“Jawab, Mas! Kamu mencintainya?” Ainun melirik Agnes dengan pandangan cemburu bercampur pilu. Agnes tak berani menantang tatapan luka Ainun. Dia hanya tertunduk dalam bisu. Situasinya sungguh di luar dugaan. Aksa memenuhi rongga dadanya dengan asupan oksigen melalui tarikan napas panjang dan dalam. Mungkin sudah saatnya dia berterus terang. Bersikap jujur tetap lebih baik, walaupun mungkin akan terasa menyakitkan. “Ya. Aku juga sudah pernah bilang, kan?” Nada bicara Aksa tenang dan mantap. Kali ini, Ainun tak mampu lagi membendung air matanya. Kristal bening menggelinding jatuh di kedua pipinya. Bibirnya sampai gemetar menahan rasa perih di hati. Sia-sia sudah kesabarannya selama lima tahun terakhir. Tak ada gunanya lagi menanti. Sudah jelas alasan kenapa Aksa tak pernah menyentuhnya. Lelaki itu menyimpan nama wanita lain di hatinya. “Ainun ….” Aksa selangkah maju. “Sebenarnya aku—” Ainun mengangkat tangan. Menghentikan penjelasan Aksa. “Cukup, Mas! Aku mengerti.” Ainun menyeka
“Kau belum tidur?” sapa Aksa saat melihat tatapan Agnes menerawang pada langit-langit ruang putih itu. Dia baru saja kembali dari rumah Ainun. Ditaruhnya kantong berisi buah di atas bedside cabinet. “Kamu balik lagi?” “Kau masih dirawat,” sahut Aksa. Dia duduk di tepi ranjang. Tangannya meraba kening Agnes. “Tentu saja aku harus kembali.” Aksa mengangguk ringan ketika Serra pamit untuk pulang. “Makasih ya, Ser!” “Sama-sama, Mas!” Serra menjamah lengan Agnes dengan lembut. “Cepat sembuh ya, Mbak!” “Aamiin.” Agnes melepas kepergian Serra dengan senyuman tipis. Wajahnya berubah mendung tatkala beralih memandang Aksa. “Aku merasa seperti Rahwana yang merampas Dewi Sinta dari tangan Sri Rama,” lirih Agnes. Sebuah perumpaan akan egoisnya cinta buta. Aksa tak mampu menahan senyum. Dia mengacak-acak rambut Agnes. Geregetan. “Tidak ada yang menganggapmu begitu,” sangkal Aksa. “Aku menikahimu atas kerelaanku.” Agnes mendaratkan pandangan serius pada wajah Aksa. “Kamu sudah menyelesaika
“Apa ini? Kamu punya identitas ganda?” Agnes membentangkan lembaran dua buku nikah itu tepat ke muka Aksa. “Ya ampun, Nes!” Aksa mendesah kecewa. “Kan tadi sudah dibilang Ainun kalau aku punya saudara kembar?” Mata Agnes menyipit dengan alis yang saling bertaut. “Oh ya?” Masih sangat kentara nada tidak percaya dalam suara Agnes. “Lalu, di mana saudara kembarmu itu sekarang? Kenapa malah kamu yang menggantikan perannya menjadi suami Ainun?” Tatapan tajam Agnes jelas-jelas tetap menaruh curiga. “Kamu pikir aku percaya dengan cerita konyolmu itu?” Wajah lugu Ainun tak lepas dari pandangan ragu Agnes. Apa mereka berdua sengaja bekerja sama untuk mengelabuinya? Bahu Aksa jatuh melunglai. Dia membuang napas berat. “Aku tidak akan memaksamu untuk percaya,” tukas Aksa. “Tapi, itu adalah kenyataan yang sebenarnya. Sampai sekarang … aku masih berusaha melacak keberadaan Eksa.” Ainun meraih jemari Agnes. “Iya, Mbak. Aku juga kaget awalnya. Sama seperti Mbak yang tidak percaya,” imbuhnya. “
Entakan sepatu bergema memenuhi ruang butik Agnes ketika ujung high heels tersebut berbenturan dengan lantai. Clarissa berjalan pongah dengan muka tegang dan memerah, memendam angkara murka. Sebuah tas menggantung di lengan kirinya. Tubuhnya yang terbalut gaun berwarna light gray tampak elegan. Menunjukkan dari kelas ekonomi mana dia berasal. Dia melepas kacamata hitam yang menutupi mata indahnya begitu tiba di tengah ruangan. Diedarkannya pandangan berkeliling. Yang tampak hanya jajaran pakaian dan beberapa orang karyawan. Mereka sibuk menata ulang pakaian yang sebelumnya telah berpindah tempat akibat dijamah pelanggan. “Mana bos kalian?” Clarissa bertanya dengan nada mengintimidasi. Tatapan mata dinginnya seakan mampu membekukan aliran darah karyawan di butik itu dalam sekejap. Serra dan Vivian saling lempar pandang. Sinar mata mereka seperti melontar tanya tanpa kata, 'Siapa lagi ini?' Seperti biasa, Serra selalu menjadi juru bicara. Selain usianya memang lebih tua, dia juga te
Agnes tidak benar-benar mandi. Hanya sekadar menyingkirkan keringat yang terasa lengket dengan air suam-suam kuku. “Aku mau duduk di sofa saja,” pinta Agnes. Aksa menuntunnya ke sana tanpa banyak tanya. Ranjang rumah sakit—tak peduli sebagus apa pun itu—tetap saja menjadi tempat paling tidak nyaman untuk dihuni. Semakin lama berbaring di sana, Agnes merasa dirinya bertambah lemah. Mungkin karena sugesti bahwa dia sedang sakit ikut menyedot energinya. Jari-jari panjang Aksa bergerak lincah, membantu Agnes berganti pakaian. Sesekali tangan nakalnya membelai permukaan kulit halus Agnes. 'Dasar suami piktor! Masih saja curi-curi kesempatan!' Agnes mendumel dalam hati sambil matanya melotot garang pada Aksa. Aksa pura-pura tidak menyadari kedongkolan Agnes. Dia tetap bersikap santai seraya memamerkan senyuman tipisnya nan menawan. Tak lupa ia juga mendandani sang istri tercinta. Lagaknya sudah seperti MUA profesional saja. “Aku selalu rindu memandang wajahmu.” Aksa menatap lekat wajah
“Maaa … lihat apa yang kudapatkan!” Marsha berjalan tergesa-gesa menghampiri Clarissa. Mertuanya itu sedang asyik melakukan pilates di gazebo halaman belakang. Clarissa tak menyahuti panggilan Marsha. Dia masih berkonsentrasi penuh pada aktivitasnya. “Berhenti sebentar dong, Ma!” rayu Marsha. “Penting. Aku yakin Mama pasti senang dengan hasil temuanku.” Clarissa mendengkus. Menantunya itu sudah kelewatan. Memangnya dia tidak lihat kalau mertua lagi fokus merawat kebugaran diri? “Ma!” Rengekan marsha yang berjongkok di depannya memaksa Clarissa untuk berhenti. “Kamu enggak lihat Mama lagi olahraga?” “Ish, Mama … ini penting banget soalnya.” Clarissa duduk bersila. Mengatur pernapasan sebelum menutup sesi pilates-nya. Begitu dia selesai, Marsha beranjak ke sisinya. Wanita itu menyodorkan layar ponselnya yang menyala ke muka Clarissa. Menayangkan sebuah rekaman video. “Apa? Serius Ainun bukan istri Aksa?” Clarissa berseru kaget ketika Marsha menarik kembali ponselnya. “Kan Mama s
Ucapan syukur yang bergema di kalbu Aksa terus mengudara setelah operasi Agnes sukses. Penyintas breast cancer stadium 2B itu masih tergolek tak sadarkan diri di ruang pemulihan. Sudah lima belas menit waktu berlalu semenjak Agnes terbaring di sana. Belum ada tanda-tanda Agnes akan membuka mata. “Ya Allah!” Aksa terpekik ketika sisi ranjang yang menjadi tumpuan sikunya bergetar. Dia pikir terjadi gempa. “Agnes!” Aksa spontan mendekap istrinya. Tubuh wanita itu menggigil hebat. Setelah cukup lama getaran badan Agnes belum juga berhenti dan malah semakin kuat, Aksa mulai diserang panik. Buru-buru dia memanggil perawat melalui piranti yang tersedia di kamar tersebut. Dalam kalutnya, Aksa bergegas mencari selimut dan kaus kaki. 'Agnes tidak boleh mati kedinginan!'' Begitu racau panik yang terus bergema di hati Aksa. “Ah, jangan terlalu tebal, Pak!” larang seorang perawat begitu dia melihat Aksa akan menambah selimut Agnes. Dia baru saja tiba di ruangan tersebut bersama seorang rekanny
“Maaf, Sayang … aku tidak bisa menemanimu seharian di kantor hari ini.” Aksa meraih jemari Agnes, mengecupnya hangat. Pancaran gelisah masih memantul jelas dari manik matanya. “Ada apa?” Agnes berharap tidak ada kejadian buruk yang menimpa keluarga Aksa. Walaupun lelaki itu telah terusir dari rumah, mustahil emosinya tak tersentuh ketika ada sesuatu yang terjadi dalam keluarganya. “Aku harus pulang sekarang.” Ah, perkiraan Agnes sepertinya benar. Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk. Tunggu! Pada keluarga Ainun atau keluarga mertuanya? Agnes harus memastikannya. “Ke mana?” selisik Agnes. “Aku boleh ikut?” “Sayang, bukankah kau mau ke kantor?” Aksa balik bertanya. “Aku tak ingin kau kelelahan.” “Setidaknya, beritahu aku apa yang terjadi sampai-sampai suamiku jadi cemas begini.” Senyuman senang spontan merekah dari sudut bibir Aksa. Agnes benar-benar tahu cara menghiburnya, walaupun secara tidak langsung. “Nenek Ainun baru saja meninggal dunia.” “Innalillahi wainna ilaihi roji