Share

4 — Gangguan Kencan

Sangat terpaksa! Tangannya dengan lihai melempar belati tadi, jaraknya agak meleset, niatnya cuma ingin memberi peringatan agar berhenti, tapi tanpa sadar belati itu menggores sisi tudung jubahnya, oh astaga, apakah ini akan jadi masalah lain?

Bertumpu pada kedua lututnya, Iveryne mengatur nafas kemudian melukis senyum bersalah.

“Maaf, saya tidak bermaksud merusak jubah anda. Anda bisa meminta ganti rugi ke toko Baerd. Dan … ini.” Dia mengulurkan gulungan perkamen dan juga kantong kain berisi koin. “Anda sempat menjatuhkannya di pasar.” Pria itu malah menatapnya balik.

Merasa tak ada respon, Iveryne berinisiatif mengambil tangan pemuda itu, meletakkan barang bawaannya dan mundur.

“Terimakasih sudah menolong saya, dengan ini … kita impas.” 

Dia pergi tanpa berniat memperpanjang percakapan. Lagipula orang itu tidak ada niatan menjawabnya. Iveryne tidak mau ambil pusing, yang penting adalah, dia tidak punya hutang budi. Toh dia sampai kesana karena mengejar sang pemilik koin dan perkamen.

Sementara pemuda tadi melirik belati yang tertancap di dinding kayu, yang sempat menggores jubahnya.

Sialnya adalah … Iveryne tidak pernah ke pasar setelah lima tahun lalu. Dan dia tidak ingat jalan yang di lewati sebelumnya, fokusnya adalah untuk mengejar. Untung hampir semua orang tahu toko Baerd. Dia hanya tinggal menyebutkan di kereta kuda dan di antar kesana—meski Iveryne harus mengatakan untuk pembayaran akan di lakukan kalau sudah sampai. Dia kan hanya membawa seluruh tubuhnya saja. 

Dress-nya kotor di beberapa bagian, cepol rambut-nya di lepas, mengharuskan atur sendiri, bagian anak rambutnya di tata ke depan untuk menutupi luka di dahi, atau Nalaeryn akan mengamuk. Sangat tidak elit, sepertinya bukan sekedar amarah sang kakak, tapi … Huftt … Iveryne segera membayar, di kantongnya ada satu koin perak—dia lupa, dia membawa dari rumah dengan niat membeli sekeranjang Rasberi. 

Tangannya bergerak mau mendorong pintu ketika benda persegi panjang itu lebih dulu terbuka dari dalam. Hilang keseimbangan, Iveryne refleks bertumpu pada dada bidang seseorang. Sadar ketidak-sopanan telapak tangannya. Dia cepat-cepat menarik diri, menunduk hormat.

“Maaf kelancangannya, saya tidak sengaja, Tuan.” 

Orang di depannya tidak bereaksi, Iveryne menengadah, takut-takut kalau yang di tabraknya patung, karena beberapa orang di dalam toko mengalihkan atensi padanya. Tidak juga—itu hanya pria tampan yang lebih tinggi beberapa senti darinya, menatapnya sembari berkedip dengan kecepatan kilat, sebenarnya itu agak menyeramkan.

“Ive-ryne … “ gumamnya tak percaya. Sebelum Iveryne sempat membalas, pria itu menariknya masuk dengan kesan tergesa-gesa.

Mengabaikan tatapan bertanya orang-orang. Melakukan pemberhentian di salah satu ruangan dalam toko. Nalaeryn, disana, banjir air mata, Iveryne melihat kilauan-nya masih terasa. Estelle, di sisi lain memeluk putrinya itu, sepertinya mencoba untuk menenangkannya.

“Nala … ada apa ini?” 

Seluruh orang di ruangan menatap ke arahnya dengan berbagai pandangan—Bibi Zerca sepertinya siap mengeluarkan seluruh ceramah dan kata-kata mutiara yang tersimpan rapat di hatinya. Nalaeryn mengusap wajahnya. Dia menghampiri Iveryne sambil sesegukan.

“Ad-da, a-apa, ka-katamu!” pekiknya tidak terima, segera, tangan kanannya menarik telinga Iveryne. Iveryne, yang masih belum sadar tentang apa yang terjadi, mengaduh kesakitan.

“Na-Nala! Oh! Demi cahaya Dewi Bulan! Ada apa denganmu?!” 

Nalaeryn menatapnya tajam di balik mata berkaca-kaca.

“Kamu pikir apa yang kamu lakukan! Meninggalkanku untuk mengejar orang tidak di kenal!” Iveryne menatap kakaknya tak percaya, dia melirik ibunya dengan wajah paling tersakiti, tapi Estelle hanya mengirimkan tatapan teduh seperti biasa di selingi gelengan pelan. 

“Kamu membuat kami khawatir, Ivy.” 

*****

Beragam warna baju berhamburan di atas kasur putih, lemparan-lemparan penuh motif menghiasi kamar. Tangannya sibuk dengan aktivitas menggeledah seluruh isi tas yang di bawanya pulang dari akademi beserta lemari pakaian. Iveryne menyembulkan kepala dari pintu ketika mendengar derap langkah kaki di luar kamar.

“Ibu … apakah ibu melihat belati milikku? Yang warna biru?” 

“Tidak, sudah mencarinya?” Estelle membawa sekantong penuh belanjaan ke bawah, dia baru dari gudang, dan kembali ke atas ketika tanpa sengaja meninggalkan beberapa alat masak baru di nakas kamar. 

“Setiap sudut.” Hembusan nafasnya terasa berat.

“Mungkin di bawah tepat tidur?”

“Hadiah ayah ... ” lanjutnya sendu, tapi segera tersenyum ketika menyadari perubahan wajah ibunya. “Akan aku cari lagi! Nah, Bisa ... panggilkan Nala untuk membantuku, Bu?” Dia mengerjap lucu. 

“Kakakmu sedang merias diri.” 

“Merias?! Ini sudah malam—” 

“Dia selalu begitu ketika Cael akan datang. Kalau sudah selesai dengan pencarianmu, tolong bantu ibu di dapur.”

Iverine melirik isi kamarnya yang kini super berantakan. Kain pakaian berserakan, perkamen dan pena bulu berhamburan, dan beberapa botol tinta yang kalau di injak hanya tersisa pecahan dan memberikan stempel kaki. Dia menatap Estelle polos, langsung keluar secepat kilat, tak berniat membiarkan ibunya melihat kekacauan di dalam.

 “Senang membantu,” ajaknya cepat, langsung saja mengambil alih bawaan Estelle, mereka menuju dapur dengan candaan kecil.

Di dapur. Gandum yang di takarnya terlalu cepat, sedikit serbuk beterbangan hingga hidungnya bersin. Adonan yang dia aduk tumpah ke sisi meja, ketika mencetak, ada adonan lengket di cetakan karena tidak di tabur gandum. Beruntung dia punya ibu dengan kesabaran melampaui batas, jadi Estelle hanya terkekeh kecil memandangi penampilan putrinya yang tengah asik memainkan sarung tangan panggangan. Wajah penuh tepung, dan olesan mentega di mulut. Adonan tepung memenuhi sebagian besar bajunya, di mana-mana ada adonan yang mengering.

“Aku seperti melihatmu sebelas tahun lalu.”  Estelle berujar sembari mengusap rambut Iveryne, sesekali menepuk-nepuknya gemas.

“Yeah … betapa menggemaskannya aku.” Dia berkedip manja dan Estelle mengulum senyum. “Selalu berbuat manis di depan ibu.” 

“Bisa aku lihat. Kamu benar-benar manis.” 

“Oh … ibu.” Iveryne merentangkan tangan sambil memutari meja, menuju ke arah seberang berniat memeluk sang ibu.

Tapi tarikan di telinganya menghentikan aksi luar biasanya. Nalaeryn, cantik dan wangi, memandangnya garang dengan bibir datar. 

“Tidak akan aku biarkan kamu mengotori pakaian ibu,” ujarnya sambil mencebikkan bibir. Memandang Iveryne atas sampai bawah.

“Bersihkan pakaianmu kalau ingin memeluk ibu.” Iveryne merengut sebal, Nalaeryn terlalu perfeksionis.

Apa jadinya kalau kakaknya itu masuk kamarnya yang sudah disulap menjadi rumah harta karun besar-besaran.

Tarikan pada telingamya lepas ketika ketukan menginterupsi kegiatan mereka. Senyum sumringah menghiasi wajah Nalaeryn, menarik helai rambutnya perlahan dan membenarkan renda gaun yang di pakainya. Iveryne memutar matanya malas, sementara Estelle terkekeh sembari menghias biskuit karamel yang baru saja matang. 

“Ibu … ayo ku bantu.” 

“Tidak, ganti pakaianmu dulu sana.” 

Suara hentakan mendominasi ruangan di bawah, Iveryne baru selesai mengancing atasan polos ketika Nalaeryn hampir menerjangnya, duduk di bangku sambil menahan dagu pada kedua telapak tangan yang bertumpu di masing-masing lutut, wajahnya merengut. Apa lagi ini! Bukankah tunangan tercintanya telah datang? Atau mereka bertengkar?

Iveryne mengurungkan berniat mencoba biskuit karamel selagi pria di sana duduk dengan senyum, menyuap biskuit dalam mulutnya.

“Wild? Jangan katakan yang mengetuk pintu … kamu?” Wilder menoleh malas, cara Iveryne menyapanya adalah merebut biskuit di tangannya. Dia menghela nafas, sementara gadis itu menunggu jawaban.

“Ya, dia memarahiku habis-habisan setelahnya.” 

“Pfftt … haha—uhukk! Uhukk!”

Wilder gelagapan, menepuk-nepuk punggung Iveryne selagi Estelle yang tengah mengamati mereka di seberang beralih menuangkan segelas air. Iveryne mengangkat tangan, Wilder menghentikan tepukan, Dia meneguk air rakus, Estelle menggeleng seraya membersihkan dapur yang sempat di gunakan sebagai sarana pembuatan biskuit.

“Karma instan,” ucap Wilder puas, dia mengambil biskuit lain dalam wadah, mengunyahnya santai. Sambil menetralkan nafas, sesekali kembali minum. Tangan kirinya terangkat menyapu air di sudut mata.

“Sialan,” balas Iveryne pelan.

Kalau ibunya mendengar, bisa habis. Estelle berkali-kali lipat lebih mengerikan dari Nalaeryn saat dalam mode marah.

Tidak ada candaan atau pekikan marah ketika pintu menampilkan sosok Caelan yang rapi dengan senyum manis terpatri ketika bertukar pandang dengan Nalaeryn yang cantik. Iveryne dan Wilder di sisi lain bertukar pandang jijik. Dua insan yang dilanda kasmaran itu bahkan tidak masuk, hanya diam saja di pembatas pintu sambil bertatap-tatapan, dan ketika Nalaeryn mengajaknya keluar, dia langsung mengiyakan.

“Ayo!” Wilder terperanjat, tahu-tahu gadis itu sudah menariknya keluar, tangan kanannya memegang keranjang, mereka mengintip di balik pohon. “Akan ku tunjukkan sesuatu yang mengesankan.”  

Wilder menatap bergantian Iveryne dan pasangan di depan.

“Jangan macam-macam. Kamu tahu sendiri bagaimana reaksi Nala nanti jika kita berani mengganggu acara  kencan romantis dan penuh cinta istimewanya dengan Tuan Muda Lexter.”  

“Aku tidak macam-macam kalau Tuan Muda Lexter tidak lebih dulu memulai!” Dia memekik tertahan, netra biru cemerlang itu memancarkan kilau indah ketika cahaya bulan menyorotnya tanpa sengaja. “Dia mengambil kesempatan terlalu banyak. Lihatlah mereka, aku rasa kalau Tuan Muda itu mengajaknya lompat dari tebing, dia tidak akan menolak. Haha! Melompat dengan bahagia,” imbuhnya datar.

“Namanya cinta. Cobalah jatuh cinta.” 

“Cinta itu kelemahan.”

“Kamu tidak akan tahu rasanya kalau tidak mencoba.” Dia membuka keranjang, mengambil satu buah Rasberi, menjejalkannya ke mulut Wilder secara paksa. Pria itu mendengus malas, tapi tak ayal tetap mengunyahnya secara halus, hei! Itu enak dan manis.

Nalaeryn menata bunga hatinya ketika Caelan menatap lekat-lekat. Lari kecil dari kaki mereka berangsur-angsur memelan. Dia bisa merasakan nafas sipria menyapu wajahnya, rasa panas menjalar hingga tanpa sadar menggigit bibir bawah gugup.

Caelan mengangkat jemarinya, membingkai wajah sang jelita sampai ibu jadinya tergerak mengusap bibir bawah itu.

“Bolehkah … “

Bohong jika Nalaeryn biasa saja. Jantungnya berpesta pora di dalam sana, nafas memberat, kehangatan tersalurkan melalui telapak tangan Caelan punya kesan hebat membuainya. Sesuai ritme jantung yang tidak beraturan, kepalanya tanpa di kontrol, perlahan mengangguk. 

Hijau gelap dan coklat madu.

Wajah mereka mendekat, jantungnya berbunyi memalukan. Nalaeryn yakin Caelan susah mendengarnya, beruntung dia tidak menanyakannya. Netra indah di bawah sinar bulan perlahan menutup, meresapi hembusan nafas dari lawan masing-masing.

Bibirnya hampir menyentuh, sedikit lagi … ketika cahaya menyilaukan menyapa retina mata mereka! 

Nalaeryn terpekik kaget, dan disana! Dia melihat, Iveryne dan Wilder, bersandar di depan pohon sambil menikmati Rasberi, cahaya bulan ini … tidak mungkin fokus arah mereka, itu pasti …

“Iveryne Lechsinska!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status