Obrolan pertama Adnan dan Arum yang terkesan kaku, cukup sebagai langkah awal mereka menjadi seorang teman, mungkin. Mengingat bagaimana Hana bisa memilih perempuan pemilik gingsul itu.
Sebelum Hana mengunjungi kediaman keluarga Pramono, terlebih dahulu ia melihat Arum dan ayah Pramono sedang berbincang seru. Sekitar satu bulan yang lalu.
Kala itu Adnan hendak mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan mengitari kota. Mengunjungi spot wisata malam atau sekedar makan di resto. Disana pasti banyak lampu berkelip dan cantik. Adnan bermaksud menyenangkan suasana hati perempuan tercantik – istrinya.
Adnan teringat perkataan Paman Suryo saat pertemuan mereka di rumah sakit kala Hana dirawat. Kalau dirinya perlu memperbaiki kondisi hati si istri. Dia tipe perempuan yang selalu beranggapan kesalahan dan terkait Adnan serta si kembar adalah dirinya.
“Kamu cantik sekali” Adnan melihat sang istri selesai berdandan. Hana bersemu merah jadinya. Bocah kecil mereka juga telah cantik, duduk diatas ranjang, menunggu dan memperhatikan ibu ayahnya sedang bersiap.
Adnan memutuskan makan di resto saja. Ada salah satu yang menarik perhatian, beberapa kali ia disarankan teman seprofesi untuk mengunjungi resto itu, meskipun sekali.
Tidak jauh dari tempat Hana, pria paruh baya bersama seorang gadis berbincang. Sepertinya seru, tampak si gadis tertawa senang, entah apa yang mereka bicarakan.
Sekilas istri Adnan teringat orang tersebut. Ayahnya dulu kerap sekali menceritakan asal-usul dirinya sebelum pindah ke kota ini. dan nama teman yang selalu terselip dalam ceritanya.
‘Benar. Itu teman Papa yang sering di ceritakan.’ Benak Hana.
Pernah mereka bertemu kala ayah Hana masih sehat. Sekitar tujuh tahun lalu.
‘Tapi perempuan disamping… apa putrinya?’ Hana terfokus pada gadis berkerudung disana, dengan senyum menawan. Taring gadis itu sedikit maju, menambah kesan manis di saat ia tertawa.
“Ada apa, Han?” Adnan bertanya. ia pun mengikuti arah pandang Hana. Sayangnya Lelaki itu juga tak bisa melihat jelas, terlebih mengenal mereka, Ayanna yang meminta suapan, membuat Adnan terkecoh.
Ibu si kembar menoleh “Bapak disana mirip teman Papa dulu, Mas. Tapi… mereka sudah pergi.” Membantu Anthea meminum jus-nya. Gadis kecil itu suka sekali jus buah melon.
Tak jarang gadis kembar mereka ingin memegang makanan sendiri, seperti donat kentang mini yang direbut Ayanna. Remahannya pun berjatuhan mengenai baju, tak terkecuali Adnan yang terkena imbas.
***
Tengah malam Adnan kembali di suguhkan ruangan ber-dominan warna putih. Pikirannya kalut, tak bisa memikirkan apapun selain Hana didalam sana. Netra hitam itu tak di biarkannya terpejam.
Jika kondisi tersebut di alami pasien biasa, Adnan tak akan segila ini.
Jelasnya Hana telah mengidap salah satu jenis dari kanker darah, yaitu Leukemia. Memang penyakit ini bukan jenis penyakit yang bisa diwariskan dari orang tua sebelumnya. Akan tetapi, faktor genetik memainkan peran cukup besar terhadap hal tersebut.
Di mana ketika istri Adnan baru memasuki fase awal dewasa - masa kuliah, terus menemani sang ayah menjalankan pengobatan. Pria paruh baya itu juga menderita sakit yang sama.
Waktu itu keseharian Hana padat sekali, bersamaan dia sedang menempuh pendidikan. Ketika ada kelas, Hana meminta izin pada Hasan. Bukan izin anak terhadap ayahnya seperti bayangan orang-orang. Izin tersebut mereka lakukan di rumah sakit, kondisi Hasan yang semakin lama semakin membuat khawatir.
Gadis itu sangat pintar membagi waktu. Meski terkadang sesak dan lelah mampu meruntuhkan semangat. Apa boleh buat, tidak ada sesiapa lagi selain sebatang kara ini. ia menjalani kegiatan itu kurang lebih selama empat bulan. Di sela perawatan, Hana mengajak ayahnya menghirup udara pagi, dengan mendorong kursi roda sebagai alat bantu untuk Hasan.
‘Seperti ada suara anak-anak menangis’ Arum masih terpejam, hanya telinga yang mampu menerima keadaan. Ia belum tahu kondisi Hana – malam ini sesuatu telah terjadi, Adnan sedang mengantar Hana ke rumah sakit, menunggu sendirian.
Namun, tidur Arum menjadi terusik ‘Ini bukan mimpi’ pikirnya.
Arum pun beranjak, rela melepaskan guling lembut yang ia peluk. Berjalan menyusuri ruangan, mencari isakan anak kecil. Ada satu kamar dengan lampu menyala, dan itu kamar si kembar, Ayanna dan Anthea.
“Mama.”
“Mama.”
Dua gadis mungil menyebut-nyebut ibunya, pipi mereka sudah basah di banjiri air mata, rambutnya sedikit acakan. Arum Setengah berlari menghampiri, tampak bibi kehilangan cara menenangkan putri Adnan.
“Biar saya saja, bi.” Arum langsung memeluk Ayanna dan Anthea.
“Kalau boleh tahu, orang tua mereka kemana, bi?” ia tak melihat suami istri itu di sini. Tidak mungkin mereka masih tertidur setelah mendengar raungan si kecil.
“Ibu Hana masuk rumah sakit lagi, mbak. Sekitar satu jam yang lalu. Bibi sangat panik, ditambah putri Ayanna dan Anthea bangun.” Jelas bibi.
Dua gadis kembar bersandar pada masing-masing bahu putri Pramono, lambat laun isakan tadi menghilang. Menyisakan getaran tubuh setelah menangis dari Ayanna. Mereka terlihat nyaman dalam pelukan Arum. Hatinya tidak bisa berbohong - rasa senang akan anak kecil yang mulai menemukan kenyamanan terhadapnya.
Bibi masih berdiri mengamati mereka ‘Syukurlah’ ada kelegaan dan bahagia di sana. Perlahan bibi melangkah keluar, menutup pintu kamar.
‘Ibu Hana tidak salah memilih perempuan’ hati bibi berkata.
Arum hendak beranjak, tubuhnya merasa pegal. Dia pun memindahkan gadis-gadis kecil ke atas tempat tidur, pergerakan yang ia lakukan membuat si bungsu terjaga.
“Mama” gumam Anthea. Masih mengira perempuan itu mama Hana.
“Sssttt… tidurlah sayang, mama di sini.”
Arum memadamkan lampu utama setelah Ayanna dan Anthea terlelap semenit yang lalu. Suasana temaram kamar mampu menumbuhkan kenyenyakan tidur putri Adnan. Perempuan itu berbaring menyamping menatap dua gadis kecil meringkuk berhadapan, senyumnya terbit. Putaran pikiran sebelum pernikahan kembali datang.
‘Tidak. Aku tidak menyesal menikahi suami mbak Hana. Tujuanku merawat mereka, melihat mereka menangis aku tidak tega.'
.
“Mama. Mama.” Panggil si kembar, menggoyang-goyangkan tubuh Arum. Mereka belum tahu siapa. Entah sejak kapan Arum tidur memunggungi anak-anak.
Perempuan yang dipanggil mama berbalik “Tante siapa?” suara khas Ayanna bertanya. Arum belum mengerti ucapan mereka – terkadang mereka tidak pas menyebut kata per kata.
Arum juga kebingungan dibuatnya, bagaimana cara menjelaskan pada anak-anak. Dirinya sebatas menyukai dan menyayangi anak-anak, tidak paham jika di hadapkan langsung, apalagi di beri dengan pertanyaan.
Tok. Tok. Tok.
Penghuni kamar sontak menoleh.
“Ayo sarapan” bibi mengajak tiga perempuan termenung di sana, menatap kearahnya bersamaan.
Ayanna menghambur ke pelukan bibi “Bibi. Tante itu siapa?” menunjuk lucu pada Arum. Bibi pun mengikuti arah pandang si sulung, lalu tersenyum. Ia tahu, pasti majikan barunya ini sedang bingung.
“Mama Arum.” jawab bibi. Ke dua gadis kembar juga masih belum mengerti. Mungkin mereka berpikir, ibu mereka itu bernama Hana. Apa ada dua ibu di dunia ini?
“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.
“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?”
“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?” Arum tersenyum, gadis mungil didepannya begitu menggemaskan.Ke dua putri Adnan tampak kebingungan, bersamaan menoleh ke arah bibi.“Mama Ana? (Ana yang di maksud adalah Ayanna)” kali ini si sulung bertanya, dia cukup mengerti siapa ibu yang sebenarnya. Toh selama ini Hana adalah perempuan yang mereka temui setiap hari, memberikan kasih sayang dan mengajari banyak hal.Bibi pun terdiam, jawaban apa yang tepat untuk mereka. Anak-anak usia tiga tahun acap kali memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat para orang tua kelabakan.“Ah… mama Ayanna di rumah sakit, lagi berobat.” Bibi berharap ucapannya tidak salah.Kamar itu menjadi hening, tidak sesiapa mengeluarkan suara, meski sepatah kata.
Adnan melangkah tergesa-gesa di koridor rumah sakit, siapapun tahu kemana tujuan lelaki tampan itu selain ruang perawatan Hana. Ruang kerja dokter Dika. Dia terpaksa mengembangkan senyum setiap menerima sapaan dari perawat yang kebetulan bertemu.“Adnan! Kau tidak bisa membuka pintu pelan-pelan, ya?!” dokter Dika dikejutkan oleh kelakuan putra Wijaya. Dia yang awalnya baru menikmati kesantaian, hendak bersandar pada kursi kerja.Tanpa menghiraukan ucapan Dika, Adnan langsung berbaring di atas sofa yang tersedia. Berada tak jauh dari meja kerja dokter Dika.Dika menggeleng pelan “Ada apa?” mendekati laki-laki di sana, yang menutupi sebagian wajahnya dengan lengan.“Hana lagi?” dokter Dika tahu permasalahan Adnan. Selama seminggu ia menggantikan jadwal temannya ini.“Bagaimana pekerjaanku?” tanya Adnan. Dokter Dika pun mengerutkan dahi, masih belum mengerti. Bukankah dirinya bertanya tentang Hana? Bagai
“Kenapa perempuan tadi sendirian duduk di sana?” dokter Dika bertanya. Raut laki-laki di depannya sedikit tersentak, dia mengira Arum ke toilet barang sebentar.“Tolong jaga mereka (Ayanna dan Anthea) sebentar. Aku mau menyuapi makan siang Hana.” Adnan berdalih.Ayah si kembar bergegas menyeterilkan tubuhnya, mencuci tangan, berganti pakaian sesuai peraturan yang tertera. Tak bisa dibohongi, pikiran Adnan masih tertuju pada perkataan Dika. Perempuan yang di maksud pasti Arumi.Barulah dia membuka pintu ruang perawatan, senyuman Adnan juga tak kunjung hilang, demi menunjukkan pada Hana bahwa dia baik-baik saja.Meski dokter Dika merengut, tingkah lucu si kembar memaksa tawa renyahnya terbit. Sesekali Anthea menunjukkan sikap yang di warisi Adnan – berlaku semaunya. Membuat Dika kesal saja***Seiring Adnan melayani Hana, putri kembar di luar ruangan menguap bergantian. Mungkin benar jika ilmuan mengatakan kalau m
Dokter senior bernama Suryo berdiri di samping pasien leukemia, istri dari ponakannya mengalami sesak napas, gejala yang dialami oleh pengidapnya. Dari kejauhan Adnan dengan perasaan berdebar berlari menghampiri, mengapa pamannya berada di sana? pikiran yang takut mulai berkeliaran. Sayangnya, suami Hana belum di izinkan menjenguk, emosi Adnan dikhawatirkan bisa mempengaruhi perempuan terbaring itu.Dari luar Adnan memegang kepala frustasi, teringat bagaimana ayah mertuanya dahulu pergi begitu saja setelah kondisi tubuh yang tiba-tiba drop (kondisi tubuh yang kelelahan karena suatu faktor bahkan pingsan).Suryo berkata setelah memeriksa kondisi Hana, menemui Adnan, “Suhu tubuhnya naik.”“Paman, kemarin Hana baik-baik saja. Kenapa bisa begini?” Suara Adnan terdengar kecewa.“Nan. Kita tidak bisa memprediksinya, setiap tubuh memiliki kondisi berbeda-beda. Paman hanya dokter yang mengobati. Paman tidak bisa men
“Ayo kita mandi.” Ajak Arum dengan penuh hati. Sementara membiarkan Ayanna dan Anthea bermain air, perempuan berkerudung mengambil baju-baju yang akan dikenakan si kembar.Derap langkah tergesa-gesa menganggu konsentrasi Arum, dengan cepat ia menoleh kearah pintu. Dadanya mulai berdebar tak karuan sebelum bibi menjelaskan mengapa menangis seperti itu.“Mbak. Ibu Hana tidak tertolong lagi” lirih bibi, hingga tangisnya kembali pecah. Mengingat tuan-nya berkata dengan suara gemetar, dan tak mampu menjelaskan lebih. Seperti laki-laki diseberang sana tak sanggup menahan isakan.Tidak! Mungkin Arum salah pengertian dari perkataan bibi. Tidak tertolong? Maksudnya apa? Bergegas Arum mendatangi anak-anak yang sedang bercanda ria dengan perasaan tak tentu arah.“Bibi, pinta pak Anto menyiapkan mobil. Setelah anak-anak siap, kita kerumah sakit.” Raung Arum sembari menggendong Ayanna dan Anthea. Matanya yang panas terpaksa menahan
[Dua bulan lalu]Kumpulan Chrysanthemum biru dalam wadah cantik – digenggam Hana yang tersenyum kepada ibu mertua. Perempuan paruh baya di sana terkejut sekaligus senang, sedikit bertanya dengan kedatangan Hana yang tiba-tiba. Tubuh berumur Aryani langsung mendapatkan pelukan dari dua gadis mungil – cucunya.*Chrysanthemumadalah bunga krisan yang melambangkan sebuah harapan. Namun, di Itali bunga tersebut melambangkan kematian.Hana menyodorkan bunga biru, “Buat mama” katanya."Krisan?" Balas Aryani memandang takjub.Perempuan cantik berkerudung mengintip ke belakang ibu mertua, ternyata ada rajutan syal yang belum selesai dalam mangkuk besar dari anyaman rotan.“Hana bantu, Ma” tawar istri Adnan.“Nanti saja. Kita mengobrol di sana dulu, ya” menunjuk ruang tv. “Mama rindu sama kalian. Tunggu, mama taruh bunga ini dulu. Terima kasih, ya” tambah Aryani.
Apa yang dirasakan jika sesuatu yang asing pertama kali menyentuh? Campur aduk? Benar. Seperti gelenyar berbeda membuat jantung berdegup diluar batas wajarnya. Arumi masih terdiam di antara cahaya lampu dapur, sengaja paling redup dihidupkan. Tenggorokannya tiba-tiba kering, alhasil menghabiskan satu gelas air putih. Istri baru Adnan ini celingukan, memantau pria tanpa penjelasan memeluknya beberapa menit lalu. ‘Apa dia tidur di kamar anak-anak?’ Arumi menebak, bisa saja tebakannya meleset, bukan? Arum melewati pintu kamar, di mana Ayanna dan Anthea terlelap. Kalau digambarkan, pada lantai dua rumah Adnan ada tiga kamar, ujung paling kanan adalah kamar khusus pria itu dan istri terdahulu, Hana. Sisi paling kiri sengaja di rapikan sebelum Arum menempatinya. Dan di tengah merupakan kamar tidur si kembar, Hana berpikir mereka tak perlu jauh-jauh kalau-kalau mendengar si kembar merengek. Jadi, untuk menuju kamarnya, Arum harus melewati kamar tengah. Sesaa
“Nanti kalau Ayanna sudah besar kita ketemu mama, ya.” Adnan beralasan. Gadis mungil itu mengeratkan pelukannya, pertanyaan yang di lontar tiap hari dari kedua putri Adnan selalu Hana, di mana Hana, kapan Hana pulang. Dan pertanyaan tersebut seperti jarum yang menusuk, lelaki ini tak tahan mendengar anak-anaknya menyebut nama Hana. Jari-jari mungil Ayanna terpaut pada leher ayahnya, yang dibalas kecupan sayang dari Adnan. Pandangannya pun beranjak ke arah perempuan paruh baya yang baru datang, memberi isyarat ada tamu berkunjung. Baru saja si sulung memejamkan mata, sedikit saja Adnan bergerak bocah lucu ini sudah menggeliat – meraba tubuh besar di sebelah, khawatir akan pergi. “Mmm, Pak. Apa saya panggil mbak Arum saja untuk menjaga Ayanna?” bibi memberi saran setengah berbisik. “Tidak usah. Pinta tamu tadi tunggu sebentar.” Sebenarnya Adnan mengelak yang berhubungan dengan Arum. Pekerja rumah memang seharusnya menuruti perintah tuan, bibi un