai beresin kayu bakar dari subuh tadi. Belum ada ngeteh, apalagi sarapan. Saya sudah terbiasa mengurus diri sendiri sejak istri saya meninggal. Bagus juga terbiasa mandiri. Tapi sekarang beda. Bagus sudah punya istri. Jadi, memang seharusnya dia diladeni. Setidaknya ada secangkir teh setiap pagi.” Perkataan Pak Gagah yang tanpa tedeng aling-aling membuat Sully membeku di tempatnya. Uang lima juta yang tersimpan di dompet kain tentu saja tidak diberikan cuma-cuma, pikirnya. “Iya, Pak.” Sully tak tahu harus mengatakan apa selain langsung mengiyakan. “Pagi tadi Bagus sudah masak nasi. Itu bumbu dapur semuanya lengkap. Kamu bisa bikin nasi goreng atau apa terserah kamu. Di lemari ada telur. Kalau ada kurang apa-apa yang mau dibeli, bisa dititip ke Bagus. Warung jauh dari sini,” jelas Pak Gagah. “Iya, Pak,” sahu