Brak!!
Suara gebrakan keras menghantam pintu utama. Seperti hari sebelumnya, ia tahu siapa pelakunya. "Buka pintunya Leona!!" Karena wanita itu masih diam dalam ketakutannya, terpaksa ia memberanikan diri untuk keluar untuk membukanya. Sudah dapat dipastikan, merekalah yang berbuat kegaduhan ini. "Lama sekali kamu membuka pintunya!? Hah!!? Apa berniat lari lewat pintu belakang!?" Pertanyaan yang tidak pernah terdengar dengan intonasi rendah. "Maaf, tidak ada niat sedikitpun saya untuk melarikan diri—" Tangannya menjulur kerahnya, "Mana uang yang sudah kau janjikan Minggu lalu?!" "Maaf, saya belum mendapatkan uangnya. Beri saya waktu beberapa hari lagi." Leona menghembuskan nafas berat. Salah satu diantaranya mendorong tubuh Leona hingga terjungkal ke lantai. "Kau terlalu banyak memberikan janji palsu, Leona. Bos kami tidak senang jika mendapatkan jawaban ini darimu. Kalau kau tidak mau membayarnya, apa kau rela tubuhmu yang menjadi jaminan?!" ucapnya di sertai tawa. "Kurang ajar kalian!! Berikan saya waktu." "Baiklah kami berikan waktu satu Minggu. Jika kamu tidak segera membayarnya, rumah ini yang akan kami segel!!" Tiga pria berbadan kekar tersebut segera pergi dari sana, meninggalkan Leona. ..... Satu lembar foto di hempasan seorang wanita di atas sebuah meja kaca. Terlihat disana foto pria mengenakan jas hitam. Tampan gagah. Terlihat sekali bukan pria sembarangan. Tampak kekuasaan di tangannya. Wanita dengan balutan gaun eksotis duduk bersilang kaki memegang gagang gelas, lalu meneguk cairan di dalamnya; berwarna merah. Merah, semerah gincu yang menghiasi rona bibirnya. Kulit eksotis terawat terlihat menawan bagi siapa yang melihatnya, tak terelakan lagi. Jari-jarinya yang lentik dengan kuku-kuku berkutek coklat muda. Hanya bisa memandangnya tanpa heran. "Siapa dia, Tante Annete?" Matanya membulat, segera ia menariknya dan memperhatikan dengan seksama. "Dia adalah Tuan Lucas." Masih diam mencerna ucapan Tante Annete. Menunggu kalimat berikutnya. Menatap gelas berkaki itu dalam sorot mata tajam. Annete melanjutkan pekerjaannya, sampai cairan dalam gelas itu tak bersisa. Prang! Menjatuhkan gelas ke lantai begitu saja. Tanpa melihat kepanikan di wajah Leona. Hingga tampak serpihan kaca itu menjadi kepingan kecil bertabur menghiasi lantai. Tubuhnya sedikit gemetar. Ia belum mengetahui pekerjaan apa yang di tawarkan Tante Anne padanya. Wanita itu datang bersama asistennya; memberikan bantuan untuk keluarga mereka. Anne mengangkat dagu Leona dan menatap tajam dua manik mata yang tampak gelisah. "Kau akan menjadi istri kedua Tuan Lucas." "Apa?! Istri ke dua!" Darah Leona mendesir cepat. Leona mengira Annette memberikan pekerjaan atau pinjaman uang. "Nyonya Elisa istrinya—menyuruh ku mencari istri untuk suaminya. Karena ia tidak dapat memberikannya keturunan—" Bukan darah saja yang mendesir hebat, kerja jantungnya pun bekerja dua kali lipat. "Sepertinya saya tidak bisa, Tante Annete. Menjadi seorang madu bukan keinginan saya. Saya tidak mau merusak kebahagiaan rumah tangga orang lain. Lebih baik saya bekerja lembur untuk mendapatkan uangnya." Brak!! Annette menghentakkan tangannya di atas meja. "Cukup!! Aku tidak mau tahu. Jika kau ingin hutang ayahmu lunas, maka lakukan pekerjaan itu!!" teriaknya memaksa. "Kau tidak punya pilihan lain. Beberapa hari mendatang, petugas Bank akan menyegel rumah ini. Apa kau tidak mau menyelamatkan ayahmu dan rumah ini?! Hem?!" Setelah beberapa saat Leona berpikir. Gegas ia menganggukkan kepala. "Baiklah Tante, saya akan menerimanya." Anne masih menarik dagu Leona. Ia memutar kepala ke kanan dan kiri perlahan. Ada raut wajah yang tidak di harapkan. "Aku tidak ingin kamu menerima tawaran itu dengan terpaksa, Leona!!" ancamnya dengan intonasi tinggi. "Tidak Tante Anne. Saya akan bekerja dengan baik. Sesuai dengan perintahmu." Hanya jawaban palsu. Jika ada pilihan lain, sungguh ia tidak akan menerimanya. Annette membuat suara dari petikan jemarinya, sampai terdengar suara; beberapa saat kemudian seorang pria berbadan kekar— bekerja sebagai asistennya telah berdiri memberikan sebuah pakaian. "Bersiaplah! Kau akan datang kerumahnya nanti malam, pakailah gaun ini!! Bersolek yang cantik!! Buat pria itu tertarik padamu!!" titahnya. "Asisten pribadiku akan mengantarkan kamu kesana!" lanjutnya. Leona segera mengambil dari tangan Annette. Sebuah gaun pendek berwarna merah. Leona tidak yakin dapat mengenakannya nanti malam untuk menemui Tuan Lucas dan istrinya. "Tante Annete. Gaun ini terlalu minim untuk saya pakai. Saya malu—" "Aku tidak mau tahu. Pikirkan ayahmu!! Turuti perintahku, Leona!!" sentak-nya. Ia sudah lelah karena Leona terlihat banyak pertimbangan. "Baik Tante, Leona akan menuruti ucapan Tante Annete." "Bagus!" Wanita dengan pakaian menarik itu melenggang pergi dari kediaman Leona. Bersama asisten pribadinya. Tubuh lemahnya berjalan mendekati pigura yang menghiasi meja disudut ruangan. Ia melihatnya dengan mata berkaca-kaca. Mengelus gambar pria paruh baya dengan kumis tipis, berkacamata. Dalam beberapa saat saja - linang air mata itu tergelincir beriringan. Menjadi airmata yang luruh tanpa jeda. "Ayah. Maafkan putrimu, ini. Leona tidak memiliki pilihan lain." Ucapan Leona terdengar berat. Sungguh tidak secuil pun keinginan Leona untuk menjadi seorang madu. Malam telah tiba ... Sebuah mobil besar terdengar berhenti di depan rumah Leona. Wanita itu masih berdiri di depan kaca tanpa bergerak. Melihat wajahnya di depan cermin. Bedak sedikit tebal, gincu merah segar, alis yang di diarsir sedemikian rupa; mewarnai wajahnya. Memang kali ini Leona sangat cantik. Namun ini bukan dirinya, ia adalah gadis biasa yang senang dengan hal sederhana. Leona memperhatikan tubuhnya yang dapat dijangkau pandangannya. "Aku tidak bisa mengenakan baju ini. Ini terlalu terbuka—" Kembali ia mengingat ucapan Annette mengenai hutang dan nasib ayahnya. "Tidak. Apapun akan aku lakukan demi ayah." "Nona Leona!! Apakah Anda sudah siap?!" terdengar teriakan dari arah luar pintu. Tanpa menjawab ia berjalan saja keluar, beberapa saat pria tersebut memperhatikan Leona dengan tatapan tidak biasa. Wanita itu segera menutup bagian yang sedikit terbuka miliknya. "Lakukan pekerjaan Anda dengan baik, Tuan!!" ucap Leona tegas. Meski dalam balutan pakaian minim ini. Ia tetap harus menjaga kehormatannya. "Maaf. Silahkan!!" suruhnya dengan mempersilahkan masuk ke dalam mobil saat pintu di buka. Sepanjang perjalanan mereka tidak bersuara. Leona Berharap perjalanan malam ini berlangsung lama. Jika bisa, tidak perlu adanya malam pertemuan ini. 'Aku yakin, penderitaanku dimulai malam ini.' Leona hanya bisa bergumam sendiri. Memikirkan kehidupannya mendatang. Tidak percaya, jika seorang istri dengan suka rela membagi suaminya pada wanita lain. Beberapa waktu telah berlalu. Mobil yang mereka kendarai masuk melewati sebuah gapura yang di baru di buka oleh seorang security. Netra Leona menatap rumah di hadapannya. 'Apakah ini rumah Tuan Lucas?' Mobil berhenti tepat di lorong menuju pintu utama. Pria yang mengantarkan tadi mengatakan. "Silahkan!! Anda sudah ditunggu di dalam!! Masuklah!!" Setelah menundukkan kepala pria itu berjalan mundur, dan pergi meninggalkan Leona. Suhu tubuhnya tiba-tiba dingin. Apa yang akan terjadi setelah ini? Pikirnya. Pintu terbuka otomatis. Terlihat beberapa asisten rumah tangga berdiri saling berhadapan dengan menunduk kepala. "Silahkan Nona!" Salah satu diantara mereka mempersilahkan masuk ke dalam. Ia berjalan sedikit di belakang tubuh Leona sembari menunjuk tempat yang menjadi tujuan utama. Langkah kaki Leona berat. Seakan sesaat lagi ia mendapatkan hukuman pasung. Rasa cemas membayangi pikirannya. Untuk menetralisir kegugupan, ia alihkan dengan memperhatikan sekeliling rumah Lukas, ia takjub dengan rumah yang sudah seperti istana ini. Seorang wanita mengenakan hijab biru berjalan pelan menghampiri Leona. Wanita itu cantik, dalam pikiran Leona ia menerka jika ini adalah istri Tuan Lucas. Sedikit lega, melihat istri Tuan Lukas mengenakan hijab, sudah dapat di pastikan jika wanita ini adalah wanita yang baik. "Selamat malam, Leona ..." sapa wanita itu mula-mula. Ia menjulurkan tangannya, sembari melempar senyum. Ketakutan tak beralasan itu pun mulai luruh. Yang perlu di waspadai sekarang adalah Tuan Lucas sendiri. Ia takut jika permintaan istrinya untuk menikah lagi, ditolaknya. "Selamat malam Nyonya Elisa." "Mari ... Suamiku sudah menunggu kamu di meja makan. Kita makan malam dulu ya. Pasti Annette sudah menjelaskan semuanya bukan?!" tanya Elisa. Dengan cepat ia mengangguk dan membalas senyumannya. Sampai di meja makan, Leona menghentikan langkahnya karena melihat pria yang meletakkan tangan di dada itu memandang tak acuh padanya.Tampak Lucas tersenyum, tanpa ke duanya tahu. 'Leona ... Aku akan segera menikahimu. Kita akan hidup bersama selamanya bersama buah hati kita,' batin Lucas. "Aku minta tinggalkan aku! Kumohon keluarlah, biarkan aku sendiri!!" suruhnya pada mereka berdua."Leona ... Maafkan aku, sungguh bukan ini sebenarnya keinginan ku. Namun, keadaan yang memaksa diriku untuk —""Sudahlah, Mas. Dari pada Tuan Lucas membawamu ke jeruji besi, lebih baik kamu berpisah denganku!"Leona sedih, karena tidak ada dari ke dua pria itu memprioritaskan nya. Sungguh, di dunia ini tidak ada yang benar-benar baik padanya.Sebelum Edo pergi, ia memegang tangan Leona. Sungguh Lucas tak ingin melihat mereka seperti itu. Tapi mungkin ini akan menjadi yang terakhir kali untuk itu. Ia pun membiarkan saja. Terdengar langkah kaki setelah pintu terbuka. Mereka melihat, seorang wanita datang. Ya, dia Leona, menggandeng seorang anak kecil, tak lain buah hati Leona, Vinc. Lucas kesal saja melihat wajah Elisa itu."Untuk apa
"Rumah kamu nyaman, Mas. Bersih juga." Manik mata Leona mengedarkan pandangan ke segala sisi ruangan.Tidak ada satupun pakaian tergeletak di kursi atau di gantung. Bug!Terkejut, Edo mendorong tubuh Leona jatuh ke pelukannya. Leona yang belum terlihat siap sedikit menghindari."Kenapa menjauh?" tanya Edo mengernyitkan kening."Tidak apa-apa, Mas." Ia mengangkat sudut bibirnya hambar. Tidak seperti sedang tersenyum. "Boleh kan aku minta sekarang??"Edo menaikkan alisnya ke atas. Meminta jawaban secepatnya. Wajah Leona mendadak panik. Seakan dia lupa jika pria itu suaminya sekarang. "Minta??""Ya? Kamu gak mau ya?" "Ah. T—tidak. Bukan gitu, Mas." Leona tidak siap jika pria itu meminta sekarang. 'Aduh, bagaimana ini? Aku tidak siap. Apa kau menolaknya saja?'"Mau aku buatkan kopi dulu, Mas?" Berniat mengalihkan pembahasan.Edo menggeleng. Dengan cepat ia merangkul dari belakang. Membuat Leona menarik dan menghembuskan napas berulang kali karena gugup."Bagaimana, Mas?" tanya Leona k
Leona menggeleng pelan. "Tidak, Bu. Selama ini Leona bekerja sebagai baby sitter anak ku sendiri.""Maafkan segala kesalahan Ayahmu ya Leona," ucap Nina.Leona mendongak melihat wajah sang ibu. "Ibu tidak perlu merasa bersalah begitu atas kesalahan Ayah. Ini semua sudah takdirku, Bu. Leona menerima dengan ikhlas."Wanita yang sudah tidak muda lagi itu mengelus kening Leona. Ia mengatakan untuk bersabar. "Nak, setelah pernikahan kamu dengan Edo, ibu yakin kau akan menemukan kebahagiaanmu.""Amiin ... Terima kasih doanya, Bu."***Hari yang ditunggu telah tiba, tidak digelar secara besar-besaran. Acaranya berlangsungnya pun sama persis dengan acara pernikahannya dengan Lucas. Di kantor KUA saja.Sungguh ia tidak merasa takut atau hal lain yang dipikirkan. Ia merasa tenang. Didampingi Ibu Nina dan Ben. Meskipun Ben tidak setuju jika Leona menikah dengan Edo. Tidak ada percakapan antara Ibu Nina dan Ben, hati Nina sudah sakit melihat pria itu muncul di depan matanya. Pria berpeci putih,
Leona menunjuk rumah kecil di balik sumur. "Parkir aja motor Tuan di sini," ujarnya.Menurunkan koper dan menariknya menuju pintu yang terlihat usang dan tertutup.Ia menatap Lucas sejenak. Lalu memutuskan untuk mengetuk pintu tersebut.Setelah ketukan ke tiga kalinya. Terlihat handle pintu terbuka. Leona menunggunya dengan hati berdebar. Berharap besar jika orang yang membuka pintu tersebut adalah ibunya. Sungguh selama ini ia membuang waktu dengan mempercayai ucapan sang ayah, jika ibunya telah berkhianat. Bahkan sebenarnya, ayahnya-lah yang membohonginya. Setelah pintu terbuka, barulah mereka dapat melihat wanita ringkih dengan hijab lusuh berwarna hijau. Secepat itu bulir air membanjiri kelopak mata Leona.Terlihat bibir itu bergetar hebat. Seakan ingin mengeluarkan suara namun tercekat di tenggorokan. "Leona?"Leona tidak mampu menggerakkan bibirnya. Hanya tangannya yang lembut lekas merentang dan memeluk tubuhnya. "Ibu ...""Leona anakku. Kau kah ini, Nak?""Iya Bu. Ini Leona
"Mas! Mas!! Aku bisa jelaskan padamu. Tolong dengarkan aku..." pinta Elisa. Ia memohon dengan menciumi tangannya. Namun Lucas sudah terlanjur murka.Sekali dia memberi kepercayaan pada orang lain, dan orang itu membuat noda hitam di dalamnya. Lucas tidak akan memaafkannya. Sudah beberapa kali Elisa membuat kesalahan, Lucas memberikannya kesempatan. Untuk satu ini, ia tidak akan mempercayainya."Kumohon percayalah, aku akan jelaskan semuanya." Elisa menggenggam erat lengannya meminta Lucas percaya padanya.Namun pria itu sudah menunjukkan taringnya. Hingga Elisa terduduk dan bersimpuh, Lucas tidak menghiraukannya. Saat Elisa memegang erat kakinya yang akan pergi, pria itu menendangnya hingga wanita itu menangis."Mas ... Kau mau ke mana?" Teriakan itu tidak di gubrisnya. Ia pergi saja dengan membawa kemurkaannya.Menunggangi kuda bermesin ya. Dengan cepat melesat dengan kecepatan tinggi. Tangannya menggenggam erat. Ia hantamkan pada dasboard mobilnya, Dengan seruan kata-kata kemurkaan
"Breng sek kalian!!?" ucapan kotor itu keluar juga dari mulut Leona. Masalahnya sangat berat, di tambah lagi ini."L—Leona??! Kapan kamu datang, Nak? Kenapa kamu gak bilang-bilang dulu mau ke sini?!" tanya Ben dengan terbata-bata, di sertai suara yang bergetar.Terlihat jelas sekali jika pria itu ketakutan. Ia yakin jika putrinya telah mendengar semua pembicaraannya dengan Annette. Apa lagi wajahnya Leona tidak seperti biasanya. Ben harus berhati-hati.Leona masa bodoh sekarang dengan pria itu. Sudah merasa pantas saja dia masuk penjara. Kenapa Lucas harus susah-susah mengeluarkan dari jeruji besi? Jika memang ayahnya bersalah. Ben berjalan menghampiri Leona yang menunjukkan kemarahan. Berusaha memegangi tangannya, namun Leona membuangnya begitu saja. Menolaknya kasar. Membuat hati Ben tersayat."Lepas!! Aku tak sudi melihat kalian!! Kalian berdua kejam!! Kalian yang menyebabkan ibu pergi!!" ucap Leona dengan air mata menggenang."Ayah akan jelaskan, Leona!!" pinta Ben dengan wajah