“Maaf, Pak. Bagaimana lagi… kamarnya tinggal satu. Kalo soal razia, tenang saja. Hotel kami hanya mendapat sidak di akhir bulan. Ini masih tanggal tiga, nih, Pak … tanggal muda….”
Daehan, pria gagah yang dipanggil Pak oleh resepsionis manis dan genit itu kian mengatup bibir. Menatap gusar pada Umi (Sazleen Shanumi), asisten rumah baru yang dia bawa. Wajahnya menebal dengan bibir membiru. Jiwa sosial Daehan sebagai lelaki gagal membatu. “Kamu dengar sendiri apa katanya barusan. Terserah, jika keberatan, kamu duduk saja di lobi hingga orangku datang, Um,” ujar Daehan pada wanita berkerudung panjang dan berbaju tebal tetapi basah kuyup. “Enggak, Pak. Saya tak keberatan. Tidak sanggup lagi di luaran, bisa beku…,” sahut Umi cepat. Meski dengan melawan gemelutukan gigi di mulut yang serasa amat kaku. Sangat kedinginan. Daehan agak terkejut, meski juga merasa lega. Jika ada apa-apa dengan asisten rumah yang baru dia jemput itu, dirinya juga yang kena. Kesal sekali dengan sopir pribadi yang sedang bercuti. Mobil sport kesayangan Daehan tidak dirawat dengan benar. Terbukti saat dipakai hari ini, ternyata kap atas bisa dibuka tetapi tidak bisa ditutup. Padahal hujan turun deras mendadak dan jalanan sungguh macet. Terpaksa membelok ke hotel bersama si asisten baru. Mereka sama-sama basah kuyub. Setelah membuat transaksi, Daehan diikuti Umi pun mengekori seorang petugas hotel lelaki menuju lift. Naik ke lantai dua dan menghampiri sebuah pintu kamar dengan nomor 33. Tidak sengaja bertemu pandang dengan Umi yang buru-buru membuang wajah dan menunduk. Memilin tali tas warna coklat dengan ukuran sedang berisi baju-baju. “Wajahmu bengkak banget. Ish, nggak bersyukur. Suntik nggak kira-kira.” Daehan berkomentar dengan menatap risih wajah Umi yang cemas. Perempuan itu tidak banyak bicara. “Gak usah resah. Kita terpaksa satu kamar. Hanya buat tukar baju sebentar sambil menunggu orangku jemput! Jadi kamu jangan ke-ge-er-an!” ucap Daehan kasar tetapi tidak keras. Perempuan berbaju basah kuyup yang disebut dengan nama Umi pun mengangguk setelah membelalak. “Saya tahu diri lah, Pak. Nggak mungkin juga Anda minat pada gadis model buntal kayak saya, kan?” sahut Umi cepat. “Kamu ini udah janda, Um. Bukan gadis.” Daehan meralat ketus dengan raut meremehkan. Sorot ilfil tampak nyata di matanya. “Janda? Eh, anu, Pak. Saya…,” ucap Umi gugup dan bingung. Daehan mengibas tangan sambil menghempas napas suntuk. “Silahkan beristirahat. Semoga betah dan tidak mengecewakan. Permisi…,” ucap pegawai hotel menyela. Pintu kamar telah dibukanya lebar-lebar. Melenggang pergi setelah berpamit dan menyerahkan selembar kartu yang buru-buru disambar Daehan. Merasa diri mulai tidak enak badan dan meriang. Mengingat air panas ddikamar mandi dalam membuatnya tak sabaran. “Aku nggak lama, Um. Kamu mandinya habis aku, nggak tahan banget lengket air hujan.” Daehan menegur meski tidak ada gelagat Umi masuk ke kamar mandi. Perempuan itu hanya berdiri kaku dan terus bingung-bingung. Bibirnya sudah suram dan semakin membiru. Daehan telah tenggelam di kamar mandi dengan handuk putih yang disambar dari almari. Umi seketika menyandar dinding sebelah pintu dengan rasa lunglai. Pria mempesona yang berkharisma dan berwibawa dengan sejuta kekayaan dunia, tiba-tiba berada dalam satu kamar bersamanya. Mimpi apa semalam?! Terus saja tidak percaya rasanya. Padahal mereka belum lama bertemu. Bahkan belum ada satu jam. Kerudung pinjaman satu-satunya basah kuyup, beruntung mukena tidak pernah lupa dibawa ke mana-mana. Pria berbadan besar telah keluar dengan rambut basah yang membuat maskulin. Ketampanan wajah cerah itu bersinar maksimal. “Cepat, Um! Jangan bikin lantai banjir!” Daehan berseru sambil menghempas badan di ranjang sembarangan. Tidak juga mengelap rambut kuyubnya dahulu. Umi yang memandang buru-buru membuang muka kembali. Berjalan cepat ke kamar mandi. Handuk yang dipakai Daehan ternyata bathrope pendek. Tersingkap hingga ke pangkal paha yang hampir menodai mata. Sebab tidak ada pakaian dalam apa pun di sana. “Alamak, mataku ternoda! Dia ngremehin aku, benar-benar nganggep aku janda. Nggak ngerasa bersalah dengan tingkahnya. Meski aku rada bar-bar, tapi kan enggak liar…,” keluh Umi di balik pintu kamar mandi sambil menepuk-nepuk dada yang serasa akan meleduk kapan saja. Mengakui fisik Daehan yang begitu sempurna. “Aku harus kuat dan sabar. Gunungan upah di depan mata dan akan leleh tidak lama…,” ucap Umi ingin tersenyum. “Alamak, sakit!” pekik Umi tertahan. Bengkak dan memar di bagian wajah justru terasa ngilu saat dipakai tersenyum. Umi berusaha cemberut kembali susah payah. Sebab, dirinya bukan gadis yang suka larut dalam duka! Ingat saat kejadian. Nasib apes menyapanya malam-malam. Sahabat meminta membawakan motor yang ditinggal di kafe menuju satu tempat. Umi menyanggupi dengan senang hati. Khilaf, sebab agak gelap dan tidak biasa dengan watak si motor, tidak sengaja menabrak mobil mewah yang diparkir di tepian jalan raya. Alasan gelap kurang lampu tidak menyelamatkan dari tuntutan. Pemilik mobil yang cerewet meminta ganti rugi hingga puluhan juta. Shanumi pun terpaksa menyanggupi daripada diri di penjara. Malang tak dapat ditolak, hoki tak bisa diprediksi. Tawaran kerja dengan upah menjanjikan, meski agak tak biasa datang menghampiri. Datang dari bibinya yang mendadak sakit usus buntu dan harus operasi buru-buru. Mengabarkan jika sang mantan juragan mencari asisten rumah pengganti dirinya sesegera. Namun, dengan satu syarat wajib yang sempat susah dipenuhi. Yakni… harus wanita tidak menarik sebagaimana bibinya! Di sinilah Shanumi sekarang. Berbekal luka memar dan bengkak di wajah akibat kecelakaan tunggal malam tadi, Daehan menerimanya bekerja. Bujang sukses yang tampan itu mengira jika Umi sedang proses suntik filler di wajah. Menganggap jika asisten rumah baru yang disodorkan art lama tidak jauh berbeda. Wanita berpengalaman kerja rumahan dengan fisik yang sama sekali tidak menawan. Janda pulak! Aman… itulah prinsip Daehan. Demi mendapat kepercayaan dari ibunya untuk memperpanjang masa bujang. Menunggu kesiapan kekasih untuk dinikahi. “Kamu kayak mau umroh saja, Um,” ucap Daehan berkomentar. Meski matanya sudah akan menutup, kini membuka lagi. Melihat Umi duduk gelisah di sofa kamar dengan mengenakan mukena atasan. Padahal waktu shalat maghrib barusan berlalu dan mereka sudah menunaikan di mushola sebelum berangkat. Perjalanan adalah dari rumah bibinya Umi di daerah Cangar-Batu menuju kota domisili Daehan di Surabaya. Kini terpaksa singgah di sebuah penginapan perbatasan. Curah hujan tinggi disertai angin kencang. Mereka berdua totalitas kehujanan. “Saya lupa nggak bawa jilbab lain, Pak. Yang tadi itu basah, gak layak pakai.” Umi menyahut lambat. Meletak ponsel di meja dan bersiaga, barangkali Daehan memberi perintah sesuatu. “Ya udah, sini…!” seru Daehan sambil membalik badan, tengkurap. Matanya kini memejam. “Emmm, minta dipijat ya, Pak? Dioles minyak angin juga ya… maaf, saya pun agak kembung, jadi bentar saja ya, Pak?!” sahut Umi meyakinkan. Berusaha tenang meski dada berdebar cemas tak karuan. “Baiklah, sesukamu!” jawab Daehan akur. Alasan Umi masuk akal sebab barusan kena hujan. Juga merasa senang dengan respon art barunya yang tanggap dan tidak canggung. Sudah seperti asisten rumah yang lama saja rasanya. Terutama, rupa buriknya! Tentu saja, Umi sempat menanggap bibinya tentang perwatakan Daehan cukup detail. Tidak ingin mengecewakan, Umi naik ke ranjang dengan gesit. Membalur telapak kaki lebar, bersih dan panjang itu dengan minyak angin krim yang disambar dari atas meja. Mungkin Daehan memang sudah menunggunya sejak masih di dalam kamar mandi. “Sebelum ini, kamu jadi pengasuh bayikah, Um?” tanya Daehan tiba-tiba. Umi yang mulai santai jadi sangat kaget. Dipikir pria yang dia pijat sudah tidur, tiba-tiba bersuara. “Eh, anu… eh, iya. Kenapa, Pak?” sahut Umi. Memijatnya berhenti. Merasa jadi canggung, orangnya sadar. “Tanganmu, Um. Halus, nggak kayak Bi Rum, parutan aja lewat…,” celetuk Daehan. “Iya, Pak. Saya ada krim anti kapalan dan udah cocok!” Umi memberi alasan meyakinkan. Padahal, kerjaannya sangatlah mudah selama ini. Kasir di kafe milik sendiri! Dia adalah bos muda yang cantik dan good body. Hanya sedang apes dan harus ganti rugi. Hingga mendapat pekerjaan yang sebenarnya sungguh menyiksa jiwa bagi Shanumi! Tok Tok Tok Umi kembali terkejut dan menoleh ke pintu. “Bukain, Um. Tadi aku pesen makanan,” ucap Daehan santai sambil mengubah posisi miring kepalanya. Shanumi gesit turun ranjang dan menuju pintu. Sangat terkejut saat sudah dia buka lebar-lebar daun pintu. Tiga orang berseragam dinas coklat telah siaga di depan pintu kamar. Alias para petugas satpol PP dengan wajah-wajah garang bak raja hutan! Alamak! Bagaimana ini?! 🍓 vote....Lima hari kemudian di Kota Surabaya. Pria gagah, tampan, dan tegap yang berusia menjelang empat puluh tahun itu terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Bahkan dipandang sekilas dengan fisik bagusnya itu terbaca seperti umur di bawah tiga puluh tahun! Dibawa driver profesional dengan kendaraan mewah keluaran terbaru menuju jantung kota di Surabaya. Bangunan megah dengan deret apartemen yang merupakan asrama para dosen adalah destinasinya malam ini. Langkahnya panjang menuju lobi dan menghampiri resepsionis. “Apartemen nomor dua puluh dua di lantai lima.” Azlan menyahut saat resepsionis bertanya akan ke mana. “Atas nama Yunita Sesilia. Dosen di Universitas Unxxr.” Sahutnya lagi saat ditanya dengan siapa ingin bertemu. Resepsionis berkerut dahi dan memicing mata pada Azlan saat mendongak kemudian. “Penghuni apartemen nomor 22 di lantai lima atas nama Yunita Sesilia sudah tidak tinggal di sini lagi. Menyerahkan kunci sejak empat hari lalu pukul enam pagi.” Ucap
“Keluarkan saja semuanya! Jangan ada yang sisa. Kecuali set perhiasan milikku.” Yunita menyahut ketus dan kesal. Memang bukan salah Anthony jika turut meremehkannya. Sangat terang jika dirinya adalah salah satu gundik Handoko Liem. Namun, jangan dirinya kembali bertempat dalam kehinaan. Cukup satu kali pada Handoko Liem sebab sangat terpaksa atas desakan orang tua yang sedang dilanda pailit dan paceklik besar kala itu. Ucapan Yunita yang penuh harga diri membuat Anthony berubah pikiran. “Kenapa dimasukkan kembali?” Yunita terheran. Semua uang yang tadi dipindah keluar, telah kembali dimasukkan ke dalam koper oleh Anthony. “Hadiah untukmu. Sepertinya sudah benar-benar insaf. Bagus sekali.” Anthony menyahut santai. Koper telah ditutup kembali. Lalu dia sodorkan ke hadapan Yunita. “Ambillah,” ucapnya sambil meletak sebiji anak kunci di atas koper mini. Juga selembar kertas berisi tulisan kode kuncinya. “Sebelum pergi, boleh bertanya? Kenapa bisa kenal Dimas dan Amira?” ta
Yunita telah berdiri dan menjauh dari Handoko Liem. Bediri lebih dekat di kur Anthony. Seorang wanita bergegas menghampiri Handoko Liem dan duduk di pangkuan tanpa segan. Sebelah tangan bergayut di leher Liem dengan wajah cantiknya yang tersenyum menggoda. Handoko Liem terdiam dengan wajah menegang. “Permisi.” Yunita buru-buru pergi ke arah pintu dan keluar. Tidak peduli lagi untuk bersikap sopan pada seluruh laki-laki kaya raya di dalam sana. Namun, sesampai di lur tidak semulus harapannya. “Kenapa? Aku tidak berguna di dalam sana. Sudah ada wanita yang disediakan untuk menemani,” ucapnya dengan tegas pada pengawalnya Liem yang garang. Kesal, bahunya telah ditahan kuat hingga terasa sakit. “Maaf, Nona!” ucapnya tegas yang serta merta melepaskan penahanannya di bahu Yunita. Baik juga! Tidak ingin membuang waktu, rasanya sungguh muak dengan sirkel para lelaki di dalam sana, Yunita bergegas pergi. Sempat berpikir pulang saja, tetapi rasanya amat sayang. Yakin set perhia
Ruang kerja CEO Hotel M begitu dingin. Yunita tidak menemukan remote pengaturan mesin pendingin. Padahal dirinya hingga menggigil dan tidak tahan lagi untuk buang air kecil. Tidak ada pintu lain kecuali yang tadi ditunjuk oleh Azlan. Yunita segan, rasanya itu adalah ruang pribadi. Ada rasa enggan, khawatir jika ternyata bisa masuk - tetapi tidak bisa keluar. Sekali lagi, sangat tidak tahu bagaimana seorang Azlan sesungguhnya. Bisa jadi ternyata jahat dan psikopat. Ngeri! Lebih baik cari selamat dengan keluar dan mencari toilet umum saja. Pasti tidak jauh dari lantai dasar. Benar, tempat yang sangat dia cari telah didapat di lantai pertama. Lega sekali, Yunita telah menumpahkan seluruh cairan sampah dari kantung ginjalnya. Kini kembali ke lantai atas dengan sebuah lift. Ting! Hanya sebentar naik lift, sebab letak ruang kerja Anthony hanya di lantai dua. “Yunita!” Seperti akan tamat saja riwayatnya. Lagi-lagi harus bertemu dengan Handoko Liem. Kali ini tidak ada Azlan A
Lelaki CEO hotel yang berbadan besar, tinggi, dan tegap itu sudah berdiri dekat di sampingnya. Yunita resah, dirinya tidak tahu siapa sebetulnya Anthony. Tidak tahu menahu sedekat apa hubungan antara dua lelaki di depannya. Jangan-jangan, lepas dari mulut buaya, justru ditangkap piranha! “Sudah kubilang, aku unggul dalam segi apa pun dibanding kamu, Pak Liem. Berdamai saja dengan egomu. Bahkan untuk urusan wanita pun. Kamu lihat sendiri kan? Dia rela melepaskan kamu demi ….” Anthony berbicara dengan nada pongah. Dia berlagak kuasa yang tiba-tiba sudah melingkarkan tangan di pinggang Yunita. Demi urusannya mudah, si wanita membiarkan. “Kalian sama-sama busuk! Aku tidak akan pernah membiarkanmu tenang dengan dia, Yuan!” Handoko Liem terlihat marah. Pandangannya tajam pada Yunita. “Kita tidak ada ikatan apa-apa dan aku tidak berhutang apa-apa lagi. Anda jangan lupa itu, Pak Liem!” Yunita menyahut sengit. Tidak menyangka, memilih Handoko Liem sebagai lelaki yang bisa member
Gedung megah berlantai banyak dengan kamar ratusan petak sebab konon ini adalah hotel bintang lima, terpampang tegak di depan matanya. Benar yang driver taksi itu bilang. Alamat kantor yang dituju adalah letak dari Hotel M bintang lima yang berdiri tegak di pusat kota Surabaya. “Silahkan, Nona.” Security itu bersikap sopan dan mengantar Yunita ke lobi. “Apa aku bisa bertemu dengan Pak Azlan?” tanya Yunita pada resepsionis. “Apa sudah berkomunikasi dan ada janji dengan beliau?” Resepsionis menyambut sopan padanya. “Iya… sudah!” Yunita coba percaya diri. Meski sebetulnya sama sekali tidak ada komunikasi, apalagi punya janji. Hanya berbekal kartu nama dari rekan dosen yang mengenal Azlan Anthony sebagai seorang motivator dan pemateri. Rekannya itu hanya bilang jika motivator tersebut juga merangkap pekerja kantoran, tidak berbicara tentang Azlan Anthony lebih detail lagi. “Ada pesan khusus yang bisa saya sampaikan pada beliau?” tegur resepsionis sambil menelisik penam