Share

Episode 8

Obrolan pertama Adnan dan Arum yang terkesan kaku, cukup sebagai langkah awal mereka menjadi seorang teman, mungkin. Mengingat bagaimana Hana bisa memilih perempuan pemilik gingsul itu.

Sebelum Hana mengunjungi kediaman keluarga Pramono, terlebih dahulu ia melihat Arum dan ayah Pramono sedang berbincang seru. Sekitar satu bulan yang lalu.

Kala itu Adnan hendak mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan mengitari kota. Mengunjungi spot wisata malam atau sekedar makan di resto. Disana pasti banyak lampu berkelip dan cantik. Adnan bermaksud menyenangkan suasana hati perempuan tercantik – istrinya.

Adnan teringat perkataan Paman Suryo saat pertemuan mereka di rumah sakit kala Hana dirawat. Kalau dirinya perlu memperbaiki kondisi hati si istri. Dia tipe perempuan yang selalu beranggapan kesalahan dan terkait Adnan serta si kembar adalah dirinya.

“Kamu cantik sekali” Adnan melihat sang istri selesai berdandan. Hana bersemu merah jadinya. Bocah kecil mereka juga telah cantik, duduk diatas ranjang, menunggu dan memperhatikan ibu ayahnya sedang bersiap.

Adnan memutuskan makan di resto saja. Ada salah satu yang menarik perhatian, beberapa kali ia disarankan teman seprofesi untuk mengunjungi resto itu, meskipun sekali.

Tidak jauh dari tempat Hana, pria paruh baya bersama seorang gadis berbincang. Sepertinya seru, tampak si gadis tertawa senang, entah apa yang mereka bicarakan.

Sekilas istri Adnan teringat orang tersebut. Ayahnya dulu kerap sekali menceritakan asal-usul dirinya sebelum pindah ke kota ini. dan nama teman yang selalu terselip dalam ceritanya.

‘Benar. Itu teman Papa yang sering di ceritakan.’ Benak Hana.

Pernah mereka bertemu kala ayah Hana masih sehat. Sekitar tujuh tahun lalu.

‘Tapi perempuan disamping… apa putrinya?’ Hana terfokus pada gadis berkerudung disana, dengan senyum menawan. Taring gadis itu sedikit maju, menambah kesan manis di saat ia tertawa.

“Ada apa, Han?” Adnan bertanya. ia pun mengikuti arah pandang Hana. Sayangnya Lelaki itu juga tak bisa melihat jelas, terlebih mengenal mereka, Ayanna yang meminta suapan, membuat Adnan terkecoh.

Ibu si kembar menoleh “Bapak disana mirip teman Papa dulu, Mas. Tapi… mereka sudah pergi.” Membantu Anthea meminum jus-nya. Gadis kecil itu suka sekali jus buah melon.

Tak jarang gadis kembar mereka ingin memegang makanan sendiri, seperti donat kentang mini yang direbut Ayanna. Remahannya pun berjatuhan mengenai baju, tak terkecuali Adnan yang terkena imbas.

***

Tengah malam Adnan kembali di suguhkan ruangan ber-dominan warna putih. Pikirannya kalut, tak bisa memikirkan apapun selain Hana didalam sana. Netra hitam itu tak di biarkannya terpejam.

Jika kondisi tersebut di alami pasien biasa, Adnan tak akan segila ini.

Jelasnya Hana telah mengidap salah satu jenis dari kanker darah, yaitu Leukemia. Memang penyakit ini bukan jenis penyakit yang bisa diwariskan dari orang tua sebelumnya. Akan tetapi, faktor genetik memainkan peran cukup besar terhadap hal tersebut.

Di mana ketika istri Adnan baru memasuki fase awal dewasa - masa kuliah, terus menemani sang ayah menjalankan pengobatan. Pria paruh baya itu juga menderita sakit yang sama.

Waktu itu keseharian Hana padat sekali, bersamaan dia sedang menempuh pendidikan. Ketika ada kelas, Hana meminta izin pada Hasan. Bukan izin anak terhadap ayahnya seperti bayangan orang-orang. Izin tersebut mereka lakukan di rumah sakit, kondisi Hasan yang semakin lama semakin membuat khawatir.

Gadis itu sangat pintar membagi waktu. Meski terkadang sesak dan lelah mampu meruntuhkan semangat. Apa boleh buat, tidak ada sesiapa lagi selain sebatang kara ini. ia menjalani kegiatan itu kurang lebih selama empat bulan. Di sela perawatan, Hana mengajak ayahnya menghirup udara pagi, dengan mendorong kursi roda sebagai alat bantu untuk Hasan.

‘Seperti ada suara anak-anak menangis’ Arum masih terpejam, hanya telinga yang mampu menerima keadaan. Ia belum tahu kondisi Hana – malam ini sesuatu telah terjadi, Adnan sedang mengantar Hana ke rumah sakit, menunggu sendirian.

Namun, tidur Arum menjadi terusik ‘Ini bukan mimpi’ pikirnya.

Arum pun beranjak, rela melepaskan guling lembut yang ia peluk. Berjalan menyusuri ruangan, mencari isakan anak kecil. Ada satu kamar dengan lampu menyala, dan itu kamar si kembar, Ayanna dan Anthea.

“Mama.”

“Mama.”

Dua gadis mungil menyebut-nyebut ibunya, pipi mereka sudah basah di banjiri air mata, rambutnya sedikit acakan. Arum Setengah berlari menghampiri, tampak bibi kehilangan cara menenangkan putri Adnan.

“Biar saya saja, bi.” Arum langsung memeluk Ayanna dan Anthea.

“Kalau boleh tahu, orang tua mereka kemana, bi?” ia tak melihat suami istri itu di sini. Tidak mungkin mereka masih tertidur setelah mendengar raungan si kecil.

“Ibu Hana masuk rumah sakit lagi, mbak. Sekitar satu jam yang lalu. Bibi sangat panik, ditambah putri Ayanna dan Anthea bangun.” Jelas bibi.

Dua gadis kembar bersandar pada masing-masing bahu putri Pramono, lambat laun isakan tadi menghilang. Menyisakan getaran tubuh setelah menangis dari Ayanna. Mereka terlihat nyaman dalam pelukan Arum. Hatinya tidak bisa berbohong -  rasa senang akan anak kecil yang mulai menemukan kenyamanan terhadapnya.

Bibi masih berdiri mengamati mereka ‘Syukurlah’ ada kelegaan dan bahagia di sana. Perlahan bibi melangkah keluar, menutup pintu kamar.

‘Ibu Hana tidak salah memilih perempuan’ hati bibi berkata.

Arum hendak beranjak, tubuhnya merasa pegal. Dia pun memindahkan gadis-gadis kecil ke atas tempat tidur, pergerakan yang ia lakukan membuat si bungsu terjaga.

“Mama” gumam Anthea. Masih mengira perempuan itu mama Hana.

“Sssttt… tidurlah sayang, mama di sini.”

Arum memadamkan lampu utama setelah Ayanna dan Anthea terlelap semenit yang lalu. Suasana temaram kamar mampu menumbuhkan kenyenyakan tidur putri Adnan. Perempuan itu berbaring menyamping menatap dua gadis kecil meringkuk berhadapan, senyumnya terbit. Putaran pikiran sebelum pernikahan kembali datang.

‘Tidak. Aku tidak menyesal menikahi suami mbak Hana. Tujuanku merawat mereka, melihat mereka menangis aku tidak tega.'

.

“Mama. Mama.” Panggil si kembar, menggoyang-goyangkan tubuh Arum. Mereka belum tahu siapa. Entah sejak kapan Arum tidur memunggungi anak-anak.

Perempuan yang dipanggil mama berbalik “Tante siapa?” suara khas Ayanna bertanya. Arum belum mengerti ucapan mereka – terkadang mereka tidak pas menyebut kata per kata.

Arum juga kebingungan dibuatnya, bagaimana cara menjelaskan pada anak-anak. Dirinya sebatas menyukai dan menyayangi anak-anak, tidak paham jika di hadapkan langsung, apalagi di beri dengan pertanyaan.

Tok. Tok. Tok.

Penghuni kamar sontak menoleh.

“Ayo sarapan” bibi mengajak tiga perempuan termenung di sana, menatap kearahnya bersamaan.

Ayanna menghambur ke pelukan bibi “Bibi. Tante itu siapa?” menunjuk lucu pada Arum. Bibi pun mengikuti arah pandang si sulung, lalu tersenyum. Ia tahu, pasti majikan barunya ini sedang bingung.

“Mama Arum.” jawab bibi. Ke dua gadis kembar juga masih belum mengerti. Mungkin mereka berpikir, ibu mereka itu bernama Hana. Apa ada dua ibu di dunia ini?

“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.

“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status