"Jadi, kamu ingin meminjam uang kepada saya?" tanya Gunawan---bos Airy.
"Maaf, Pak Gunawan, kalau saya sudah lancang. Tapi saya saat ini sedang membutuhkan bantuan dari Bapak. Dan saya harap, kiranya Bapak ingin bermurah hati untuk membantu saya," ucap Airy menundukkan kepalanya.
"Kalau boleh tahu, apa yang membuat kamu memiliki keberanian kepada saya?" tanya Gunawan.
"Emm ..." Airy menggigit bibirnya. "Kakak saya kondisinya kritis di rumah sakit. Dan dokter menyarankan harus dioperasi. Biaya operasi tersebut memakan biaya 750 juta."
"Kakakmu sakit apa?" tanya Gunawan.
"Gagal ginjal, Pak. Saya mohon bantuannya, Pak. Saya tidak tahu lagi harus meminjam kepada siapa."
Airy harap-harap cemas melihat Gunawan yang tetap diam tanpa jawaban. Ia memainkan kesepuluh jarinya dengan dada yang berdebar. Ia memberanikan diri untuk mengajukan pinjaman ke perusahaan setelah mengalami pikiran buntu. Jika seandainya Gunawan menolak memberikan bantuan, Airy tidak tahu harus kemana lagi.
"Bagaimana, Pak? Apakah boleh?" tanya Airy tidak sabar.
Jantung Airy berdebar kencang melihat Gunawan menatapnya dengan raut wajah yang tidak bersahabat. Sepertinya tidak ada harapan untuk Airy meminta bantuan kepada pria paruh baya yang merupakan bosnya. Entah ia harus mencari bantuan ke mana lagi.
"Saya permisi, Pak. Maaf sudah mengganggu waktu Bapak." Airy menghormat dan membalikkan badan dan bersiap untuk pergi.
"Tunggu, Airy!" cegah Gunawan.
Langkah Airy terhenti. Perlahan ia membalikkan badannya. Airy menatap bingung terhadap Gunawan.
"Saya kan belum menjawab pertanyaan kamu," cetus Gunawan.
Airy berpikir, karena Gunawan tidak kunjung menjawab, dan menatapnya dengan tatapan yang tidak nyaman, Airy menyimpulkan bahwa Gunawan tidak mau membantu. Mungkin Gunawan berpikir sejenak, karena merasa kasihan, atau apa, Airy tidak tahu.
"Saya akan membantu untuk operasi kakakmu," ujar pria paruh baya itu.
"Benarkah, Pak?" tanya Airy tidak percaya.
Gunawan mengangguk. "Iya. Saya tidak bohong."
"Terima kasih, Pak," ucap Airy penuh haru.
Airy sangat bersyukur keajaiban datang membantu dirinya di dalam kesulitan seperti sekarang. Ia berjanji dalam hati akan membalas kebaikan bosnya tersebut. Awalnya ia hampir menyerah. Namun, Tuhan memberikan kejutan.
"Di rumah sakit mana kakakmu dirawat?" tanya Gunawan.
"Di rumah sakit, MHBD," beritahu Airy.
"Baik. Nanti malam, saya akan ke sana."
"Sekali lagi terima kasih, Pak."
"Hm. Kembalilah bekerja!"
Airy keluar dari ruangan kerja Gunawan dengan diiringi napas lega. Ia sangat bersyukur Tuhan memberikan jalan yang mudah. Airy berharap, dengan bantuan dari Gunawan bisa menjadi jalan untuk Kak Wina menuju kesembuhan.
Airy memutuskan untuk kembali bekerja. Ia tidak merasa pusing lagi memikirkan biaya ataupun donor untuk ginjal sang kakak. Gunawan mengatakan kepada Airy, bahwa pria paruh baya itu akan mengurus semuanya.
Ketika menjelang sore tiba, Airy telah menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan bersih-bersih digantikan oleh teman Airy yang bekerja shift malam. Airy memutuskan untuk pergi ke rumah sakit.
Gunawan menepati janjinya Airy untuk datang ke rumah sakit yang telah diberitahukan oleh Airy pada malam hari. Saat Gunawan tiba, Airy dan Ratih, duduk di kursi tunggu depan ruang Wina dirawat.
"Airy!" panggil Gunawan.
Airy beringsut dari duduknya, dan mendekat. "Ya, Pak?"
"Mari kita bicara sebentar!" ujar Gunawan kemudian menjauh dari tempat Airy menunggu.
Gunawan berjalan ke salah satu sudut ruangan, dengan diikuti Airy yang mengekor di belakangnya. Tak lama kemudian, Ramli, asisten Gunawan datang sambil membawa sebuah map berisi dokumen. Airy memperhatikan wajah Gunawan yang menampilkan ekspresi serius.
"Bagaimana, Pak?" tanya Airy.
Entah mengapa hatinya sedikit was-was melihat ekspresi serius yang ditampilkan oleh Gunawan. Ia takut jika pria paruh baya itu akan membatalkan membantu operasi Kak Wina. Jika Gunawan menggagalkan, maka Airy akan kesulitan mencari bantuan lagi.
"Saya akan bantu kamu. Tetapi ini tidak gratis," tutur pria paruh baya itu.
Airy terdiam sejenak, kemudian berkata, "Baik. Saya mengerti, Pak. Bapak boleh memotong gaji saya untuk melunasi hutang."
"Ada persyaratan yang harus kamu tanda tangani. Dan kamu tidak boleh menolaknya," tegas Gunawan.
Airy menatap Gunawan dengan kening berkerut. "Persyaratan apa, Pak?"
"Saya butuh balas budi kamu," jawab Gunawan.
"Persyaratan apapun itu, dan balas budi apapun yang harus kamu lakukan, apakah kamu bersedia? Apakah kamu tidak keberatan karena ini menyangkut masa depan kamu?"
"Saya sudah janji kepada diri saya sendiri, akan melakukan apapun untuk kakak saya bisa sembuh, Pak," ucap Airy tanpa keraguan.
"Kamu yakin?" tanya Gunawan memastikan
Airy mengangguk. "Yakin, Pak."
Gunawan kemudian beralih menatap Ramli yang berdiri tak jauh dari mereka berdua. Gunawan, kemudian memberi isyarat lewat mata kepada sang asisten. Ramli yang paham, kemudian mendekati Airy, dan memberikan sebuah map untuk dibaca oleh gadis itu.
"Silakan dibaca, Nona!" ujar Ramli.
Perlahan-lahan, Airy membuka map tersebut. Gadis itu mencoba meresapi barisan tinta hitam yang tertulis rapi di sana. Seketika matanya melebar membaca poin yang mengejutkan.
"I-ini ... tidak salah, Pak?" tanya Airy dengan suara bergetar.
"Tidak." Gunawan menggeleng.
Airy memejamkan matanya erat. "Apakah tidak ada persyaratan yang lain, Pak?"
"Bukankah kamu tadi bilang, kalau kamu akan melakukan apapun demi Kakakmu bisa sembuh? Bukankah kamu tadi mengatakan, persyaratan apapun yang saya ajukan, kamu akan menyetujuinya?" telak Gunawan.
"Tapi bukan harus menikah dengan cucu bapak," protes Airy.
Airy tak lupa beberapa saat yang lalu mengatakan bersedia melakukan apapun untuk melakukan balas budi kepada Gunawan. Tetapi, Airy begitu terkejut melihat syarat yang harus dijalani. Menikah dengan cucu dari Gunawan. Ini benar-benar di luar dugaannya.
"Jika kamu keberatan, tidak apa-apa," kata Gunawan.
"Tapi ..." Gunawan menggantung kalimatnya.
"Maaf saya tidak bisa membantu kamu. Dokter yang menangani kakakmu, akan saya suruh untuk menghentikan tindakannya."
Airy membeku mendengar penuturan Gunawan. Gunawan tidak bermain-main dengan kata-katanya. Terlebih lagi dengan penolakan yang di ucapkan oleh Airy.
Gunawan kemudian beralih menatap asistennya. "Pak Ramli! Minta kepada Dokter Joshua untuk menghentikan tindakannya. Ini perintah dari saya."
Ramli mengangguk. "Baik, Pak. Akan saya temui dokter Joshua."
Selama beberapa detik Airy membisu tak tahu harus berbicara apa. Ia dalam kebingungan yang mendera hati. Dengan rasa khawatir akan kehilangan kakak tercinta, ia harus menuruti apa yang diajukan oleh Gunawan. Ketika Ramli mulai berjalan satu langkah akan meninggalkan mereka berdua, Airy mengambil sikap dengan cepat.
"Saya bersedia, Pak," ucap Airy dengan suara bergetar.
Gunawan menoleh menatap Airy, dan tersenyum penuh kemenangan. "Baik. Segeralah tanda tangan!"
Dengan tangan bergetar, Airy memantapkan hati untuk membubuhkan tanda tangan di atas dokumen yang ia pegang. Sebuah coretan sudah ia goreskan di atas materai. Dengan demikian, perjanjian telah disepakati antara kedua belah pihak.
"Sudah, Pak." Airy menyerahkan map kepada Ramli.
"Pak Ramli! Beritahu dokter segera lakukan tindakan operasi!" perintah Gunawan.
"Baik, Pak!" Ramli kemudian melangkah pergi untuk menemui dokter.
Setelah Ramli melangkah jauh, Gunawan menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi cucu menantunya. Ia menghela napas melihat Airy dengan wajah tertekan. Pria paruh baya yang telah beruban itu, mengerti akan suasana hati Airy.
Airy, mencoba menahan gemuruh yang ada di hati. Tak pernah sedikitpun ia berpikir untuk merelakan hidupnya demi sang kakak. Babak baru akan dimulai sebentar lagi.
"Apakah keputusan ini benar?" batin Airy.
.
"Sepertinya ... ada seseorang yang sudah mendapatkan tambatan hati baru. Padahal dia belum juga resmi bercerai dari suaminya.""Kakak?!" Airy terkejut melihat kehadiran Wina--- Kakak tirinya. Entah apa maksudnya wanita itu datang kesini. Jika tidak ingin mencari masalah dan memakinya, sudah pasti wanita itu ingin menekannya melakukan sesuatu hal.Wina tersenyum miring menatap adiknya tersebut. Ia melihat ke arah jalan yang sudah sepi. Terutama jalan yang ditempati oleh mobil milik Yudha beberapa saat lalu. Dan Wina, melangkah perlahan mendekati Airy. "Siapa itu? Selingkuhan kamu?" tanya Wina menatap sinis Airy.Airy memejamkan matanya erat. Kakaknya itu tidak tahu apa-apa. Tapi main asal menuduh saja. Harusnya Wina cukup menanyakan siapa pria itu. Tidak perlu sampai menuduh sesuatu hal yang tidak benar. "Jadi alasanmu ingin bercerai dari Ferdinand, karena pria itu?" tanya Wina lagi.Airy terkejut dengan asumsi yang dialami oleh Wina. Padahal, alasannya bukan itu. Tapi ia tak mung
"Terima kasih atas ajakan makan malamnya," ucap Airy pada Yudha.Yudha mengangguk seraya tersenyum. "Sama-sama. Saya merasa beruntung. ajakan makan malam saya diterima oleh Anda. Airy memutuskan untuk menerima ajakan makan malam dari Yudha. Setelah pria itu menawarkannya di saat melakukan pemesanan papan bunga, Airy hanya menjawab akan memikirkannya. Setelah Airy mengirimkan papan bunga pesanan polisi muda itu, ia menelpon Yudha bahwa bersedia untuk makan malam bersama. Yudha pun sudah menyisihkan waktu setelah selesai melakukan tugas piketnya dan mengajak wanita yang sebentar lagi akan bercerai itu makan malam di sebuah restoran.Restoran yang didatangi oleh Airy dan Yudha, bernuansa retro. Airy tersenyum tipis memandang lampu gantung antik dan kursi kayu dengan ukiran khas, serta setiap sudut ruangan dilengkapi dengan ornamen indah. Ia merasa nyaman berada di sana. Yudha menatap wajah cantik Airy yang tersenyum memindai ruangan dalam restoran tersebut. Ada sebuah tatapan kagum yan
"Aku akan memberikan surat permohonan cerai ini pada suamiku. Semoga perpisahan antara kami berjalan lancar tanpa ada halangan," harap Airy sambil tersenyum tipis. Airy datang ke kantor suaminya, dan ingin memberikan surat permohonan cerai agar ditandatangani oleh pria itu. Awalnya ia ingin memberikan surat tersebut ke perusahaan Arlyansyah langsung. Tetapi Ramli memberitahukan padanya bahwa Ferdinand tidak lagi menempati posisi CEO di sana dan diberhentikan oleh Gunawan. Dan Airy mengingat bahwa suaminya memiliki perusahaan yang dibangun mandiri oleh pria itu. Sampai akhirnya Airy memutuskan pergi ke sana sendiri. Surat gugatan cerai itu sudah dibubuhkan tanda tangan miliknya. Tinggal Ferdinand yang akan menandatanganinya.Sidang mediasi rencananya akan dilaksanakan minggu depan. Ia berharap perceraiannya bisa diurus dengan lancar tanpa ada kendala sedikit. Airy tidak ingin ada drama yang akan melelahkan hati dan pikirannya.Airy memikirkan untuk berpisah secara baik-baik tanpa ada
"Jadi ... dikirim hari Minggu ya, karangan bunganya?" tanya Airy pada seorang polisi yang memesan karangan bunga ucapan selamat."Iya. Benar hari Minggu," jawabnya.Airy mencatat pemesanan papan bunga yang akan ditujukan ke alamat tertentu beserta hari yang diminta. "Terima kasih, Pak Yuda. Karena selalu percaya dengan toko kami."Polisi yang bernama Yuda itu tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama."Polisi gagah yang memiliki pangkat Bintara itu memperhatikan wajah Airy dengan kagum. Semua orang mengenal bahwa Airy adalah istri dari pengusaha kaya raya Ferdinand Arlyansyah. Tak sedikit dari mereka kalangan pria mengagumi sosoknya. "Kemarin saya memperhatikan cincin di tangan Anda. Kenapa sekarang tidak ada?" tanya Yuda sambil memperhatikan jari manis milik Airy.Airy yang sedang meletakkan buku beralih menatap Yuda. Ia kemudian memperhatikan jari tangannya. "Oh ... maksudnya cincin nikah? Sudah saya lepas. Karena saya sedang proses bercerai dengan suami saya," beritahu Airy.Yuda namp
Ferdinand saat ini sedang mengamuk kepada Dicky. Setelah ia diberhentikan dari jabatan CEO oleh kakeknya di perusahaan keluarga Arlyansyah, ia memilih fokus untuk mengembangkan perusahaan yang ia bangun secara mandiri tanpa campur tangan Gunawan. Ia bertekad mengembangkan perusahaan itu tanpa bayang-bayang keluarga Arlyansyah. Namun baru saja dirinya memenangkan tender, data-data dari perusahaan yang dimilikinya bocor karena keteledoran."Apa-apaan ini? Bagaimana bisa bocor data-data kita?" amuk Ferdinand pada Dicky.Ferdinand membanting lukisan yang ada di ruangan itu hingga hancur berkeping-keping. Ia melampiaskan emosinya disana. Dicky ketakutan melihat bosnya mengamuk seperti itu. Suasana di ruangan tersebut begitu mencekam."Kenapa kamu diam, Dicky? Apa alasannya?" teriak Ferdinand. "Maaf, Pak. Tapi ... saya tidak bisa mengendalikannya." Dicky menunduk dalam. Ia merasa takut dengan Ferdinand yang tak bisa mengendalikan emosi. "Lalu, apa gunanya saya mau bayar kamu? Hah?"Para k
Mobil hitam yang dikendarai oleh Airy berhenti di depan rumah sederhana milik sang ibu. Tepat di belakang, terdapat mobil dinas sosial yang ikut serta dengannya. Airy dan para petugas dinas sosial yang ikut serta, keluar bersama-sama dari mobil masing-masing.Airy melangkah mendekat ke arah mereka. "Sebentar saya panggilkan!"Wanita anggun itu dengan langkah tegas menaiki teras rumah. Sudah lama ia tak pulang ke rumah ini setelah menikah dengan Ferdinand. Ratih bahkan tidak memperbolehkan Airy untuk pulang ke rumah itu lagi. Bahkan setelah Airy memutuskan untuk bercerai dari Ferdinand, Ratih tak mengizinkan nya untuk tinggal di rumah itu lagi.Menghela napas, Airy mengangkat tangan dan mengetuk pintu. Tak membutuhkan waktu lama, pintu bercat putih itu dibuka oleh Ratih. Wanita paruh baya itu heran dengan kedatangan sang anak. "Kok kamu datang nggak bilang-bilang dulu?" tanya Ratih heran.Airy mengangkat bahunya cuek. "Bukankah ini masih rumahku?"Ratih melihat ada mobil lain yang dat