Share

Episode 1

Sepulang dari tugasnya sebagai dokter, Adnan dengan penuh gembira membawa hadiah kecil untuk putri kembarnya. Disambut senyum hangat sang istri sembari mengambil dan membawa tas kerja yang ia bawa.

“Sayang. Muka kamu pucat. Kamu sakit? Ayo aku periksa sebentar.” pria itu sedikit khawatir.

“Tidak usah, Mas. Ini Cuma kecapek-an, nanti bisa sembuh sendiri sehabis istirahat.”

Adnan meng-iyakan dan tak ambil pusing pada kondisi si istri. Mungkin benar hanya letih biasa. Kemudian ia melangkah menuju kamar dan langsung membersihkan diri. Bau obat masih melekat pada bajunya. Barulah dua bocah kembar menghampiri ayahnya yang sedang berganti pakaian. Memeluk kaki Adnan pada masing-masing sisi, meminta di gendong.

“Anak Papa sudah bisa minta ini itu, ya?” ia berjongkok lalu mengecupi pipi anaknya gemas.

“Ayo kita temui Mama dibawah.”

Dari kejauhan Adnan melihat istrinya sedang menyiapkan makan malam, sosok perempuan cantik dan sempurna bagi lelaki ini.

Teriakan lucu yang ikut memanggil ibu-nya dari dua gadis mungil kembar dalam gendongan sang Ayah sembari menuruni tangga, menghampiri nyonya rumah mereka. Senyum bahagia menghiasi wajah pucat Hana.

“Sayang. kamu istirahat saja, ya. Wajah kamu makin pucat” kali ini Adnan benar khawatir. lalu mendudukkan ke-dua putrinya ke kursi makan khusus anak. Dan hendak menuntun Hana untuk ke kamar.

“Anak-anak, Mas?”

“Tidak usah dipikirkan. Biar aku yang urus mereka.”

Sebelum pria itu meninggalkan sang istri di kamar, ia bertanya lagi. “Kamu yakin kita tidak perlu ke rumah sakit? aku sangat khawatir, Han.”

Namun, senyum lembut dari perempuan cantik pun meyakinkan Adnan, bahwa dirinya baik-baik saja. Barulah laki-laki ini melangkah kembali menemui putri mereka.

“Papapa.” salah satu si kembar memanggil ayahnya, merentangkan tangan meminta di gendong lagi. Hanya kata itu yang terucap jelas dari bibir mungil mereka.

“Kesayangan Papa, kita makan bertiga saja, ya. Mama butuh istirahat” mengecup secara bergantian puncak kepala anaknya.

Lelaki bernama Adnan adalah tipe suami bersikap lemah lembut, penyayang juga sangat perhatian pada keluarga kecil mereka. Jarang sekali Hana dan Adnan berdebat atau bertengkar. Bisa dikatakan pengertian diantara keduanya begitu besar.

.

.

“Sayang. Hari ini aku di jadwalkan untuk bertugas di rumah sakit Bratanata. Kemungkinan pulang malam. Nanti aku minta Mama ke sini ya” Adnan berkata pada Hana yang membantunya memakai kemeja.

“Tidak usah, Mas. Dirumah ada bibi, jadi aku di temani bibi saja. Lagian kasihan Mama jauh-jauh kesini, nanti kelelah-an.”

Adnan sudah lega dan tak khawatir lagi, istrinya juga tidak sepucat tadi malam. Dirinya bisa tenang meninggalkan Hana bertugas lumayan jauh dari rumah sakit sebelumnya. Tangan lelaki tampan itu pun memegang pipi si istri dan mengelusnya sambil tersenyum.

“Syukurlah kamu baik-baik saja.” Hana mengangguk ringan.

“Jangan terlalu capek kalau masih merasa belum enakan sepenuhnya. Minta bantuan bibi.” pesan Adnan.

“Iya. Kamu makin cerewet, Mas” Hana terkekeh melihat perhatian suaminya yang berlebihan, tidak seperti biasa pria itu begini.

Hana mengantarkan ayah dari anak mereka menuju pintu utama, rambut terurai yang belum di tutupi kerudung gontai mengikuti gerak tuannya. Sengaja Adnan mempekerjakan perempuan saja untuk bagian rumah, sekaligus menemani sang istri merawat si kembar.

Juga ini permintaan Hana, agar dirinya sedikit leluasa di rumah. Terkadang kembar kesayangan mereka rewel, dan bertengkar kecil.

“Bibi” panggil Hana setengah berteriak. Tiba-tiba kepalanya pusing, rumah pun seperti berputar. Ia tak sanggup lagi berjalan menuju putri kecilnya. Tangan lemah istri Adnan meraba-raba memegang apapun agar tak terjatuh.

“Ibu!” Pekerja itu terkejut. Melihat majikannya sedikit terhuyung.

Dengan cepat perempuan ber-usia hampir menginjak lima puluhan membantu Hana. Mengantarkannya ke kamar agar bisa berbaring dan istirahat. wajah pucat Hana pun kembali tampak.

“Saya telepon bapak dulu ya, Bu.” Bibi bergegas keluar.

“Tunggu, Bi. Tidak usah, nanti Mas Adnan khawatir. Pekerjaannya jadi terganggu.”

“Tapi…”

“Tidak apa-apa, Bi. Hana minta tolong urus si kembar saja. Sarapan nanti Hana pesan di tempat biasa.”

“Baiklah, Bu. Kalau begitu saya ingin memandikan putri Ayanna dan Anthea dulu.” Pamit si Bibi.

***

Ayanna dan Anthea telah mengenakan pakaian yang begitu cantik, sang kakak dengan baju berwarna putih. Lain pula adiknya berwarna merah muda. Celana bermotif kotak ringan selutut juga menambah kesan lucu pada kedua putri Adnan.

Sementara mereka bermain, Hana meminta Bibi untuk mengawasi sebentar. Sedari tadi dering ponsel terus mengusik. Terpaksa bangun dan beranjak dari tempat tidur. Ia takut ada yang mendengar obrolan diantara mereka.

(Halo, Paman) Hana menjawab panggilan setengah berbisik. Tak jarang netra-nya melirik ke arah Bibi.

(Han. Paman akan jemput kamu kerumah) suara disana terdengar khawatir.

(Tidak usah, Paman. Hana saja yang kesana, jam sebelas berangkat)

(Baiklah. Paman tunggu) lelaki disana tak ingin berdebat dengan istri Adnan, pada akhirnya menyetujui keputusan Hana. Ia tahu bagaimana Hana selama ini, keras kepala dan tak mau merepotkan orang lain.

Hana langsung bersiap-siap mengganti pakaian tertutup yang sering dipakainya, perempuan pilihan Adnan merupakan perempuan terbaik yang pernah ada. Perempuan itu juga sangat menjaga tata cara berpakaian, selayaknya dalam anjuran agama.

“Bibi. Hana mau menemui paman, tolong jaga si kembar dulu ya” istri Adnan berpamitan setelah menghujani ciuman pada ke-dua anaknya.

“Tapi, Bu. Kalau bapak pulang?” bibi khawatir. apa yang akan dia jawab jikalau Adnan pulang. Tidak mungkin ia berbohong, bukan?

“Sebelum Mas Adnan pulang, Hana sudah dirumah kok, Bi” meyakinkan wanita yang pikirannya telah di hiasi kecemasan.

Ini bukan Hana dulu, selalu terbuka dan kemanapun selalu meminta izin Adnan. Ada sesuatu yang di sembunyikan membuat Bibi merasa berbeda. Terdapat khawatir serta takut yang bercampur.

Waktu terus berjalan, jarum jam bergerak pada porosnya. Matahari juga tidak se-terik saat siang. Kurang lebih satu jam lagi Adnan pulang. Sedangkan Ayanna dan Anthea merengek terus menerus, suaranya yang masih cadel sesekali memanggil ibunya.

Bibi terus melirik jam dinding, menunggu janji Hana yang akan pulang sebelum Adnan tiba dirumah. Hingga deru mobil terdengar jelas, siapa lagi kalau bukan tuan rumah ini.

Lelaki bertubuh tinggi dan gagah melangkah melewati batas pintu, tersenyum hangat pada putri kecilnya. Lalu mengambil alih si Bibi yang menggendong Ayanna. Gadis mungil masih belum selesai merengek.

“Hana mana, Bi?” pertanyaan yang di elak ternyata keluar.

“Ah… anu, Pak. Tadi izin keluar sebentar katanya. Mungkin ada urusan.”

“Tumben tidak memberitahuku” gumam pria itu sembari menenangkan anaknya.

“Bi. Tolong tas saya, ya. Taruh di sana saja” tunjuk Adnan pada sofa terdekat.

“Anak papa haus ya?” mengambil botol susu. “Udah gede kok masih cengeng?” ia mengajak bercanda si kecil. Tak lupa Anthea meminta di gendong pula.

Cukup lama Adnan menunggu istrinya pulang, sampai-sampai dua malaikat mereka pulas tertidur. Ada rasa marah sekaligus khawatir menguasainya yang mondar-mandir di ruang tengah.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Elicobekt Toylar
istri muda'x mana...
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status