Share

Sebuah Keputusan

“Apa? Menikah? Tapi, kita bahkan belum saling mengenal,” ujar Rara kaget.

Bagaimana tidak, kalimat pertama yang Joe lontarkan saat bertemu Rara hari ini adalah ajakan untuk menikah.

  “Kenapa kaget? Aku akan membayarmu sangat mahal! Kamu tinggal sebutkan saja angkanya. Tenang saja, aku tidak akan menyentuh tubuhmu sedikitpun,”

  “Joe...” suara Rara tercekat, “Jangan bercanda. Mengapa kamu seolah menganggap pernikahan adalah hal yang remeh?”

  “Tidak usah berbelit-belit, waktuku tidak banyak! Jangan terlalu lama berpikir dan segera hubungi aku!"

Rara sangat bingung dengan perubahan sikap Joe. Sebelumnya, dia adalah orang yang sangat sopan dan ramah. Tapi, malam ini Joe sangat ketus dan terlihat meremehkan Rara.

  “Kita perlu saling mengenal sebelum menikah! Kita harus saling mencintai untuk mengucap janji pernikahan!” Rara pun berteriak tepat sesaat setelah Joe mulai berjalan ke mobilnya untuk meninggalkan Rara.

  “Cinta?! Hahaha… sudah kuduga. Kamu memang sangat polos!” balas Joe yang sekarang sedang berjalan dan kembali mendekati Rara.

  “Jaman sekarang, uang lebih penting daripada cinta!” ujar Joe di telinga Rara sambil tersenyum sinis.

Mendengar semua perkataan Joe, Rara pun terdiam dan mematung di kursi taman. Bagaimana bisa ada orang yang mengajak untuk menikah dengan cara yang sangat kasar seperti itu?!

Tapi, memikirkan bahwa Joe akan membayarnya dengan sangat mahal, Rara pun sedikit tergoda, mengingat saat ini dirinya membutuhkan banyak uang untuk biaya sekolah adiknya yang masih SMA.

Rara membuyarkan lamunannya sendiri, kemudian beranjak untuk meninggalkan taman. Dia berpikir sangat serius tentang tawaran Joe tadi.

Apakah Rara harus menyetujuinya? Lagipula, Joe bilang tidak akan menyentuh Rara sedikitpun. Bisa jadi, Rara dan Joe akan cocok seiring dengan berjalannya waktu, kan?

Setelah beberapa menit berjalan dan bergulat dengan pikirannya sendiri, Rara pun sampai di rumah kontrakannya yang sempit dan langsung menjatuhkan dirinya ke ranjang.

  “Ah, biar kupikirkan besok saja,” gumam Rara dalam hati.

***

Pagi ini Rara dibangunkan oleh dering ponselnya. Dia meraba nakas di samping ranjang untuk mencari keberadaan ponselnya. Rara menatap layar ponsel, dan berdecak kesal karena Ibunya menelepon sepagi ini.

  “Iya, Bu? Ada apa?” tanya Rara saat menjawab panggilan dari Ibunya.

  “Rara, boleh kirim uang untuk Ibu hari ini? Ibu harus bayar arisan.”

  “Ibu, berhentilah ikut arisan. Rara masih belum mendapat pekerjaan baru, dan tabungan Rara mulai menipis.”

  “Ibu kan, ikut arisan ini agar bisa membeli kalung emas yang Ibu inginkan. Memangnya Rara mau membelinya unntuk ibu?!” Terdengar suara Ibu Rara yang mulai meninggi.

  “Padahal, Ibu ikut arisan dengan uang dariku. Sama saja seperti aku yang menabung untuk membelinya,” protes Rara meski dalam hati.

Rara tidak sedang bersikap perhitungan saat ini. Dia hanya berharap ibunya mengerti keadaan Rara dan berhenti menggunakan uang untuk sesuatu yang tidak perlu.

“Kirim uangnya siang ini, ya! Ibu tunggu,” ujar ibu Rara sebelum memutus panggilannya.

Rara mendengus pelan dan menutup mata dengan pergelangan tangannya. Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini, adik perempuan kesayangan Rara yang menelepon. Dia adalah gadis manis bernama Putri.

  “Kenapa, Put?” tanya Rara lembut.

  “Mbak, Putri harus membayar SPP dalam minggu ini. Karena, minggu depan Putri sudah mulai ujian sekolah," suara Putri terdengar lemah.

  “Iya, besok Mbak Rara kirim uangnya, ya.”

  “Iya, Mbak. Maaf ya, Putri dan Ibu selalu merepotkan Mbak Rara.”

  “Mbak Rara tidak kerepotan, kok. Putri sekolah yang rajin, ya. Tidak usah memikirkan apapun tentang biaya sekolah.”

Rara menghembuskan nafas panjang dan berpikir sangat keras untuk mencari jalan keluar atas kesulitannya. Setelah dipikir-pikir, Rara sudah bekerja sejak lulus SMA hingga kini dirinya sudah berusia 22 tahun. Pengalaman bekerjanya sudah cukup banyak. Namun, sampai saat ini tidak ada satu panggilan pun untuk menerima lamaran pekerjaan Rara.

***

  “Joe... bisa bertemu sebentar saat makan siang?” suara Rara terdengar parau saat dirinya menelepon Joe.

Rara berniat untuk menerima penawaran dari pria yang baru dia kanal itu. Sedangkan, di seberang telepon, Joe sedang tersenyum sinis karena merasa dirinya akan segera membawakan papanya calon menantu.

Tanpa menunggu lama, Joe segera menghentikan pekerjaanya. Dia bergegas pergi ke taman dekat tempat tinggal Rara.

  “Ra, aku berada di taman dekat rumahmu. Cepat kesini sekarang!” ucap Joe saat menelepon Rara.

  “Loh, aku bilang kan, kita bertemu saat makan siang,” protes Rara sambil mengerutkan keningnya.

  “Sudahlah, cepat kesini! Aku tidak bisa menemuimu saat makan siang!” suara Joe dari ujung telepon mulai terdengar tidak sabar.

Rara pun memilih untuk mengalah. Dia keluar rumah dan segera menemui Joe di taman.

  “Joe!” panggil Rara saat melihat Joe yang sedang mondar-mandir di taman.

  “Hai! Jadi, kenapa kamu mengajakku bertemu?” tanya Joe yang terlihat tak sabar.

  “Tentang tawaranmu semalam, apa syaratnya?”

Joe menyeringai senang. Akhirnya, dia akan segera mengambil alih perusahaan.

  “Tidak ada syarat khusus, sih. Kamu hanya perlu sedikit berbohong pada orang tuaku.”

  “Bebohong?” tanya Rara yang tidak memahami maksud dari perkataan Joe.

  “Iya. Kamu harus bilang bahwa kita sudah saling mengenal selama satu tahun.”

  “Kenapa?”

  “Aku tidak mengijinknmu bertanya!” suara lantang Joe membuat Rara terkejut.

  “Baiklah," ucap Rara yang tidak ingin berdebat dengannya.

  “Aku akan menjemputmu nanti malam. Kita akan bertemu orang tuaku. Berdandanlah yang rapi!”

Setelah mendapat jawaban yang diinginkannya, Joe segera pergi meninggalkan Rara di taman. Joe hanya tinggal memikirkan cara yang tepat untuk membuat Clay mengerti tentang pernikahan ini. Bagaimana pun, pernikahan ini hanya pura-pura dan Joe tidak akan meninggalkan kekasihnya.

*** 

  “Coba ulangi sekali lagi. Apa katamu barusan?!” suara Clay terdengar gemetar.

  “Sayang, ini hanya sementara. Aku harus berpura-pura menikah untuk meyakinkan papa,” ucap Joe meyakinkan Clay.

  “Bagaimana bisa aku membiarkanmu menikah dengan wanita lain, meski hanya pura-pura?!” tanya Clay sambil mencoba menahan tangisnya.

  “Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan selalu ada saat kamu membutuhkanku. Aku tidak akan berubah,” ucap Joe sambil menggeser kursinya dan memegang tangan Clay.

  “Sayang, setelah perusahaan Papa sepenuhnya menjadi milikku, aku akan segera menceraikan wanita itu dan menikahimu. Percayalah,” lanjut Joe.

  “Baiklah, tapi kalau sampai kamu menyentuh wanita itu, aku benar-benar akan meninggalkanmu!” Clay segera berdiri dan pergi meninggalkan Joe. 

Joe hanya tertunduk lesu melihat punggung gadis yang dicintainya mulai menjauh. Dia benar-benar harus segera menyelesaikan misinya agar bisa menikahi gadis yang sangat dicintainya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status